Hindari Celah Korupsi, Awasi Piutang Negara
BPK telah selesai memeriksa dan mempublikasikan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun Anggaran 2012. Namun transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara harus terus didorong, diantaranya soal pengelolaan piutang negara. Jika tak diawasi serius, piutang negara bisa jadi celah rawan penyelewengan kekayaan negara.
LKPP 2012 menyajikan perkembangan piutang negara baik pajak maupun bukan pajak. “Ada kenaikan dari Rp 158 triliun tahun 2011 menjadi Rp 222 triliun pada 2012,” jelas Firdaus Ilyas, peneliti ICW bidang Monitoring dan Analisis Anggaran. Kali ini, ICW menyoroti pengelolaan piutang negara bukan pajak, sementara piutang pajak akan dibahas tersendiri.
Dalam LKPP 2012 juga termuat penyisihan piutang tak tertagih dari Rp 75 triliun pada tahun 2011 menjadi Rp 136 triliun tahun 2012. “Penyisihan piutang tidak tertagih tahun 2012 terutama berasal dari piutang PNBP Kementerian/Lembaga sebesar Rp 19,4 triliun dan pada Kementerian Keuangan (BUN) sebesar Rp 71,9 triliun,” kata Firdaus.
“Apa sih kekayaan negara itu?” Firdaus membuka penjelasannya, “Yaitu adalah segala hal yag bisa ditagih negara berupa hak, barang (aset), bisa juga berbentuk uang.” Firdaus mengakui, tampilan ngka-angka ini boleh jadi tampak wajar karena penyisihian piutang memang dimungkinkan dalam perbankan dan sektor privat.
Total penerimaan negara tahun 2012 berjumlah Rp 1.338 triliun. “Penyisihan piutang negara mencapai hampir 10% dari total penerimaan negara 2012,” kata Firdaus. “Penyisihan piutang negara memang dimungkinkan dalam pengelolaan keuangan negara. Tapi, bagaimana transparansi dan akuntabilitasnya? Apakah sudah dilakukan dengan hati-hati, dan telah dilakukan upaya penagihan yang serius?” tanya Firdaus.
“Total piutang kekayaan negara yang meliputi piutang negara yang lancar, piutang jangka panjang dan kekayaan aset yang dicatatkan pada LKPP 2012 jumlahnya Rp 606 triliun. Sebesar Rp 157 triliun disisihkan sebagai piutang pajak dan bukan pajak,” jelas Firdaus.
Dalam LKPP 2012, pada piutang lancar, nilai piutang naik dari Rp 158 triliun pada 2011 menjadi Rp 222 triliun pada 2012. Pada kenaikan jumlah piutang, juga terdapat penambahan penyisihan piutang yang naik menjadi Rp 136 triliun. Pada piutang bersih, tidak terjadi perubahan mendasar. “Nilai aset juga berubah, ada depresiasi, secara umum wajar,” kata Firdaus, “Tapi pertanyasannya, apakah penyisihan piutang ini hanya untuk membuat struktur APBN terlihat lebih ramping dan indah? Apakah penyisihan piutang ini tidak akan tertagih dan dihapuskan?”
Piutang Negara Bukan Pajak pada (PNBP) Kementerian/Lembaga (K/L), yang terdiri dari 68 K/L dengan posisi piutang (bruto) sebesar Rp 28,251 triliun dengan nilai penyisihan piutang sebesar Rp 19,423 triliun berkontribusi sebanyak 68,75% dari keseluruhan nilai piutang.
Sementara, PNBP pada Bendahara Umum Negara (BUN), dengan nilai piutang (bruto) sebesar Rp 92,674 triliun dengan penyisihan piutang sebesar Rp 71,939 triliun menyumbang 77,63% dari keseluruhan nilai piutang.
“Secara keseluruhan, PNBP yang disisihkan adalah Rp 91,363 triliun atau 75,55% dari keseluruhan nilai piutang (bruto) sebesar Rp 120,925 triliun,” kata Firdaus.
Dari Rp 28,251 triliun piutang PNBP K/L, ternyata 94,92% berasal dari empat institusi, yaitu: Kejaksaan Agung (Kejagung), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Kehutanan (Kemhut), dan Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkomindo) dengan nilai piutang PNBP mecapai Rp 26,817 triliun.
Sementara, dari Rp 19,423 triliun penyisihan piutang PNBP pada K/L ternyata 98,89% penyisihan piutang berasal dari empat institusi yang sama, dengan nilai penyisihan sebesar Rp 19,209 triliun. Lebih lanjut, pada empat institusi dengan piutang PNBP terbesar itu, ternyata penyisihan piutang PNBP terbesar ada pada Kementerian ESDM sebesar 87,55% dan Kementerian Kehutanan sebesar 86,04%.
Empat institusi ini adalah sebagian kecil K/L yang punya kekuasaan memungut PNBP. “Pada kementerian dan lembaga inilah, PNBP negara itu digantungkan. Pada K/L inilah sumber pendapatan negara,” jelas Firdaus.
Menegakkan hukum lewat penagihan piutang
PNBP di kejaksaan, menurut Firdaus, bukan sekadar PNBP sebagai penerimaan negara, tapi juga penegakan hukum. “Kalau hukum sudah dapat diskon, kemudian ganti rugi tidak tertagih dengan berbagai alasan—entah tidak ditagih-tagih, kesalahan administrasi, bagaimana pemerintah bisa menegakkan kepercayaan publik?” tanya Firdaus.
PNBP untuk Kejagung pada tahun 2012, besarnya Rp 12,5 triliun. “Jika berkaca pada LKPP 2011, PNBP Kejagung sebesar Rp 12,6 triliun berasal dari dua item besar, yaitu pidana khusus (pidsus) sebesar 41%, dan dari Tata Usaha Negara, untuk kasus-kasus yang sudah inkrah. Pada bidang pidsus, nilainya Rp 5,249 triliun atau 41,49%. Untuk bidang perdata dan tata usaha negara (DATUN) nilainya Rp 7, 401 triliun atau 58,51%,” jelas Firdaus.
Jumlah uang pengganti untuk pidsus dengan nilai uang pengganti diatas Rp 10 miliar dengan total Rp 4,789 triliun menyumbang 91,23% dari keseluruhan Uang Pengganti Pidana Khusus (UP Pidsus). “Dimana total jumlah terpidana sebanyak 39 orang, dan satu orang diantaranya masuk dalam Daftar Pencarian Orang yaitu Nader Taher dengan nilai uang pengganti sebesar Rp 35,9 miliar,” tukas Firdaus.
“Uang pengganti untuk bidang Datun yang nilainya diatas Rp 10 miliar, besarnya Rp 7,259 triliun, atau 98,08%. Ada 8 orang terpidana dengan nilai uang pengganti diatas Rp 10 miliar. Ini tanggung jawab Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta untuk menagih ke 8 orang ini,” kata Firdaus.
Sementara itu, Bidang Datun telah melakukan gugatan perdata termasuk sita jaminan atas nama terpidana David Nusa Wijaya dengan nilai UP sebesar Rp 1,291 triliun,” jelas Firdaus lagi. “Tapi, bagaimana yang lain? Apakah dia menjalani proses? Karena, kalau uang pengganti tidak dibayarkan, harus ditambah kurungan badan. Ini nelum ada posisi yang jelas,” ujarnya prihatin.
Piutang pada Kemkominfo
Total piutang PNBP Kominfo dalam LKPP 2012 sebesar Rp 2,78 triliun. Melihat LK Kominfo 2011, dinyatakan total piuntang PNBP sebesar Rp. 2,442 triliun. “Terbesar berasal dari Ditjen SDPPI senilai Rp 2,434 triliun. Ini berasal dari Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi. Dengan rincian piutang tahun 2011 yang terbesar diantaranya PT Smart Telecom senilai Rp 1,357 triliun dan PT Bakrie Telecom Tbk sebesar Rp 451,2 miliar,” jelas Firdaus.
Tetapi, yang menarik, menurut Firdaus, TVRI juga punya piutang BHP Rp 41 miliar, dan untuk TVRI tidak dilakukan penyisihan piutang, dihitung lancar. “Tapi perusahaan yang mentereng dan besar, disisihkan piutangnya,” ujar Firdaus lagi.
Piutang pada Kementerian ESDM
Firdaus menuturkan, “Orang kaya Indonesia dari mana sih? Kalau tidak batubara, perkebunan sawit. Kalau tidak acak-acak pertambangan, ya perkebunan,” katanya. “Dari piutang Kementerian ESDM sebesar Rp 8,3 triliun , sudah disisihkan Rp 7,6 triliun—hampir 100%. Hampir tidak tertagih. Macet,” jelas Firdaus.
Total piutang PNBP KESDM mencapai Rp 9,399 triliun pada LKPP 2012. Sedangkan, pada tahun 2011 sebesar Rp 8,504 triliun. “Berdasarkan LK KESDM 2011, dari Rp 8,504 triliun, sebesar Rp 8,292 triliun berasal dari Ditjen Minerba. Nilai piutang sebesar ini berasal dari piutang PNBP berupa iuran royalti dan iuran tetap KK/IUP dan PKP2B.
Di antara piutang PNBP yang berasal dari PKP2P, sebesar Rp 7,119 triliun merupakan bagian negara dari dana hasil penjualan batubara (DHPB) yang ditahan oleh enam kontraktor (tahun buku 2001 –2007) yaitu: PT Adaro Indonesia, PT KPC, PT Arutmin Indonesia, PT Berau Coal, PT Kideco Jaya Agung dan PT Kendilo Coal Indonesia,” jelas Firdaus.
Firdaus menjelaskan, “Salah satu skema yang diusulkan oleh Kementerian Keuangan adalah memohon pendapat hukum pada Kejagung untuk menindaklanjuti usulan BPKP untuk melakukan kompensasi atas DHPB dengan PPN kontraktor. Dengan catatan, jika jumlah DHPB melebihi nilai pembayaran PPN oleh 6 kontraktor tersebut maka harus dilakukan pembayaran DHPB sisanya.”
PKB2B sudah diserahkan ke panitia piutang negara, “Kemkeu juga menawarkan, bagaimana kalau misalnya penyanderaan BHPP ini ditukarkan, karena selama ini tidak terselesaikan. Ini pernah kami singgung berkali-kali,” tegas Firdaus.
Piutang pada Kementerian Kehutanan
Nilai piutang PNBP Kemenhut untuk Tahun Anggaran 2012 berjumlah Rp 2,067 triliun. “Ini naik dari Rp 1,502 triliun pada 2011,” jelas Firdaus.Dalam LK 2011, dari total PNBP Rp 1,502 triliun, sebesar Rp 1,022 triliun berasal dari Ditjen Bina Usaha Kehutanan. “Ini berasal dari dana reboisasi, tunggakan IIUPH, dan Piutang Ganti Rugi Nilai Tegakan,” kata Firdaus.
Firdaus berpendapat bahwa semua ini baru data dari LKPP Pemerintah. “Kita harus membandingkan dengan hasil audit Kementerian dan Lembaga, karena ini harus diwaspadai dan dimonitoring lebih lanjut.”
Siapa yang diuntungkan?
Firdaus menyoroti penghapusan piutang. Walau dimungkinkan lewat PP 14/2005 tentang Tata Cara Piutang Negara, ia mempertanyakan siapa saja pihak-pihak yang diuntungkan dengan penghapusan piutang . “Penghapusan piutang ada syaratnya. Yaitu, harus dilakukan secara hati –hati dan bertanggung jawab, sudah pernah berupaya menagih dengan optimal dan intensif, termasuk upaya sita aset dan lainnya, dan harus ada mekanisme pengawasan dan indikator yang jelas dalam melakukan penyisihan piutang,” Firdaus mengingatkan. “Apakah proses penghapusan piutang dilakukan secara prudent dan berdasarkan basis legalitas dan akuntansi yang betul?”
Dalam Undang-undang Keuangan Negara, piutang yang disisihkan punya batas daluarsa 10 tahun. Setelah 10 tahun tidak tertagih, akan lunas. Ada dua wujud penghapusan piutang: pertama adalah penghapusan piutang bersyarat, berarti100% dihapuskan seluruhnya dalam neraca keuangan, tapi diusahakan untuk ditagih. Yang kedua, penghapusan piutang mutlak, yang berarti dihapus di neraca dan tidak ditagih.
Piutang negara pada empat institusi di atas dan Bendahara Umum Negara (BUN), sebagian besar berasal dari piutang korporasi yang secara kelembagaan dan kegiatan usaha dan ekspansi bisnisnya masih berjalan. “Ini perusahaan-perusahaan yang jelas-jelas benderanya masih berkibar, gedung-gedung kantornya masih berdiri tegak di Jakarta,” kritik Firdaus.
Firdaus menyatakan bahwa di balik segala sesuatu yang tidak transparan, ada potensi besar penyelewengan. “Para debitor utama piutang ini adalah debitor-debitor besar. Ekspansif, keliatan. Kita mengkhawatirkan ada kongkalikong tertentu di balik ini. Walau penyisihan piutang macet secara legal memang dimungkinkan, tapi apakah bisa dijamin bahwa pemerintah sudah melewati proses upaya penagihan yang serius?”
Rekomendasi ICW
“Pemerintah harus meyakinkan publik, bahwa penyisihan ini tidak akan disimpangkan atau disalahgunakan. Pesannya sederhana,” ujar Firdaus, “Dari semua potensi penerimaan negara dan sudah ada dasar hukumnya, kenapa bisa tidak tertagih?” Firdaus mengingatkan bahwa bila penyisihan piutang negara tidak diawasi dan diklarifikasi, akan sangat berpotensi untuk digelapkan bahkan membuka celah korupsi.
“Kami minta Kementerian Keuangan selaku Bendahara Umum Negara, dan K/L lainnya khususnya nterian dan Lembaga lainnya khususnya 4 Kementerian untuk menjelaskan kepada publik perihal pengelolaan dan pertanggung jawaban piutang negara, termasuk di dalamnya tentang tata cara, indikator dan upaya yang telah dilakukan sehingga dilakukan penyisihan piutang negara,” ujar Firdaus.
ICW juga meminta kepada aparat pengawas internal dalam hal ini Badan Pemeriksa Keuangan untuk melakukan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) pengelolaan piutang PNBP pada Kementerian Keuangan terkait penyelesian dan kewajaran pengelolaan 20 Bank dalam likuidasi (BDL) serta aset kredit eks BPPN. “Termasuk juga pada institusi lainnya, khususnya ESDM, Kejagung, Kehutanan dan Kominfo terkait pengelolaan piutang PNBP, upaya penagihan serta kewajaran proses penyisihan piutang PNBP,” kata Firdaus lagi.
Penegak hukum, terutama KPK juga harus mengawasi pengelolaan piutang PNBP negara khususnya dalam mengurangi potensi kerugian negara, sebagai bentuk pengawasan.
“Piutang negara bukan pajak adalah sesuatu yang sudah menjadi hak penerimaan negara. Jika pemerintah gagal dalam mendapatkan dan menagih haknya, maka kita juga tidak bisa berharap pemerintah bisa mengoptimalkan penerimaan negara lainnya, baik pajak dan bukan pajak,” tegas Firdaus.
Unduh Presentasi ICW tentang Hasil Kajian Mengawasi Pengelolaan Piutang Negara