Hukum Berpihak kepada Penguasa; Putusan Antiklimaks
Putusan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang menolak permintaan jaksa untuk menghadirkan Bagir Manan sebagai saksi merupakan putusan yang antiklimaks dan pengingkaran atas prinsip kesamaan di muka hukum. Itu pertanda awal kematian pengadilan korupsi di Indonesia.
Kritik keras itu datang dari Ketua Komisi III DPR Trimedya Panjaitan (Fraksi PDI-P, Sumatera Utara II), Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Teten Masduki, dan pengamat hukum Irman Putrasidin secara terpisah di Jakarta, Kamis (27/4).
Trimedya mengutarakan, dari sisi kronologi sebenarnya tidak ada keengganan dari Bagir Manan untuk diperiksa. Ia bahkan merelakan ruang kerjanya diperiksa, tuturnya, yang mempertanyakan, Mengapa hakim mengambil putusan yang memberikan kesan untuk melindungi Bagir Manan.
Dengan putusan seperti itu, menurut Trimedya, Bagir justru dirugikan karena memberikan kesan ia dilindungi dan Bagir kehilangan kesempatan untuk menjelaskan apa yang terjadi. Putusan itu juga merugikan korps hakim, khususnya hakim tipikor.
Ia mengaku banyak mendengar keluhan dari pengacara bahwa ketika bersidang di Pengadilan Tipikor ada sinergi antara penyidik, penuntut, dan hakim. Sekarang ada perbedaan. Ini menarik. Apakah memang sedang terjadi friksi di dalamnya, kata Trimedya, yang menyayangkan jaksa penuntut umum kurang gigih untuk memperjuangkan dihadirkannya Bagir Manan sebagai saksi. Jaksa harus menegaskan bahwa beban pembuktian ada di jaksa, katanya.
Teten Masduki menegaskan, majelis hakim seharusnya tidak mengabaikan undang-undang, dalam hal ini Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), hanya karena berdasarkan sebuah diskresi Ketua Mahkamah Agung.
Ini aneh, kok diskresi Ketua MA dinilai jauh lebih tinggi dari sebuah undang-undang. Ini membuktikan majelis hakim tindak pidana korupsi dan Ketua MA tidak ada upaya atau keinginan untuk menghormati hukum. Ini membuktikan pemegang otoritas hukum mendapatkan kekecualian, tegas Teten.
Teten mengingatkan, tindakan majelis hakim tipikor yang menolak Bagir, Parman Suparman, dan Usman Karim dijadikan saksi dalam Pengadilan Tipikor adalah preseden yang membahayakan integritas Pengadilan Tipikor. Pengadilan Tipikor seharusnya ingat pengadilan ini dibentuk karena pengadilan umum dianggap tidak mampu, tegas Teten.
Irman, pengamat hukum tata negara, menjelaskan, tindakan majelis hakim tipikor sangat jelas membuktikan bahwa hukum berpihak kepada penguasa. Surat edaran tidak bisa dijadikan dasar karena surat edaran tidak memiliki kekuatan mengikat.
Surat edaran itu bukan peraturan perundang-undangan, tetapi surat edaran peraturan kebijakan. Surat edaran tidak boleh mengabaikan peraturan perundang-undangan yang ada. Argumen majelis hakim tipikor terutama yang dari jalur karier ini membuktikan solidaritas korps, tegas Irman. (VIN/bdm)
Sumber: Kompas, 28 April 2006