Hukum Campur Kepentingan
HAKIM Syarifuddin Umar mungkin tak bisa disentuh KPK bila ia punya beking politik mumpuni. Tapi publik telah mendapat pendalaman pemahaman mengenai konflik kepentingan kekuasaan dalam penegakan hukum oleh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie, baru-baru ini. Seusai bersilahturahmi dengan mantan Ketua KPK Antasari Azhar di ruang tahanannya, Jimly menggambarkan Antasari sebagai korban peradilan sesat.
Sebuah peradilan dijalankan oleh orang-orang pandai. Kalau mereka bersedia membuat skenario peradilan sesat pasti karena ada permintaan atau tekanan. Kalau mereka diminta at all cost membuat vonis bersalah terhadap seorang pejabat tinggi negara dengan kewenangan sebesar ketua KPK, pihak yang meminta pasti punya kekuasaan sangat besar.
Penanganan kasus hukum yang melibatkan Muhammad Nazaruddin pun tidak bersih dari konflik kepentingan. Perkembangan kasus mantan Bendahara Umum DPP Partai Demokrat (PD) dan cara penanganannya mencerminkan banyak kejanggalan. Kejanggalan pertama adalah peran Presiden SBY, yang ikut-ikutan memojokkan kadernya itu. SBY bersama Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD menggelar jumpa pers dengan agenda gelar kasus Nazaruddin. Di forum itu, Nazaruddin dihabisi dengan menambah kasus pemberian uang kepada Sekjen MK Janedjri M Gaffar.
Awalnya muncul kesan tentang SBY yang luar biasa. Sebagai ketua dewan pembina partainya, dia tidak melindungi kadernya yang bermasalah. Tapi karena kasus Nazaruddin bernuansa politis, banyak yang berkesimpulan lain. Ada yang berpendapat SBY menunggangi kasus itu untuk memperbaiki citranya. Kalau dalam kasus Nazaruddin responsnya begitu agresif, mengapa pada kasus lain yang juga melibatkan kadernya, ia nyaris tak memberi respons? Begitu juga pada kasus besar seperti skandal Bank Century, mafia hukum, dan mafia pajak. Karena itu, sejumlah politikus menduga ada motif lain dari SBY dalam kasus Nazaruddin. Paling masuk akal adalah pencitraan.
Kehadirannya dalam jumpa pers bersama Mahfud MD itu juga bisa menjadi bumerang. Dia dalam kapasitas presiden atau ketua dewan pembina partainya? Tidak pada tempatnya jika ketua dewan pembina membahas Nazaruddin di kantor presiden. Sebagai presiden pun, terlalu berlebihan jika ia hadir dalam jumpa pers itu, apalagi hanya untuk mempersilakan Mahfud membeberkan kasus tersebut.
Tebang Pilih
Kejanggalan pun berlanjut hingga KPK mencekal Nazaruddin meski yang bersangkutan pernah diperiksa KPK, dan belum juga berstatus tersangka. Belakangan, baru ada penjelasan bahwa untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan, KPK berwenang mencekal kendati yang bersangkutan tidak atau belum berstatus tersangka. Pelaksanaan cekal pun tak kalah heboh. Soalnya, surat cekal Nazaruddin diterbitkan 24 Mei 2011, tetapi ia ke Singapura sehari sebelumnya. Wajarlah jika publik berkesimpulan bahwa terjadi konflik kepentingan di balik cekal tersebut.
Sudah lama cekal ditanggapi dengan sinisme publik karena banyak surat cekal diterbitkan saat pihak yang dicekal sudah berada di luar negeri. Sekadar menyegarkan memori pembaca, cekal paling heboh adalah terhadap 8 obligor BLBI, yakni Marimutu Sinivasan (Bank Putra Multikarsa), Ulung Bursa (Bank Lautan Berlian), Atang Latief (Bank Indonesia Raya), Lidya Muchtar (Bank Tamara), Omar Putirai (Bank Tamara), Adis Saputra Januardy (Bank Namura Internusa), James Januardy (Bank Namura Internusa), dan Agus Anwar (Bank Pelita dan Bank Istimarat).
Tapi pencekalan itu terlambat karena beberapa nama yang dicekal diduga sudah meninggalkan Indonesia, bersembunyi di negara lain. Ada yang lama menetap di Singapura, sementara Sinivasan dinyatakan buron dan masuk daftar pencarian orang (DPO). Sampai pada kasus Nunun Nurbaeti Daradjatun, yang sudah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap cek perjalanan dalam pemilihan Deputi Senior Gubernur BI pada 2004. Nunun tak pernah mau menampakkan diri setelah diduga bersembunyi, bolak-balik, di Singapura dan Thaliand. Terakhir sosialita itu terlacak sudah sampai di Kamboja (SM, 07/06/11). Ketika disebut-sebut masih di Singapura dan Thailand, Kemenkumham mencabut paspor Nunun guna mengunci pergerakannya.
Kalau strategi mencabut paspor bisa mengunci gerak Nunun dan membuka kemungkinan membawanya kembali ke Jakarta, mengapa strategi serupa tidak diterapkan kepada obligor BLBI, Anggoro Widjojo, para koruptor dan tersangka pelanggar hukum lain yang diketahui melarikan diri keluar negeri?
Jangan salahkan anggapan adanya tebang pilih jika hanya diterapkan pada Nunun, tidak diberlakukan pada begitu banyak buron lain yang diketahui melarikan diri dari Indonesia.
Terpeliharanya konflik kepentingan dalam penegakan hukum itu pada gilirannya menumbuhkan praktik dan jasa mafia hukum. Pada akhirnya, benar yang dikatakan Jimly Asshiddiqie bahwa 13 tahun reformasi kita belum membuahkan hasil signifikan di bidang penegakan hukum. (10)
Bambang Soesatyo, anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Golkar
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 10 Juni 2011