Honor dari BPD Ilegal

bpdGamawan: Honor Bukan Imbalan

Polemik pemberian fee atau honor dari Bank Pembangunan Daerah kepada pejabat daerah semakin panas. Indonesia Corruption Watch menilai, pemberian honor untuk pejabat itu termasuk tindak pidana korupsi sehingga bisa dipidanakan.

ICW juga menilai, pernyataan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi tentang bolehnya menerima honor dari BPD sebagai bias kepentingan. ”Sebab, saat menjadi Gubernur Sumatera Barat, Gamawan pernah menerima honorarium di luar penghasilan yang ditetapkan perundangan,” kata peneliti ICW, Tama S Langkun, di Jakarta, Selasa (2/2).

Mengutip Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan Perwakilan Padang, Tama mengatakan, Gamawan pernah menerima honorarium di luar penghasilan sebagai unsur Muspida (Musyawarah Pimpinan Daerah) Sumatera Barat. Selama 2007-2008, total honorarium yang diterima Gamawan Rp 96 juta. Rinciannya, Rp 51 juta pada 2007 dan Rp 45,9 juta pada 2008.

Gamawan Fauzi pernah mengatakan, ”Dulu pejabat boleh mendapat honor dari Bank Indonesia. Namun, pada 2006 ada surat imbauan dari BI agar honor tidak dibayarkan lagi.”

Dia menambahkan, ”Kalau honor saya dukung, fee tidak saya dukung. Honor bukan fee. Kepala daerah itu kuasa pemegang saham BPD sehingga memiliki hak untuk ikut RUPS, apakah tidak wajar apabila dia mendapat honor.”

Konflik kepentingan

Menurut Tama, posisi kepala daerah sebagai kuasa pemegang saham di BPD juga harus dikritisi karena bisa menimbulkan konflik kepentingan. ”Bukan tidak mungkin, kepala daerah berperan besar dalam menentukan kebijakan pemberian honor kepada dirinya sendiri ataupun koleganya,” katanya.

Dalam praktik pemberian honor kepada kepala daerah, sebagaimana temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), uang tersebut langsung dikirim ke rekening pribadi kepala daerah. ”Hal ini bertentangan dengan PP No 105/2000 Pasal 11 tentang semua transaksi keuangan daerah dilaksanakan melalui kas daerah. Fee dari BPD boleh, asal diserahkan ke kas daerah, bukan ke rekening pribadi,” katanya.

Tama menambahkan, pemberian honor dari BPD juga bertentangan dengan Surat Bank Indonesia No 71 SBI I DPNP/ DPnP pada 20 Oktober 2005 yang memerintahkan semua bank tidak memberikan hadiah atau bunga khusus bagi pejabat dan penyelenggara negara.

Saat ini KPK menyelidiki enam BPD dan menemukan aliran dana ilegal Rp 360 miliar selama 2002-2008. Imbalan itu diberikan kepada pejabat yang menempatkan dana APBD di bank terkait. Keenam bank itu adalah BPD Sumut yang mengalirkan imbalan Rp 53,811 miliar, BPD Jabar-Banten (Rp 148,287 miliar), BPD Jateng (Rp 51,064 miliar), BPD Jatim (Rp 71,483 miliar), BPD Kaltim (Rp 18,591 miliar), dan Bank DKI (Rp 17,075 miliar).

Pemasukan tunggal
Leo Nugroho, seorang pemerhati praktik keuangan negara, mengatakan, honor atau fee kepada pejabat negara dalam berbagai bentuk seharusnya dihilangkan.

”Penerimaan honor dari BUMD, termasuk BPD, dapat digolongkan penerimaan ganda atas suatu tugas pokok yang sama. Kebijakan penempatan APBD di BPD merupakan bagian dari tugas dan kewenangan kepala daerah yang seharusnya menguntungkan keuangan negara, bukan menguntungkan pribadi,” kata Leo menambahkan. (AIK/SIE)

Sumber: Kompas, 3 Februari 2010

klik disini untuk mengunduh file analisis ICW

File presentasi Leo Nugroho

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan