Helikopter Puteh Tak Dites Antipeluru
Karena tidak transparan, mitra Bram Manoppo keluar dari konsorsium.
Direktur Utama PT Catur Daya Prima Iwan Suryajani mengakui, helikopter yang dibeli dari Rusia oleh Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam tidak diuji sistem antipeluru. Seharusnya menjadi tanggung jawab PT Putra Pobiagan Mandiri (PPM) untuk melakukan pengecekan sebelum diserahkan ke pemerintah Aceh, ujar Iwan kemarin, dalam kesaksiannya di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat dengan terdakwa Bram H.D. Manoppo.
Iwan menjelaskan, Pemprov NAD membeli helikopter dari PT PPM melalui proses penunjukan langsung alias tanpa tender. Semula perusahaan saya masuk dalam konsorsium bersama PPM untuk mengajukan penawaran pengadaan helikopter pada Pemprov NAD. Tapi perusahaan saya kemudian mundur dari konsorsium itu karena PPM tak mau transparan dalam pengadaan keuangan, katanya.
Ketua majelis hakim Gus Rizal menyoroti kejanggalan dalam pengujian helikopter tersebut. Memang ketika Bram dan Iwan mengunjungi pabrik Rostov di Rusia, dilakukan tes untuk menguji apakah heli itu benar-benar antipeluru. Helikopter itu ditembaki dengan AK-74, kata Iwan. Namun, saat serah-terima di hanggar Bandara Polonia, Medan, ternyata tidak ada pengujian kembali.
Bram menjadi tersangka dalam kasus ini karena jabatannya sebagai Presiden Direktur PT Putra Pobiagan Mandiri, pemasok pesawat helikopter Mi-2 buatan Rusia yang dibeli pemerintah Aceh. Perusahaan ini merupakan agen tunggal Rostov, produsen helikopter Rusia yang dibeli US$ 1,250 juta. Dalam kasus mark-up pembelian helikopter bekas ini, Bram bersama-sama Abdullah Puteh, gubernur nonaktif NAD didakwa melakukan tindak pidana korupsi sehingga merugikan negara Rp 13,87 miliar. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang dikuatkan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta sudah memvonis Puteh selama 10 tahun penjara.
Dalam proses pengadaan heli itu, Bram menawarkan helikopter Mi-2 buatan Rusia kepada Puteh. Dia menyarankan Puteh membuat letter of intent (LoI), yang menyatakan Pemprov NAD bermaksud membeli satu unit helikopter tipe Mi2, VIP Cabin versi sipil buatan tahun 2000-2001 dari pabrik Mil Moscow Helicopter Plant Russia, sebelum mengajukan penawaran harga.
Dengan LoI tersebut, terdakwa meminta pembayaran uang muka Rp 4 miliar untuk ditransfer ke pabrik Mil Moscow Helicopter Plant Russia. Padahal saat itu Bram belum mempunyai ikatan kontrak dengan perusahaan itu ataupun dengan Pemprov NAD.
Namun, saat diserahterimakan, TNI AU melakukan pemeriksaan dan menyatakan helikopter itu sebagai barang bekas. Ditemukan fakta bahwa dua mesin helikopter tersebut telah mempunyai jam terbang masing-masing 1.510 jam (mesin kiri) dan 1.231 jam (mesin kanan). Dalam kasus ini jaksa penuntut umum menuntut Bram dengan ancaman hukuman 20 tahun penjara. JOJO RAHARJO
Sumber: Koran Tempo, 15 Juli 2005