Hasil Riset ICW:Biaya Pendidikan Kian Mahal, tetapi Mutu Tidak Meningkat
Peningkatan biaya di sekolah dasar negeri yang dibebankan kepada masyarakat ternyata tidak dengan sendirinya meningkatkan mutu pendidikan. Studi yang dilakukan Indonesian Corruption Watch (ICW) di Jakarta, Garut (Jawa Barat), dan Solo (Jawa Tengah) mengungkapkan, semakin mahal biaya sekolah yang harus ditanggung orangtua murid tidak berkorelasi positif dengan peningkatan mutu SD. Studi itu juga menemukan begitu banyak pungutan sekolah yang tidak ada sangkut-pautnya dengan upaya peningkatan mutu pendidikan.
Studi menggunakan metodologi sistem kartu laporan (report card system) dengan kombinasi pendekatan kualitatif dan kuantitatif itu disampaikan oleh Ade Irawan, Manajer Bidang Pendidikan ICW, di Jakarta akhir pekan lalu. Survei melibatkan 1.300 responden orangtua murid sekolah dasar (SD) negeri di tiga kota dengan sampel acak. Riset kualitatif dilakukan dengan metode diskusi kelompok terfokus, diikuti pihak yang terkait dengan kegiatan pendidikan di satu daerah.
Dalam riset itu setidaknya ditemukan 30 jenis pungutan, mulai dari uang renang, les, uang cat, uang pergantian kepala sekolah, pengambilan rapor, perawatan komputer, sampai uang ujian. Dari 13 jenis pungutan yang diverifikasi melalui survei kuantitatif, orangtua murid harus mengeluarkan biaya per tahun untuk uang bangunan sebesar Rp 137.579 di Jakarta, Rp 174.827 di Solo, dan Rp 18.941 di Garut. Uang bangunan dikeluhkan orangtua murid sebagai pungutan yang paling memberatkan.
Pungutan untuk membeli buku menempati urutan kedua yang paling memberatkan orangtua. Di Jakarta, tiap siswa rata-rata harus mengeluarkan Rp 186.184 per semester, di Solo Rp 87.114, di Garut Rp 29.542. Ada berbagai pola penyimpangan pengadaan buku, yakni katebelece kepala dinas, penerbit memberikan persentase kepada kepala sekolah, atau dinas bersekongkol dengan para kepala sekolah agar buku tertentu dijadikan pegangan wajib.
Pungutan-pungutan itu pada umumnya tak transparan. Komite sekolah maupun guru pada umumnya tidak tahu mengenai Anggaran Pendapatan Belanja Sekolah (APBS). Penyimpangan yang sering terjadi dalam penggunaan dana yang dihimpun masyarakat bersumber pada kekuasaan kepala sekolah yang sangat besar.
Jangankan orangtua murid, guru-guru pun tidak mengetahui tentang APBS. APBS ada di kerangka besi, yang tahu hanya kepala sekolah dan bendaharanya, kata Ade.
Tak adanya transparansi dan ketertutupan dalam penggunaan anggaran, menurun dari Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) ke dinas provinsi, dinas kabupaten/kota, sampai ke tingkat sekolah. Sementara korupsi terjadi mulai dari tingkat sekolah, dinas, sampai Depdiknas. ICW juga menemukan sejumlah barang dan kegiatan yang dibiayai rangkap tiga oleh dinas atau departemen, komite, maupun murid.
Ironinya, di tengah pungutan yang merajalela, fasilitas bangunan sesuai standar minimal tidak terpenuhi. Di SD negeri di Garut hanya 54 persen ruang belajar yang baik, fasilitas belajar yang baik hanya 48 persen, ruang perpustakaan yang baik hanya 20,3 persen.
Menanggapi hasil penelitian itu, Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas Indra Djati mengakui, di sana-sini masih terjadi korupsi. Akan tetapi, tambahnya, kecenderungannya jumlah anggaran yang dikorupsi terus menyusut.
Menurut Indra, pada saat proyek pengadaan barang dan pembangunan dilakukan terpusat, tingkat kebocoran bisa mencapai 30-40 persen. Kini, dengan mekanisme block grant yang langsung disalurkan sekolah, tingkat kebocorannya tinggal 5-10 persen.
Ketika diserahkan ke sekolah, ada kepala sekolah yang ngawur, tapi mereka itu ditindak agar jadi bahan pelajaran bagi yang lain, kata Indra.
Indra mengemukakan keinginannya untuk menyeret pelaku pungutan dalam perekrutan kepala sekolah yang dikeluhkan di berbagai daerah. Ada sejumlah surat yang masuk ke pihaknya, tetapi ia tidak bisa menemukan seorang korban pun yang bersedia memberikan kesaksian sehingga tidak bisa ditindaklanjuti secara hukum.
Menanggapi tuntutan keterbukaan anggaran, Indra menyatakan bersedia untuk membuat sistem agar proyek-proyek disampaikan kepada publik secara terbuka dan melibatkan media dan organisasi nonpemerintah. Ia mengakui, banyak kasus penyimpangan terungkap bukan karena pengawasan formal, tetapi karena pengawasan dari masyarakat. (wis)
Sumber: Kompas, 3 Januari 2004