Hukum Mati Saja Koruptor
Korupsi saat ini sudah menjadi bagian dari hidup bangsa Indonesia. Korupsi bukan lagi milik segelintir elite penguasa negeri. Birokrasi hingga level paling bawah juga sudah terkena wabah korupsi. Praktik memalukan itu sudah dianggap hal biasa di sebagian besar masyarakat. Bahkan, orang yang tidak mau korupsi sering dianggap aneh dan sok suci.
Pemberantasan korupsi menjadi tugas yang sangat berat dan pelik untuk diselesaikan. Pada masa kampanye lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selalu menegaskan bahwa pemberantasan korupsi harus dimulai dari atas. Dalam artian, pucuk pimpinan negara harus bersih dari korupsi. Dengan begitu, diharapkan birokrasi di tingkat bawah akan mengikuti langkah pimpinannya.
Realita di lapangan ternyata berkata lain, upaya pemberantasan korupsi tidak bisa seperti membalik telapak tangan. Aparat kepolisian dan kejaksaan sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi ternyata tidak lepas dari permasalahan. Kedua lembaga tersebut masih dibanjiri oknum aparat yang mempunyai mental korup dan menghalalkan segala cara. Ibarat membersihkan tempat yang kotor, tetapi sapu untuk membersihkannya juga dalam keadaan kotor.
Ketegasan Presiden SBY untuk memimpin langsung penegakan hukum dan upaya pemberantasan korupsi bisa jadi indikasi bahwa pimpinan nasional serius untuk mengatasi korupsi.
Masyarakat tidak selayaknya bermuka dua. Di satu sisi, masyarakat selalu meneriakkan antikorupsi dan menuntut pemerintah untuk memberantas korupsi di segala bidang. Namun, di sisi lain, korupsi dianggap biasa, diterima, dan sering dilakukan masyarakat.
Ringannya hukuman untuk para koruptor bisa menjadi salah satu faktor praktik-praktik korupsi masih tumbuh subur hingga saat ini. Upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan di bawah kepemimpinan Presiden SBY harus dibuktikan kepada publik, bukan hanya lewat slogan.
Janji Presiden SBY untuk memberikan shock therapy bagi rakyat selayaknya dibarengi dengan kerja yang sungguh-sungguh dari para pembantunya, baik para menteri maupun aparat penegak hukum.
Sangat ringannya hukuman bagi pelaku korupsi, baik kelas teri maupun kelas kakap, mengindikasikan bahwa korupsi masih dianggap sebagai kejahatan yang biasa dan wajar. Hukuman yang didapat para pelaku tindak pidana korupsi sebatas hukuman penjara.
Padahal, di Republik Rakyat China (RRC), seseorang yang terbukti korupsi dapat dituntut hukuman mati. Tidak jarang, koruptor harus mengakhiri hidupnya di tiang gantungan, bahkan seorang pejabat negara sekalipun.
Hukuman penjara menjadi denda paling maksimal yang harus dibayar para pelaku korupsi di negeri ini. Hukuman penjara masih mendapatkan remisi dan pengurangan jatah masa tahanan. Kesungguhan kerja aparat juga masih menyisakan tanda tanya besar.
Apakah aparat bekerja sungguh-sungguh dalam upaya pemberantasan korupsi? Sebab, tidak bisa dipungkiri bahwa aparat, baik kepolisian maupun kejaksaan, juga menjadi bagian dari benang kusut upaya pemberantasan korupsi.
Momen 100 hari kinerja kabinet SBY menjadi indikator atas kesungguhan dan keberhasilan pemerintahan baru untuk mengurai benang kusut kasus korupsi yang terus terjadi. Masyarakat yang beberapa waktu lalu ikut menyukseskan pemilu selayaknya diberikan sebuah penghargaan dengan kerja yang sungguh-sungguh dari Kabinet Indonesia Bersatu dalam memberantas korupsi.
Pengalaman Adrian Waworuntu, pembobol Bank BNI yang sempat kabur ke luar negeri dan berhasil mengelabui polisi, adalah sebuah contoh buruk lemahnya kerja aparat penegak hukum kita. Setelah tertangkapnya Adrian, kaburnya Soejono Timan, terpidana korupsi yang dihukum 15 tahun penjara, menjadi kasus buruk yang mencoreng nama aparat kepolisian dan pemerintahan SBY secara tidak langsung.
Semoga komitmen jaksa agung untuk menangkap dan mengadili para koruptor kelas kakap bukan hanya janji untuk memenuhi target 100 hari kabinet. Upaya pengadilan koruptor harus tetap mengedepankan koridor hukum yang berlaku, bukan pada kepentingan politik penguasa. Bukan tak mungkin, kasus korupsi pejabat Orba, yang kasusnya sudah dipetieskan, dibuka kembali untuk mendapatkan kejelasan dan keadilan hukum.
Dengan pemberian hukuman yang cukup berat, bahkan hukuman mati untuk para koruptor, diharapkan menjadi sebuah warning system bagi setiap warga negara yang tidak kebal hukum. Para pelaku korupsi kelas kakap yang telah terbukti bersalah di pengadilan tidak ada salahnya diberikan hukuman yang paling berat, yaitu hukuman mati.
Ketegasan hukum itu penting dilakukan agar dalam diri masyarakat, baik masyarakat biasa maupun pejabat negara, merasakan bahwa korupsi bukan lagi hal yang wajar. Yang lebih penting lagi, hukuman mati tersebut tidak sekadar gertak sambal bagi para pelaku korupsi. Namun, pelaksanaannya harus benar-benar tegas tanpa pernah memandang siapa koruptornya, masyarakat biasa atau pejabat negara.(Dita Darmastari, aktivis Civil Education Society UGM 2003/2004 dan mahasiswi komunikasi, UGM)
Tulisan ini diambil dari Jawa Pos, 24 Desember 2004