Hukum yang Berjarak
Bahasa hukum adalah bahasa harap maklum.Masyarakat awam diandaikan mengerti apa yang dituliskan dalam pasal, ayat, dengan kalimat dan anak kalimat yang ditandai dengan koma.
Bukan kalimat pendek yang diajarkan di sekolah, cukup dengan 12 kata tanpa menghitung kata sandang atau kata sambung. Dengan demikian masyarakat umum bisa bingung untuk hal sederhana. Misalnya perlu dihapus atau tidaknya remisi bagi koruptor. Yang mencuat dan berkelebat di permukaan adalah berkutat soal pasal, soal ayat, soal undang-undang, soal peraturan dengan nomor, dengan strip atau garis miring dan tahun.
Padahal masyarakat selama ini sudah linglung dengan peristiwa yang demikian jelas: ada jaksa menerima suap di kantor kejaksaan, tersangka koruptor bebas, pemilihan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tak kunjung tuntas, pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang daftarnya makin panjang sampai dengan keadaan dalam rumah tahanan atau penjara masih ada yang istimewa. Keadaan semacam ini akan berulang sehingga muncul istilah adanya pembiaran, serangan balik para koruptor.Pergulatan yang terjadi seolah hanya ada di panggung, hanya untuk mereka yang mampu mendemonstrasikan kutipan ayat tanpa melibatkan masyarakat.
Bahasa Melindungi
Penggunaan bahasa atau istilah pun terkesan lebih memihak dan melindungi pelaku yang bersalah. Istilah jaksa nakal, hakim nakal, polisi nakal yang jelas terbukti kesalahannya adalah contoh sederhana yang dipergunakan. Dan bukan jaksa jahat, hakim jahat atau polisi jahat.Padahal kita tahu benar perbedaan kata nakal dengan jahat. Juga aparat atau pejabat yang jelas tertangkap tangan masih bisa dibela dengan gagah: harus ada praduga tak bersalah, biarlah pengadilan yang membuktikan.
Kalaupun terbukti, masih ada berbagai upaya banding-membanding yang kadang kala diakhiri dengan hal itu terjadi karena khilaf. Bahkan kredo yang dianggap sakti, ”hukum harus ditegakkan walaupun langit runtuh”, hanyalah permainan bahasa k a r e n a kita tahu sejak zaman dulu yang nam a n y a langit tak pernah runtuh. Pada sisi ekstrem lain, masyarakat yang bukan tak tahu hukum menemukan penyelesaiannya sendiri sehingga pencuri ayam—sekarang lebih banyak pencuri sepeda motor— langsung dihajar hingga jontor. Pencopet kabur yang tertangkap langsung dihajar hingga babak belur.
Masyarakat yang berbuat dipersalahkan karena main hakim sendiri karena diadili massa dan bukan aparat dan atau institusi yang mendapat kehormatan menangani. Dua sisi yang berseberangan, dua bentuk pendekatan yang bertolak belakang ini menggambarkan kutub berbeda dengan tujuan sama. Semangat menyelesaikan persoalan makin cepat makin baik dan semangat sesuai dengan koridor hukum barang kali bisa disatukan pada titik tertentu, kasus tertentu.
Dengan demikian keinginan masyarakat mendapatkan tempat dan mata rantai proses hukum tidak menjadi lelet. Makna lain yang berharga adalah masyarakat terlibat—melibatkan atau dilibatkan— dan dengan demikian upaya penegakan hukum menjadi gerakan dan gebrakan kebersamaan. Bukan hanya pada elite hukum semata.
Bahasa Menuntaskan
Keikutsertaan masyarakat akan terjadi jika idiom-idiom yang dipergunakan mudah dimengerti dan ada bukti. Istilah rule of law,bahkan istilah penegakan hukum, terasa berjarak dengan perbendaharaan kata-kata yang dipergunakan sehari-hari. Barangkali dengan menggunakan istilah ereksi hukum lebih mudah dimengerti.Sebab kata ereksi mudah dipahami. Juga kalau dikaitkan dengan kata “tidak ayo” atau loyo.
Juga akan mudah diasosiasikan kenapa terjadi tidak ayo.Apakah karena ada penyakit, pikiran tak bisa konsentrasi, atau kurang rangsangan,atau memang sudah impoten. Keikutsertaan masyarakat akan menemukan wujudnya jika bahasa yang dipergunakan adalah bahasa yang menuntaskan. Bahasa yang menyelesaikan. Bukan yang mengambang dan abu-abu menunggu permainan, mengulur waktu. Bahasa tuntas adalah bahasa hitam atau putih.
Apakah dugaan korupsi yang terjadi di kementrian tertentu itu benar terbukti atau tidak.Apakah prosesnya terbuka dan bagaimana hasil akhirnya. Sesungguhnya sangat sederhana. Sama sederhananya ketika menangkap penjahat dan menggunduli rambutnya seketika. Di sini dalam kasus begini hukum sebab-akibat menjadi membumi di mana reward dan punishment bukan wacana semata. Keikutsertaan masyarakat dalam ereksi hukum akan lengkap dengan adanya tokoh-tokoh yang menjadi contoh suri teladan.
Di kalangan penegak hukum nama-nama Bismar Siregar, Yap Thian Hiem, Baharuddin Lopa, Hugeng Iman Santosa tetap harum dan didamba. Pada saat yang sama, masyarakat awam juga menemukan jawaban tuntas apa yang terjadi pada dirinya.Merekalah sebenarnya korban ketidakberdayaan, merekalah yang sebenarnya membutuhkan keadilan berdasarkan KetuhananYang Maha Esa. Ereksi hukum karenanya tidak hanya berhenti sebagai retorika, sebagai bahasa niat atau ayat semata,tidak juga pada satu waktu tertentu masa pemerintahan siapa.
Ereksi hukum akan terus diupayakan karena begitulah kehidupan ini berkelanjutan. Hukum saja mematikan, tapi roh menghidupkan. Begitulah yang tertuliskan.Dan roh itu juga ada pada masyarakat awam yang dianggap buta hukum. Mengabaikan keberadaan mereka berarti mengkhianati sumber kehidupan dan mematikan roh.
ARSWENDO ATMOWILOTO, Budayawan
Tulisan ini disalin dari Koran Sindo, 2 Desember 2011