Hentikan Hujan Remisi di Negeri Korupsi

Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi menggelar jumpa pers di Gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Jakarta pada Rabu, 23 Juli lalu. Koalisi mendukung pemerintah agar mempertahankan Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, yang mengatur soal remisi, termasuk untuk para koruptor.

PP 99/2012 menjadi sorotan publik setelah Yusril Ihza Mahendra, mantan Menteri Hukum dan HAM membawa peraturan ini untuk diuji di Mahkamah Agung. Alasan Yusril, PP ini bertentangan dengan UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, sehingga harus dihapuskan.

Zainal Arifin, peneliti dari Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada menyatakan, “Hujan remisi harus dihentikan. Jangan terulang lagi kejadian-kejadian lalu, di mana korupsi, terorisme, sama saja dengan kejahatan biasa.”

Pengetatan remisi, menurut Zainal, harus dilakukan. “Orang jangan mudah mendapatkan remisi. Remisi harus diperoleh dengan kondisi-kondisi tertentu dan bisa terukur secara hukum. Misalnya, jadilah whistle blower, justice collaborator. Yang mendapatkan itu, jadi privilese.”

Perdebatan tentang remisi, menurut Zainal, dimulai sejak masa Patrialis Akbar menjabat sebagai Menteri Hukum dan HAM. Ia mencontohkan kasus Jaksa Urip yang terjadi pada masa Patrialis menjabat. “Urip rajin dapat remisi. Dengan remisi-remisi yang dia terima, paling lama Urip menjalani masa tahanan 9 tahun. Padahal masa hukumannya 20 tahun,” katanya. “Walaupun kena 20 tahun, kalau dapat akses kuat ke remisi, bisa mendapat hujan remisi.”

Remisi berbeda dengan HAM

“Salah satu pertimbangan besar setelah Patrialis diganti ‘kan soal remisi juga. Ketika dia diberhentikan, presiden juga sempat menyatakan soal menghentikan remisi. Ada semangat kuat mengapa kita ingin menghentikan hujan remisi. Agar tidak keliru, kita harus melihat apa itu remisi? Remisi beda dengan HAM yang sudah gifted, melekat pada diri manusia,” tegas Zainal.

Zainal menolak jika PP 99/2012 dikatakan melanggar UU 12/1995 tentang Pemasyarakatan. “Di dalam UU ini tertulis bahwa penggolongan merupakan bagian dari pembinaan napi. Orang digolongkan berdasarkan jenis kejahatannya. Kalau korupsi, berat, ya diperketat. Kalau bukan, tetap mendapatkan hukuman seperti semula.”

Menurut Zainal, artinya, PP 12/1999 tidak melanggar apa-apa dari segi formil. “PP ini tidak melanggar Undang-undang di atasnya. Dari segi materiil juga tidak. Konteksnya, negara, pemerintah yang memberikan remisi. Jadi, Undang-undang memberikan hak remisi, tapi aturan lebih lanjut soal tata cara pemberian remisi, ada di PP.  Apalagi, ada semangat dalam konteks historis. Kita punya kemuakan terhadap perilaku koruptif,” jelas Zainal.

Rimawan Pradityo, Ph.D., akademisi dari UGM, mengungkapkan hasil penelitiannya. “Rata-rata lama penjara putusan Mahkamah Agung itu 64,77% dari lama penjara tuntutan jaksa. Tanpa ada pengetatan remisi, umumnya para koruptor akan tinggal di penjara 50%-60% dari masa penjara berdasarkan putusan MA,” lanjut Rismawan, “Maka, upaya revisi PP 99/2012 itu sama saja dengan melemahkan efek jera hukuman untuk koruptor.”

“Subsidi” rakyat bagi koruptor

“Nilai biaya eksplisit korupsi adalah 168,19 triliun, namun total nilai hukuman finansial hanya Rp15,09 triliun (8,97%). Ini berarti nilep 100%, hanya mengembalikan 8%,” ujar Rimawan prihatin.

Lalu, siapa yang menanggung kerugian selisih 153,1 triliun? “Tentu saja para pembayar pajak yang budiman: Ibu-ibu pembeli sabun colek dan mie instan, anak-anak yang membeli permen, mahasiswa yang beli pulsa, orang tua yang membelikan anaknya obat dan susu kaleng. Karena ada Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Selama membeli barang-barang dari sektor formal, yang bersangkutan adalah pembayar pajak,” tukas Rimawan.

Rimawan menyimpulkan, “Jadinya kita mensubsidi para koruptor. Subsidinya semakin deras, hukuman sudah ringan bertambah ringan. Kita seperti  memberikan sinyal kepada dunia: Marilah ke Indonesia, korupsi sebanyak-banyaknya, Anda akan untung.”

Refli Harun, praktisi hukum, berpendapat, “Perbedaan perlakuan terhadap orang disebabkan oleh kehendaknya. Justru malah tidak adil kalau misalnya perlakuan ke maling sandal dengan koruptor kok malah disamakan?”

Refli menekankan upaya pemberantasan korupsi harus didukung segenap aspek. “Salah satunya adalah peraturan yang pro pemberantasan korupsi. Ada disinformasi di masyarakat, bahwa seolah-olah dengan PP 99/2012 ini, hak remisi itu hilang. Padahal tidak. PP ini akan keliru dari sisi peraturan perundang-undangan jika PP ini menghilangkan hak remisi. Karena itu diatur Undang-undang,” ia menekankan, “Pemberian remisi untuk kejahatan biasa dan extraordinary crime tentu beda.”

PP 12/1999 tidak melanggar UU 12/1995

Zainal merespon komentar Yusril bahwa PP 12/1999 melanggar UU 12/1995 pasal 4, 5, dan 6. “Kenapa dia menyembunyikan pasal 12 dalam UU yang sama? Itu ‘kan penggolongan. Katanya (Yusril—red) juga menyinggung UU HAM, bahwa UU HAM tidak distributif. Kalau begitu, seharusnya dia ribut dong mengapa anak dilepaskan dari tuntutan pidana? Itu ‘kan karena ada pembedaan. Karena dia masih anak-anak, dia tidak dikenakan. Perlakuan hukum yang adil itu tidak distributif. Tetap ada perbedaan berdasarkan penggolongan, Undang-undang dan peraturan,” tegas Zainal.

Zainal menambahkan, “PP ini katanya juga melanggar UU No. 12/2011 soal Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Yusril bilang PP ini menambah norma. Pertanyaan saya: Mana norma yang ditambah? Tidak ada norma UU yang ditambah. Yang tidak boleh itu kalau UU bilang ‘A’, PP bilang ‘A dan B’. Itu yang melanggar Undang-undang,” ujarnya.

Namun, Zainal mengakui bahwa orang bebas mau mengajukan judicial review atau usulan. “Silakan saja. Tapi kalau sekarang Yusril, Aris mau menguji, menurut saya lebih baik uji pasal 12 ayat 1 UU 12/1995 ke Mahkamah Konstitusi. Karena PP ini tidak bersalah dari segi itu. PP 12/1999 dikeluarkan karena pelindungnya di UU 12/1995 pasal 12 ayat 1. PP ini hierarkitas,” tukas Zainal.

Remisi sebagai belas kasihan negara

Zainal menekankan, “Remisi ini ‘kan karena belas kasih negara atas orang yang telah melakukan kejahatan, yang telah merampas hak orang lain. Remisi bukan hak yang harus didapatkan. Ada standar, kualifikasi kalau orang mau diberikan hak itu.”

Bahkan pemberian remisi harus dengan pertimbangan Kepala Lapas dan persetujuan menteri. “Panjang lah,Kata Zainal. “Jadi harus dilihat apakah PP 12/1999 melakukan pembatasan kepada remisi? Enggak. PP 12/1999 menambahkan pembatasan yang sudah ada selama ini. Pembatasan yang, menurut saya, sangat ideologis dan berkaitan dengan upaya kita untuk memberantas korupsi.”

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan