Hentikan Pembahasan RUU Rahasia Negara

ICW bersama dengan Koalisi, Jumat 28 Agustus jam 16.00 melakukan konferensi pers terkait dengan " RUU Rahasia Negara dan Pemberantasan Korupsi". Berikut adalah release yang kami sampaikan untuk keterangan lebih lanjut silahkan menghubungi Agus Sunaryanto (Koordinator Divisi Investigasi ICW) Hp.0812857 68 73, Tama (Peneliti ICW) Hp. 0817 889 441)

Release Indonesia Corruption Watch
HENTIKAN PEMBAHASAN RUU RAHASIA NEGARA

- RUU Rahasia Negara kontraproduktif dengan upaya pemberantasan korupsi -

Komisi I DPR RI terus melakukan pembahasan RUU Rahasia Negara, setidaknya sejumlah DIM telah dirampungkan. Pembahasan ini tentu sangat disesalkan, karena DPR nampaknya hanya sekedar memenuhi target program legislasi nasional tanpa mempertimbangkan aspirasi publik dan dampaknya terhadap masyarakat luas.

Sedikitnya terdapat empat masalah krusial yang terus menjadi perdebatan publik. Pertama, adalah masalah siginikansi. Pada prinsipnya, masyarakat sipil tidak antipati terhadap pentingnya informasi strategis ataupun informasi yang penting untuk dirahasiakan (dikecualikan) apalagi KUHP, dan UU Keterbukaan Informasi Publik telah mengatur tentang pembatasan informasi yang bisa diakses oleh publik demi kepentingan negara.

Dalam konteks Rahasia Negara yang harus dilindungi, pemahaman kepentingan negara tetap harus menjunjung tinggi nilai transparansi dan akuntablitas. Apalagi, bangsa Indonesia telah ikut aktif dalam upaya masyarakat internasional untuk pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi dengan telah menandatangani United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003). Tidak hanya itu, di awal masa pemerintahan, SBY telah mengeluarkan kebijakan Inpres No 5 Tahun 2004 tentang percepatan pemberantasan korupsi yang juga menjunjung tingi nilai transparansi dan mempercepat pemberian informasi yang berkaitan dengan perkara tindak pidana korupsi.

Dengan demikian jelas bahwa, regulasi yang secara khusus mengatur kerahasiaan informasi tidak boleh menciderai nilai transparansi dan akuntabilitas. Karena dapat menghambat upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

Masalah kedua adalah prioritas. April 2008 lalu, DPR baru saja mensahkan UU KIP dan UU ini baru akan di implementasikan 2010. Meskipun UU KIP telah memberikan jaminan akses informasi kepada masyarakat namun ruang keterbukaan informasi tidak serta merta terjadi apalagi kultur birokrasi badan-badan publik pemerintah masih sangat tertutup.

Jika RUU Rahasia Negara kemudian disahkan maka akan menjadi legitimasi bagi birokrasi pemerintah untuk menutup akses informasi kepada masyarakat. Itu artinya UU KIP hanya akan menjadi cek kosong semata.

Kondisi yang sangat mengkhawatirkan tersebut seharusnya menjadi cerminan bagi DPR RI untuk lebih memperioritaskan pada implementasi UU KIP, memberikan dukungan politik kepada Komisi Informasi dan mengawasi pemerintah dalam menyusun peraturan pemerintah tentang masa retensi informasi yang dirahasiakan dan tentang denda bagi badan publik yang tidak melaksanakan kewajiban pelayanan informasi

Masalah keempat yaitu lemahnya partisipasi/konsultasi publik. Salah satu penyebab tingginya resistensi publik terhadap keberadaan RUU Rahasia Negara adalah karena pemerintah sebagai inisiator RUU ini kurang melibatkan masyarakat dalam penyusunan dan sosialisasi. Sehingga substansi materi sangat bias, beberapa pasal masih terlalu luas dan cenderung menjadi pasal karet.

Akibatnya DPR pada agustus 2008 lalu sempat mengembalikan draft RUU kepada pemerintah untuk direvisi. Namun meski telah direvisi ternyata beberapa perubahan lebih bersifat redaksional daripada substansi. Bahkan masih terdapat pasal yang berpotensi menghambat pemberantasan korupsi karena hal yang elementer seperti laporan pembelanjaan dan alokasi anggaran dikategorikan dalam informasi yang dirahasiakan.

Masalah kelima yaitu terdapat beberapa pasal yang kontraproduktif dengan pemberantasan korupsi. Menurut analisis ICW setidaknya terdapat 12 pasal krusial yang kontraproduktif dengan pemberantasan korupsi. Seperti diantaranya Menutup peluang pengusutan korupsi khususnya dilingkungan militer/dephan (makin sulit). UU RN , tidak membuka peluang pengecualian bagi penyidik/APH dapat membuka RN untuk kepentingan pemeriksaan kasus korupsi. Rahasia negara tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti dipengadilan. Melidungi sekaligus memberikan kekebalan/imunitas bagi penyelenggara negara terhadap proses hukum.

Sebagai ilustrasi, selama tahun 2004-2008 audit BPK menyatakan disclaimer terhadap laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP). Begitupula dengan prosentase laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD) yang mendapatkan opini “Wajar Tanpa Pengecualian (WTP)” justru semakin berkurang dari tujuh persen pada Tahun 2004 menjadi lima persen pada tahun berikutnya dan masing-masing sebesar satu persen pada Tahun 2006 dan 2007.

Temuan BPK tersebut merupakan indikasi bahwa ketertutupan masih merupakan persoalan serius dilevel pemerintah pusat dan daerah. Jika diperkuat dengan regulasi khusus yang mengatur kerahasiaan maka akan memperkuat sistem kerahasiaan birokrasi (bureaucratic secrecy) yang akhirnya akan melembagakan korupsi dalam struktur birokrasi.

Masih banyaknya kelemahan dalam RUU Rahasia Negara, maka kami meminta DPR:

  1.    Menolak RUU Rahasia Negara karena kontraproduktif dengan upaya pemberantasan korupsi
  2.    Lebih berkonsentrasi mengawasi pemerintah dalam mempersiapkan pelaksanaan UU KIP tahun 2010.

Jakarta, 28 Agustus 2009

 
Indonesia Corruption Watch

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan