Hukum Mandul, Hutan Pun Gundul
Penegakan hukum guna memberantas illegal logging yang memicu penggundulan hutan terkesan mandul tanpa ada tindakan tegas. Dari ribuan kasus yang ditangani sepanjang dua tahun terakhir, hanya sedikit yang diproses. Itu pun hanya menangkap para kaki tangannya saja. Praktik haram tersebut telah menghidupi industri kayu dan jaringan kejahatan internasional. Akan tetapi, aparat hukum masih menggunakan pendekatan formal dan yuridis normatif yang kaku dalam mengatasi persoalan tersebut.
ANGGOTA Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS), Suripto, mengakui, operasi pemberantasan illegal logging tidak serius karena aparat melakukan pendekatan konvensional dan sangat normatif. Aparat hanya mengandalkan penangkapan di lapangan tanpa pernah serius mengejar aktor di belakang layar. Akibatnya, para cukong dan oknum petinggi tidak pernah tersentuh. Belum lagi praktik kolusi antara cukong, preman, dan aparat semakin mempersulit pemberantasan kejahatan itu.
Proses penegakan hukum pun terkesan main-main lantaran sering kali penemuan kayu ilegal dikatakan tidak bertuan. Selanjutnya, terjadi kolusi penuh tipu daya bermodus pembelian kayu sitaan yang dilelang negara dengan harga murah oleh cukong pemilik barang haram tersebut.
Sebagian besar pengusaha kayu dan industri perkayuan di Kalimantan mengaku terpaksa menjalankan praktik illegal logging ataupun menjalankan produksi bermodal kayu spanyol (separoh nyolong-Red) karena besarnya beban pungutan. Dari aparat hingga preman menciptakan beban keuangan tersendiri di luar pungutan dana reboisasi (DR) dan provisi sumber daya hutan (PSDH).
Menyikapi kondisi tersebut, alih-alih membayar DR dan PSDH, pengusaha memilih membayar preman-aparat untuk meraih untung besar. Dengan kiat itu, mereka dapat melakukan penebangan di luar petak ditambah pemalsuan dokumen dan segala jenis manipulasi demi menggelembungkan untung.
Semisal, sekitar tahun 2002- 2003, harga kayu gelondong di Kalimantan Timur berada pada kisaran Rp 300.000-Rp 400.000. Pengusaha meraih untung besar dari penebangan liar tanpa perlu membayar kewajiban dari pemerintah memanfaatkan izin pemanfaatan kayu (IPK) yang dikeluarkan bupati.
Meski bisnis kayu dengan dasar IPK telah dilarang pemerintah, dalih perpanjangan izin dan lemahnya pengawasan memungkinkan praktik illegal logging resmi ala otonomi daerah ini berlangsung. Dalam skenario tersebut, pengusaha-aparat membagi kemakmuran, sementara rakyat pedalaman hanya mendapat kompensasi Rp 50.000-Rp 75.000 per meter kubik.
Praktik ini pun merebak di Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Cukong, oknum aparat, dan preman dapat hidup mewah bahkan dihormati serta disegani. Penegakan hukum pun menjadi semboyan tanpa makna.
NAMUN, masih ada secercah harapan dalam pemerintahan baru ini. Setidaknya, proses hukum terhadap Kepala Kepolisian Resor (Polres) Sorong yang sedang berlangsung saat ini dapat menjadi titik awal pemicu pemberantasan illegal logging.
Sejauh ini, kasus illegal logging yang melibatkan terdakwa mantan Kepala Polres Sorong Ajun Komisaris Besar AN Faisal dan lima anak buahnya sedang ditangani Pengadilan Negeri (PN) Sorong. Sejumlah saksi kunci, yang diduga paling bertanggung jawab atas hilangnya kapal MV Afrika yang membawa 12.000 meter kubik kayu gelondongan jenis merbau, belum bersedia hadir di PN Sorong dengan alasan sedang menjalankan tugas di Markas Besar (Mabes) Kepolisian Republik Indonesia (Polri).
Ketua tim pengacara AN Faisal dan lima anak buahnya, Mohammad Syukur, di Sorong, pekan lalu, mengatakan, kasus illegal logging di Papua sangat marak dan menimbulkan kerawanan.
Kasus tersebut dipercaya dapat menjadi kunci mengungkap jaringan yang menyangkut sejumlah orang besar. Dalam laporan kronologis penanganan kapal MV Afrika, secara tertulis, dari Iptu Ansar Djohar- salah satu tersangka kasus itu- yang ditujukan kepada Kepala Bagian Resor Kriminal Polri di Jakarta antara lain disebutkan, pelepasan kapal MV Afrika atas perintah Wakil Kepala Kepolisian Daerah (Polda) Papua Brigadir Jenderal (Pol) Raziman Tarigan yang disampaikan melalui telepon seluler.
Perintah lisan melalui telepon seluler nomor 0811488833 dan 0811481874 itu agar tersangka David Tono tidak boleh ditahan, tetapi barang bukti berupa kapal dan kayu log ditahan. Pemilik kapal, David Tono, yang juga Direktur PT Tabuan, telah menelepon Wakil Kepala Polda dan sudah ada pembicaraan lisan antara David Tono dan Raziman Tarigan.
Setelah perkara MV Afrika dilimpahkan dari Polairud Sorong ke Polres Sorong, proses penanganan kasus itu mengalami banyak kendala karena adanya intervensi dari oknum pejabat di Polda Papua waktu itu.
Polres Sorong hanya menjalankan perintah dari satuan Polda Papua yang langsung datang ke Sorong dipimpin Inspektur Polda Papua Komisaris Besar Syaifuddin Wani bersama empat perwira menengah dan seorang pengusaha, Hengky Maskat. Beberapa kegiatan dilakukan tim Polda Papua selama satu pekan di Sorong pada Januari 2002.
Syarifuddin Wani kemudian meminta bertemu dengan David Tono. Melalui Ipda Indra Hermawan selaku Kanit Resmob Polres Sorong, David Tono dihadirkan di ruang Kepala Polres Sorong untuk bertemu Syarifuddin Wani.
Pada kesempatan itu, David Tono memperlihatkan bukti slip pengiriman uang tahap pertama sebesar Rp 500 juta melalui BNI Cabang Sorong ke PT Wana Tuna Karya Jayapura yang ditujukan kepada Hengky Maskat. Kemudian, pengiriman tahap kedua sehingga jumlahnya Rp 1,2 miliar ke rekening Hengky Maskat untuk diteruskan ke Wakil Kepala Polda Papua.
Menurut David Tono, saudara Hengky Maskat sangat dekat dengan Brigadir Jenderal (Pol) Raziman Tarigan. Saat itu Komisaris Besar Syarifuddin mengatakan, Uang itu ditujukan kepada pemimpin, kalau saya belum. Saya cukup satu unit mobil asal Jepang. Maka, keduanya sepakat membelikan mobil produksi Jepang seharga Rp 120 juta.
Syarifuddin lalu memberi perintah kepada Ajun Komisaris Besar AN Faisal bahwa proses hukum terus berjalan, tetapi David Tono jangan dulu ditahan, sesuai perintah Wakil Kepala Polda Papua.
Atas perintah Komisaris Besar Syarifuddin, Iptu Ansar Djohar bertemu David Tono, sementara AKP Hendra Rohmawan dan Ipda Ribut Budiyono mengurus surat-surat dan pengiriman ke Jakarta. David Tono kemudian memberi uang Rp 50 juta kepada Iptu Ansar Djohar untuk proses pembelian mobil tersebut. Ketika itu, David Tono sempat berkata, Pak Ansar Djohar, Anda disuruh membunuh singa tetapi dagingnya dimakan orang lain. David Tono tidak melunasi sisa uang mobil itu sehingga dilunasi Polres Sorong.
SETELAH dua tahun didiamkan dan dilakukan pergantian Kepala Polda Papua dan Wakilnya yang baru, sekitar November 2004, kasus ini diangkat kembali ke permukaan dan dilimpahkan ke PN Sorong.
Pihak Mabes Polri menetapkan enam terdakwa dalam kasus illegal logging MV Afrika, yakni mantan Kepala Polres Sorong Ajun Komisaris Besar AN Faisal beserta lima anak buahnya, yakni Wakil Kepala Polres Sorong Ajun Komisaris Besar I Putu Masena, AKP Taswin, Bripka Atjeng Danda, Iptu Ansar Johar, dan Ipda Widodo.
Sidang perkara perdata illegal logging MV Afrika ini digelar awal Desember 2004. Sidang diawali dengan pembacaan dakwaan yang dipantau ratusan masyarakat Sorong. Sekitar 34 saksi telah memberi keterangan di PN Sorong. Namun, sekitar empat saksi kunci, antara lain Brigadir Jenderal (Pol) Raziman Tarigan, belum juga hadir.
Menurut ketua tim penasihat hukum AN Faisal dan anak buahnya, Mohammad Syukur, kehadiran Raziman Tarigan untuk memberi keterangan di PN Sorong sangat diperlukan. Sebab, di dalam berita acara pemeriksaan terdakwa disebutkan bahwa pelepasan kapal MV Afrika atas perintah dan desakan dari Brigadir Jenderal (Pol) Raziman Tarigan sebagai Wakil Kepala Polda Papua waktu itu.
Sebelumnya, Kejaksaan Negeri sempat tiga kali memanggil saksi yang kini bertugas di Mabes Polri itu, namun dia tidak pernah datang. Kemudian, majelis hakim mengeluarkan surat panggilan paksa namun saksi tidak juga datang di PN Sorong.
Sebaliknya, Mabes Polri justru kemudian menggelar sidang disiplin di PN Sorong, Senin (14/2), dengan menetapkan Ajun Komisaris Besar AN Faisal telah melanggar disiplin, tidak menghormati pimpinan, dan tidak bertanggung jawab dalam tugas.
Setelah sidang disiplin digelar, barulah saksi kunci dalam kasus illegal logging MV Afrika, yakni Brigadir Jenderal (Pol) Raziman Tarigan sudah bisa dihadirkan di PN Sorong. Di dalam berita acara, Raziman Tarigan juga menyebutkan memberi perintah pelepasan barang bukti Kapal MV Afrika atas perintah Kepala Polda Papua waktu itu Inspektur Jenderal Made Mangku Pastika.
Kasus ini pun terus bergulir menimbulkan tanda tanya apakah hukum akan ditegakkan ataukah kembali dimentahkan.
Kasus ini di mata Suripto mengajarkan betapa penguasa harus bertangan besi menangani persoalan illegal logging. Yang harus dilakukan adalah operasi intelijen. Cukup membuat tim kecil untuk menyapu bersih kejahatan itu dengan bergerak dari satu sasaran ke sasaran lain. Tim yang paling banyak beranggotakan 50-70 orang ahli ini akan menyelidiki jaringan mafia kayu dari dalam hingga luar negeri, kata Suripto.
Kepala divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Aryanto Boedihardjo mengatakan, pihaknya terus menuntaskan persoalan illegal logging sebagai salah satu prioritas kerja secara menyeluruh dan tanpa pandang bulu.
Dalam dua tahun terakhir, polisi telah menunjukkan perbaikan kinerja dalam memberantas illegal logging. Tahun 2003 telah berhasil ditangani 896 kasus dengan 1.885 tersangka. Sebanyak 625 kasus di antaranya telah dilimpahkan ke kejaksaan. Barang bukti mencapai 223.385 meter kubik yang meliputi 50.462 batang kayu.
Tahun 2004 meningkat menjadi 962 kasus dengan 1.064 tersangka. Jumlah kayu yang disita mencapai 287.087 meter kubik atau sebanyak 58.980 batang. Polisi berhasil menyelamatkan keuangan negara senilai Rp 344.089.500.000.
Kejahatan ini telah dikenal modusnya. Namun, dia mengakui sejumlah kendala, seperti besarnya dana, kesulitan pengamanan dan bongkar muat barang bukti, turut memberi andil menghambat kerja polisi. Untuk penanganan sebuah kasus illegal logging, misalnya, hanya tersedia dana dari negara sebesar Rp 2,5 juta saja. Meski demikian, polisi menetapkan pemberantasan illegal logging sebagai salah satu prioritas kerja mereka.
Kasus Sorong dapat menjadi titik awal untuk menunjukkan integritas penegak hukum serta membuka jaringan mata rantai perdagangan kayu ilegal internasional. (Kor/Ong)
Sumber: Kompas, 5 Maret 2005