Hasil Survei Harus Dijadikan Otokritik; Jangan Terus Pojokkan Hakim
Hasil survei Transparency International yang menunjukkan masih tingginya praktik korupsi di pengadilan harus diterima sebagai otokritik. Berangkat dari titik itu, dibutuhkan komitmen bersama dari hakim, jaksa, Polri, dan advokat untuk membersihkan korupsi di dunia peradilan.
Saran itu disampaikan Ketua Komisi III DPR Trimedya Panjaitan (Fraksi PDI-P, Sumatera Utara II) kepada Kompas, Minggu (3/6), menanggapi temuan Transparency International. Temuan Transparency International menunjukkan, korupsi di pengadilan disebabkan adanya campur tangan politik oleh eksekutif ataupun yudikatif maupun praktik suap. Akibatnya, keadilan bukanlah hak pencari keadilan, tetapi putusan hakim yang harus dibeli oleh pencari keadilan.
Trimedya mengemukakan, secara institusional memang telah terjadi perubahan dalam dunia peradilan. Namun, praktik korupsi tampaknya masih merupakan kebiasaan yang kemudian dipotret oleh Transparency International. Tampaknya belum ada perubahan yang mendasar, ujarnya.
Sebaliknya, juru bicara Mahkamah Agung Djoko Sarwoko mengemukakan, tingginya korupsi di lembaga peradilan tidak dapat disalahkan kepada para hakim semata. Pengacara, polisi, dan jaksa yang juga terlibat dalam jaringan mafia pengadilan punya andil atas korupsi yang terjadi.
Korupsi yang dilakukan hakim di pengadilan tidak mungkin terjadi jika tidak dipicu oleh jejaring mafia pengadilan yang lain. Kalau mau diperbaiki, mari diperbaiki semua. Jangan hanya menyalahkan hakim saja terus-menerus, kata Djoko, yang juga Ketua Ikatan Hakim Indonesia.
Trimedya sependapat. Ia mengingatkan bahwa organisasi advokat, jaksa, dan polisi harus mempunyai komitmen dan visi yang sama bagaimana mengakhiri praktik suap di pengadilan. Selama ini mata tertuju pada hakim, padahal di sana ada polisi, advokat, dan jaksa, ujarnya.
Ia mengimbau organisasi advokat untuk juga memikirkan bagaimana upaya untuk menciptakan sebuah sistem peradilan yang bersih. Mereka jangan hanya memikirkan kantong mereka sendiri, ujarnya.
Anggota Komisi III DPR, Benny K Harman (Fraksi Partai Demokrat, Nusa Tenggara Timur I), tak sepenuhnya sependapat jika advokat juga ikut dituding. Advokat itu di luar. Itu semua karena lemahnya otoritas pengadilan, katanya.
Djoko mengemukakan, untuk memperbaiki sistem peradilan di Indonesia, semua pihak yang terkait dengan lembaga peradilan harus berkumpul bersama memadukan konsep reformasi sistem peradilan. (mzw/bdm)
Sumber: Kompas, 4 Juni 2007