Hikmah Pertarungan MA-KPK

KPK Geledah Ruangan Ketua MA, begitu judul berita media ini (28/10). Fakta ini amat luar biasa bila diletakkan dalam konteks politik penegakan hukum di republik ini.

Bayangkan, salah satu simbol tertinggi kekuasaan kehakiman, tempat di mana para justiable pencari keadilan meletakkan segenap harapannya, sedang diperiksa karena disinyalir tidak lagi mampu menegakkan fungsi utamanya secara amanah.

Penggeledahan ini dapat dianggap sebagai petaka karena dapat dipakai untuk menegaskan sinyalemen bahwa mafia peradilan bukanlah sekadar isu, jelas ada dan tak tanggung-tanggung, hakim agung di Mahkamah Agung (MA) pun terlibat. Pada perspektif lain, upaya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah ruangan Ketua MA menyimpan hikmah luar biasa dahsyat jika kita pandai memaknainya.

Persis dua pekan setelah itu, media ini memberitakan Bagir Tolak Panggilan KPK (15/11). Alasannya, Ketua MA baru bersedia memberi keterangan jika sudah tahu keterangan apa yang diperlukan KPK. Pertanyaannya, apakah surat panggilan KPK belum cukup menjelaskan alasan pemanggilan. Jika belum, KPK patut menyempurnakannya; tetapi semoga saja alasan Wakil Ketua MA itu bukan penolakan.

Jika persoalan itu tidak hendak disebut sebagai titik paling kritis dalam dunia penegakan hukum di Indonesia, masalah itu harus diletakkan sebagai tantangan, yaitu sejauh mana kita mampu menangkap dan memaknai hikmah serta mengambil tindakan serta konsisten melakukan perbaikan penegakan hukum dengan prioritas dan strategi yang tepat.

Jika perseteruan ini terus berlanjut, apa pun alasannya, kita harus mengkaji ulang, apakah kemaslahatan akan lebih banyak didapat ketimbang kemudaratan?

Berbagai hikmah
Berbagai hikmah bisa dipetik dari kejadian ini. Pertama, jika polemik ini diteruskan tanpa disertai kecerdasan mencari alternatif penyelesaian, dapat dipastikan damage atas lembaga MA dan ketakpercayaan rakyat pada dunia peradilan akan meluas dan mendalam. Jika itu terjadi, tak hanya citra dan kewibawaan lembaga akan terkoyak, tapi juga amat sulit mengembalikan kepercayaan publik bahwa penegakan hukum masih ada dan dapat berfungsi.

Kedua, fakta penggeledahan ruangan Ketua MA dan penolakan kehadiran Ketua MA untuk diperiksa KPK harus diubah menjadi energi spiritualitas, menjadi justifikasi plus momentum melakukan pembenahan MA dan proses penegakan hukum yang dilakukan KPK secara progresif, radikal, dan komprehensif. Di satu sisi, ketua dan jajaran pimpinan MA harus membuat program terobosan guna mengembalikan dan membangun integritas lembaga yang melebihi kebutuhan zamannya. Di sisi lain, KPK harus lebih mampu menggunakan kepekaannya agar tujuan dan hasil penyidikan dapat optimal dilakukan serta terus membuat terobosan cerdas yang berpijak pada koridor hukum.

Ketiga, fakta penggeledahan dan kasus tuduhan suap juga dapat dipakai untuk memperlihatkan prinsip equality before the law juga ada di MA. Kekuasaan kehakiman bukan tempat sakral yang tidak dapat disentuh aparat penegak hukum hanya untuk dan atas nama independensi dan pride lembaga semata. Di sisi lain, akuntabilitas dan persamaan di muka hukum tidak dapat dipakai untuk menerjang independensi sehingga hakim tidak lagi dapat secara leluasa memutuskan kasus atas obyektivitas yang diyakini. Bukankah aparat legislatif dan kepala pemerintahan daerah yang akan diperiksa sebagai saksi dan tersangka harus memerlukan izin Presiden. Lalu, apakah Ketua MA yang akan diperiksa perlu izin Kepala Negara. Pendeknya, independensi harus diletakkan bersamaan dengan akuntabilitas serta dirumuskan titik keseimbangannya sehingga tidak boleh terjadi, independensi dijadikan tameng untuk menyembunyikan indikasi penyalahgunaan kewenangan serta tak juga dapat terjadi, demi akuntabilitas independensi kehakiman diingkari.

Modus penyuapan
Keempat, fakta suap dan isu mafia peradilan yang dituduhkan Probosutedjo gamblang menjelaskan modus penyuapan dan latar belakang pelaku yang terlibat. Para pelaku diduga melakukan kejahatan lintas profesi. Maksudnya, tidak hanya hakim, panitera, dan staf di pengadilan, tetapi juga jaksa dan advokat. Modus yang bersifat konspiratif ini mengisyaratkan, pencegahan dan penindakan atas mafia peradilan tidak hanya dilakukan kalangan kehakiman. Pada konteks ini, upaya nyata harus dilakukan organisasi profesi advokat yang belum terlihat jelas. Tidaklah fair bila usaha serius yang progresif dibebankan kepada profesi lain, sementara kalangan advokat tidak melakukan tindakan sejenis secara progresif dan radikal.

Kelima, tuduhan suap juga memberi isyarat, pengawasan maksimal tidak mungkin dilakukan lembaga peradilan sendiri. Di sisi lain, KPK mempunyai otoritas yang dapat diefektifkan untuk bersama lembaga kehakiman mempercepat pemberantasan korupsi. Berpijak pada kenyataan ini, sudah saatnya koordinasi dari otoritas lembaga negara di bidang penegakan hukum bersama memberantas korupsi. Tentu saja, dukungan justiable dan kalangan masyarakat sipil untuk bersama-sama melakukan pengawasan juga menjadi penting untuk harus dilakukan.

Bagaimanapun, tindakan yang dilakukan Ketua MA telah menembus batas ketabuan bahwa MA adalah lembaga untouchable oleh aparatur penegak hukum lain. Semoga itu tidak dicemari alasan- alasan lain yang tidak perlu. Percayalah, langit dan jagat keadilan tidak akan runtuh kendati ruang kerja Ketua MA digeledah. Yang jauh lebih penting adalah memaknai hikmah pertarungan MA versus KPK dan menggunakannya sebagai titik tolak agar pimpinan MA, KPK, dan jajarannya selalu amanah dan istikamah dalam menegakkan keadilan.

Bambang Widjojanto Advokat dan Consultant Partnership for Governance Reform

Tulisan disalin dari Kompas, 17 November 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan