Heboh Penggantian Massal Eselon Satu

Pergantian pejabat eselon satu dalam birokrasi pemerintah sebenarnya merupakan peristiwa rutin dan selalu terjadi. Tetapi, karena pergantian direncanakan akan diadakan serentak terhadap 595 jabatan eselon satu di semua departemen, jadilah pergantian tersebut berita utama di beberapa koran nasional.

Prof Miftah Thoha, seorang pengamat birokrasi publik dari UGM, mengharapkan agar presiden jangan mencemari (spoiling) profesionalisme birokrasi, dengan mempraktikkan koncoisme politik dan menempatkan teman-teman seideologi para menteri pada jabatan teras kementeriannya. Sedangkan seorang rektor sebuah institut amat memuji keterbukaan dan sofistikasi sistem seleksi yang digunakan Tim Penilai Akhir (TPA) yang sekarang dipimpin langsung oleh presiden.

Menurut penjelasan Juru Bicara Presiden pergantian serempak pejabat tinggi tersebut dilakukan oleh Presiden SBY agar roda pemerintahan berjalan dengan lebih lancar. Melihat kinerja Kabinet Indonesia Bersatu yang kurang meyakinkan selama 128 hari, banyak warga meragukan urgensi mau pun efektivitas kebijakan itu. Saya khawatir, overhaul total terhadap pejabat puncak birokrasi tersebut justru akan semakin memandulkan kinerja Pemerintah KIB, bila yang ditempatkan pada jabatan tersebut bukan pejabat karier, tetapi orang-orang dekat atau konconya para menteri.

Birokrasi meritokratik
Rangkaian reformasi bidang politik yang dilakukan oleh Pemerintah Habibie pada 1998 telah menghasilkan pemilu paling jujur dan adil yang menghasilkan pemerintahan koalisi yang kurang stabil. Dalam kabinet pelangi tersebut praktik spoils semakin merajalela karena para menteri cenderung penempatan konco-konco sealiran politik dalam jabatan-jabatan kunci di birokrasi.

Pada sidang pertama Kabinet Persatuan Nasional yang dibentuk oleh Presiden Gus Dur sehari setelah terpilih sebagai Presiden Keempat RI, beliau memberikan arahan bahwa untuk menjamin stabilitas dan kontinuitas penyelenggaraan fungsi pemerintahan, akan diadakan pemisahan yang tegas antara jabatan politik dengan jabatan karier. Di lingkungan eksekutif, jabatan menteri adalah jabatan politik dan jabatan di birokrasi, sekjen, Kepala LPND, dirjen dan yang setingkat, ke bawah adalah jabatan karier yang tunduk pada persyaratan keahlian.

Sistem kepegawaian meritokratik dan demokratis yang dibangun dengan asumsi-asumsi tersebut dipandang akan mampu mendukung pemerintahan koalisi yang tidak terlalu stabil serta diharapkan dapat mencegah praktek-praktek koncoisme. Selain itu, undang-undang yang baru memberikan landasan hukum untuk restrukturisasi PNS dan penataan organisasi PNS.

Untuk mencegah fragmentasi politik dalam tubuh PNS, seperti kondisi pada tahun-tahun 1950an, UU No 43/1999 melarang PNS menjadi pemimpin dan anggota aktif partai politik. Pencemaran birokrasi publik (spoils) melalui pengangkatan pejabat karier atas dasar afiliasi politik dicegah dengan mengadakan pemilahan yang tegas antara jabatan pengangkatan politik (political appointments) dan jabatan karier. Memang disadari bahwa praktik itu tidak mungkin dihambat sepenuhnya. Karena itu dalam rangka mengurangi praktik koncoisme politik dalam birokrasi, diusulkan adanya jabatan Staf Khusus pada Sekretariat Presiden, Sekretariat Wapres, Sekretariat Menteri, Sekretariat Kepala Daerah. Personil yang diangkat pada jabatan tersebut adalah para profesional yang sepaham dengan presiden, wapres, para menteri dan para kepala daerah dan para pejabat politik yang mengangkatnya.

Guna meningkatkan profesionalisme PNS, keahlian yang ditetapkan secara obyektif merupakan persyaratan utama dalam penerimaan, pengangkatan, penempatan, promosi, dan pelatihan para calon. Selain itu, agar dapat mempertahankan orang-orang terbaik dalam birokrasi, gaji dan kesejahteraan sosial PNS harus dijamin agar tidak terlalu berbeda dari remunerasi di perusahaan swasta.

Komisi Kepegawaian Negara
UU No 43 tahun 1999 juga menetapkan pembentukan Komisi Kepegawaian Negara (KKN) yang independen untuk membantu presiden dalam perumusan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan kepegawaian. Komisi ini terdiri dari beberapa anggota yang diangkat oleh presiden. Lima anggota dalam Komisi tersebut mewakili para stakeholder yang terkait dengan bidang kepegawaian, antara lain, pemerintah, organisasi pegawai negeri, dan tokoh masyarakat.

Salah satu tugas komisi ini adalah menyelenggarakan career development record bagi lebih kurang 60.000 PNS Golongan IV/b sampai IV/e. Melalui pengamatan, evaluasi dan pencatatan secara teliti perjalanan karier pegawai negeri, diharapkan akan diperoleh calon-calon yang paling tepat untuk jabatan-jabatan puncak dalam birokrasi pemerintahan yang akan diajukan kepada Tim Penilai Akhir (TPA). Pada pemerintahan Presiden Soeharto sampai Presiden Abdurrahman Wahid penilaian para calon pejabat teras dilakukan oleh Badan Pertimbangan Jabatan Nasional (Baperjanas) yang di pimpin oleh wakil presiden. Presiden Megawati kemudian mengubah badan tersebut menjadi Tim Penilai Akhir dan memimpin langsung penilaian para calon pejabat eselon satu. Kebijakan Presiden Megawati tersebut rupanya diteruskan oleh Presiden SBY yang memimpin langsung rapat-rapat TPA.

Dalam proses penilaian di Baperjanas tersebut kadang-kadang terjadi silang pendapat antara para anggota yang terdiri atas wakil presiden sebagai Ketua merangkap anggota, Mendagri, Mensesneg, Menpan, dan Kepala BIN sebagai anggota, serta Kepala BKN sebagai sekretaris merangkap anggota.

Ketika penulis menjabat sebagai Kepala BKN dan menjadi sekretaris Baperjanas, pernah saya bersilang pendapat dengan seorang menteri tentang posisi yang paling sesuai untuk seorang calon yang diajukan. Menteri menginginkan seorang calon menduduki jabatan tertentu pada departemen yang dipimpinnya. Sedangkan sekretaris, berpegang pada hasil penilaian obyektif, berpendapat sang calon lebih cocok untuk memegang jabatan eselon satu bidang pendidikan dan pelatihan. Dalam silang pendapat tersebut, tentulah Pak Menteri yang dimenangkan, karena dianggap paling mengetahui keperluan internal departemen. Tapi, beberapa bulan kemudian Pak Menteri mendatangi saya dan secara jujur menyampaikan bahwa sang pejabat tersebut ternyata tidak cocok pada penempatan yang ditetapkan menteri dan dipindahkan ke jabatan yang direkomendasikan sebelumnya.

Sayang sekali, 6 tahun setelah diundangkan, ketetapan UU No 43 Tahun 1999 tentang pembentukan Komisi Kepegawaian Negara belum dilaksanakan. Padahal tujuannya adalah untuk menjaga terlaksananya asas meritocracy dan netralitas dalam birokrasi pemerintahan dan terselenggaranya proses seleksi calon pejabat teras yang lebih efektif.

Apakah diperlukan?
Apakah pergantian seluruh pejabat teras dalam birokrasi pemerintahan memang diperlukan dan mutlak dalam reformasi administrasi? Belum tentu, karena pada birokrasi meritokratik, para pejabat dituntut untuk loyal kepada atasannya dan organisasinya. Agar dapat berfungsi dengan baik dalam menjalankan misi pemerintah, birokrasi publik memerlukan stabilitas dan kontinuitas. Pergantian seluruh pejabat puncak secara menyeluruh pastilah akan mengganggu keduanya.

Mudah-mudahan saja para calon yang sedang dipertimbangkan oleh TPA berasal dari para pejabat karier pemerintahan. Kalau tidak, para pejabat baru yang terpilih memerlukan waktu sekitar 6 sampai 12 bulan untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungan kerja barunya di birokrasi pemerintahan. Dalam pembentukan KIB Presiden SBY telah terjebak oleh pertimbangan akomodasi politik jangka pendek, sehingga banyak menterinya kurang menguasai tugas dalam bidang masing-masing dan bahkan tidak mungkin berbeda dengan Presiden dalam visi dan cara untuk menyelesaikan masalah-masalah yang sedang dihadapi bangsa Indonesia. Kalau prestasi kabinet yang mengecewakan sebagian besar warga masyarakat tersebut menjadi bertambah buruk karena seluruh birokrasi pusat dan daerah kurang berfungsi baik sebagai konsekuensi dari pergantian massal para pejabatnya, bayangkan betapa kecewa rakyat Indonesia.

Semoga skenario buruk tersebut tidak terjadi, dan Pemerintah Indonesia, khususnya Presiden SBY, tidak perlu mengecewakan rakyat yang telah memilihnya untuk kesekian kalinya. Dalam menghadapi sikap skeptis masyarakat tentang perombakan birokrasi, Presiden diharapkan tidak mengambil sikap I dont care with my popularity. Menurut saya, Bapak Presiden, you have to take good care of your popularity because the votes you would get are very much dependent on peoples perception of your performance.(Sofian Effendi; Mantan Kepala BKN, kini Rektor UGM Yogyakarta)

Tulisan ini diambil dari Media Indonesia, 28 Februari 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan