Hukuman untuk Agus Condro Disesalkan

Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Abdul Haris Semendawai menyesalkan keputusan ketua majelis hakim Suhartoyo di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi kemarin, yang menjatuhi mantan politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Agus Condro, hukuman 1 tahun 3 bulan. Abdul Haris menilai keringanan hukuman Agus tidak signifikan. "Mestinya setidaknya ia mendapat separuh dari tuntutan," katanya.

Agus menjadi pelapor pertama (whistle blower) kasus suap cek pelawat dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Swaray Goeltom. Keputusan majelis hakim terhadap Agus hanya berbeda sedikit dengan terdakwa lain, yaitu Willem Max Tutuarima, berupa hukuman 1 tahun 6 bulan, serta Max Moein dan Rusman Lumban Toruan masing-masing 1 tahun 8 bulan penjara.

Abdul Haris mengatakan tuntutan Agus memang paling rendah, tapi jika dibandingkan dengan terdakwa lain, belum menunjukkan perbedaan yang signifikan. Padahal, jika Agus tidak memberi informasi awal, kasus ini tidak akan terungkap. Idealnya, menurut Abdul Haris, seorang whistle blower mendapatkan penghargaan memadai.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban memang tidak memungkinkan membebaskan seorang whistle blower secara penuh. Tapi hukumannya bisa diringankan. Pasal 10 ayat 2 dalam undang-undang itu menyebutkan saksi sekaligus terdakwa yang memiliki keterangan yang penting untuk mengungkap kejahatan tidak dapat dibebaskan dari hukuman, tapi kesaksiannya bisa menjadi faktor yang meringankan hukuman.

Agus Condro kecewa terhadap keputusan itu. Dia bisa menerima dirinya diberi ganjaran penjara. "Kalau saya tidak dihukum, saya justru merasa tersiksa," katanya. "Saya memang harus dihukum. Karena Mbok Minah, nenek yang di Banyumas yang dituduh mengambil kakao, saja dihukum, masak saya selaku pejabat negara menerima hadiah Rp 500 juta tidak dihukum. Itu juga tidak adil," ujarnya. Yang membuat dia kesal adalah tiadanya keringanan hukuman sebagai pengungkap kasus ini. "(Saya) kecewa, bukan untuk diri saya. Tapi apakah nanti akan ada lagi orang yang mau melaporkan kasus korupsi bila si pelapor ikut terlibat di dalamnya?"

Abdul Haris menilai penegak hukum tidak memanfaatkan momentum ini dengan baik. Kasus-kasus ini bisa menjadi momentum menunjukkan keberpihakan mereka kepada orang-orang yang mau bekerja sama menguak kasus korupsi, dan itu akan mendorong yang lain melakukan hal yang sama.

Dalam vonis itu, hakim juga menolak tuntutan jaksa merampas harta milik Max dan Rusman. Jaksa menyatakan harta Max dan Rusman yang harus dirampas senilai Rp 500 juta karena mereka berdua belum mengembalikan cek. Tapi hakim menyatakan perampasan harta tak bisa dieksekusi karena tak ada kerugian negara. Suhartoyo hanya mewajibkan mereka membayar denda Rp 50 juta dengan subsider empat bulan. Menanggapi putusan itu, Agus, Willem, dan Rusman menyatakan akan pikir-pikir dulu. Adapun Max mengatakan tak akan meminta banding. KARTIKA CANDRA | DIANING SARI

Sumber: Koran Tempo, 17 Juni 2011

--------------

Dihukum Paling Ringan

Majelis Hakim Pengadian Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta akhirnya menjatuhkan vonis terhadap empat terdakwa kasus suap pemilihan deputi senior Gubernur Bank Indonesia, yakni Agus Condro Prayitno, Willem Tutuarima, Max Moein, dan Rusman Lumbantoruan, dengan dihukum, 15-20 bulan penjara.

Agus menjadi terdakwa yang dihukum paling ringan, yakni selama 15 bulan. Sedangkan tiga terdakwa lainnya, Willem Tutuarima dihukum satu tahun enam bulan atau 18 bulan, kemudian Max Moein dan Rusman Lumbantoruan masing-masing dihukum satu tahun delapan bulan atau 20 bulan penjara.

Hukuman ini lebih rendah dari tuntutan jaksa, yang menuntut Agus dengan hukuman 1 tahun 6 bulan. Sedangkan tiga terdakwa lainnya dituntut 2 tahun 6 bulan penjara. Selain pidana penjara, majelis hakim juga mewajibkan keempat terdakwa membayar pidana denda sebesar Rp 50 juta subsider 3 bulan kurungan.

”Para terdakwa terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama. Mantan politikus Senayan itu dianggap sebagai penyelenggara negara telah menerima hadiah atau janji yang diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatan sebagaimana diatur dalam Pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 junto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUH-Pidana,” kata Ketua Majelis Hakim Suharto di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (16/6).

Dalam pembacaan vonis tersebut, majelis hakim juga tidak sependapat dengan tim jaksa yang menuntut perampasan harta dari para terdakwa.
Menurut anggota majelis hakim, Slamet Subagyo, harta terdakwa tak bisa dirampas karena kasus suapnya tidak menimbulkan kerugian keuangan negara.

Pada proses penyidikan kasus ini, terdakwa Willem telah mengembalikan uang hasil pencairan cek seluruhnya sebanyak Rp 500 juta kepada negara melalui Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal yang sama juga dilakukan oleh terdakwa Agus yang menyerahkan uang Rp 100 juta dan satu unit apartemen di kawasan Teluk Gong, Jakarta Utara.

Menurut Slamet, uang dan apartemen tidak dikembalikan kepada terdakwa dan dirampas untuk negara. ”Pengembalian itu hak terdakwa I (Agus) dan terdakwa V (Willem),” ujar Slamet.

Ditemui usai persidangan, jaksa M Rum mengatakan bahwa permintaan perampasan harta adalah untuk mempertanggungjawabkan perbuatan para terdakwa. Perihal putusan hakim, Rum mengaku akan pikir-pikir untuk mengajukan banding atau tidak.

”Karena hasil dari kejahatan jadi kami minta untuk dirampas. Nanti kami pelajari dulu pertimbangannya (putusan hakim),” tuturnya.

Panda Stres
Sementara itu, Agus Condro mengaku ikhlas dengan penyerahan uang dan apartemen kepada negara. Menanggapi tudingan Panda Nababan soal motif dirinya mengungkap kasus ini karena sakit hati, Agus Condro Prayitno enggan menanggapinya. Agus menilai Panda sudah frustasi sehingga melontarkan komentar yang mengada-ada.

”Pak Panda itu stres, dia itu frustasi. Karena dia itu kan orang penting lalu ditangkap sama KPK. Kalau orang stres bicacaranya memang kemana-mana,” kata pria asal Batang, Jateng itu. (J13-35)

Sumber: Suara Merdeka, 17 Juni 2011

--------------

Agus Condro Divonis 15 Bulan Penjara

Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menjatuhkan hukuman 15 bulan atau satu tahun tiga bulan penjara kepada terdakwa dugaan suap cek pelawat pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Agus Condro.

Majelis hakim menilai, Agus Condro bersalah melakukan tindak pidana korupsi. “Menjatuhkan tindak pidanapenjarakepadaterdakwaI, Agus Condro selama satu tahun tiga bulan.Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama,” ungkap ketua majelis hakim Suhartoyo saat membacakan amar putusan di Pengadilan Tipikor,Jakarta,kemarin.

Tiga terdakwa lain dalam kasus ini, Max Moein,Rusman Lumbantoruan,Willem Tutuarima juga dinyatakan bersalah. Max dan Rusman diganjar hukuman selama satu tahun delapan bulan penjara. Sedangkan Willem dihukum satu tahun enam bulan penjara. Menanggapi putusan ini, Agus Condro mengaku kecewa.

Terutama putusan hakim yang menyatakan dirinya bersalah. Pelapor dalam Pasal 10 ayat 1 UU LPSK tidak bisa dituntut secara pidana maupun perdata atas laporan yang diberikannya.“ Tapi nyatanya,majelis hakim mengambil keputusan lain,”kata Agus. nurul huda

Sumber: Koran Sindo, 17 Juni 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan