Hasil Audit Investigasi BPK; Subsidi BBM Di-Mark Up Rp 3,6 T

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan banyak kejanggalan dari hasil audit terhadap PT Pertamina. Salah satunya, Pertamina terbukti menetapkan angka subsidi BBM 2004 yang terlalu tinggi (mark up), yakni Rp 3,6 triliun.

Temuan tersebut diungkapkan Ketua BPK Anwar Nasution kepada wartawan kemarin. Menurut hasil audit kami, itu terlalu tinggi, sehingga perlu dikoreksi, katanya setelah menyerahkan hasil audit PT Pertamina kepada Ketua DPR Agung Laksono.

Audit yang dilakukan BPK itu meliputi pemeriksaan terhadap kegiatan pengadaan minyak tanah dan produk pengelolaan, perhitungan harga pokok kilang, serta distribusi BBM bersubsidi pada 2004.

Anwar menjelaskan, hasil temuan BPK tersebut telah dikonfrontasikan dengan Pertamina. Dan, Pertamina bersedia mengoreksi terkait dengan temuan itu. Nah, setelah dikonfrontasi dengan Pertamina, mereka sudah bersedia mengoreksi sebesar hampir satu triliun atau Rp 936,05 miliar, ungkapnya.

Selain menemukan adanya pembengkakan penetapan angka subsidi BBM, BPK melihat lemahnya sistem pengendalian internal di PT Pertamina dan BP Migas. Hal tersebut berpengaruh terhadap tingkat kewajaran laporan biaya pokok BBM yang meliputi pengendalian penerimaan serta penyerahan minyak mentah dan produk. Hal itu disebabkan penggunaan teknologi pengukuran volume yang memakai sistem manual, ujarnya.

Tidak hanya itu. Hal tersebut juga mengakibatkan meningkatnya peluang terjadinya kecurangan serta pencatatan penerimaan dan penyerahan minyak mentah serta produk.

Dalam kesempatan tersebut, Anwar juga mengungkapkan hasil penelitian LPEM-UI yang merupakan bagian dari hasil audit. Yang menarik dari temuan itu, pada 2004, BBM jenis solar yang diselundupkan mencapai 3,9 juta kiloliter. Itu setara dengan Rp 4,5 triliun, ujarnya.

Menurut dia, BBM yang paling banyak diselewengkan adalah minyak tanah karena sangat fleksibel dari segi penggunaan dan bermanfaat sebagai bahan pengoplosan. Dari hasil estimasi konsumsi, diketahui bahwa sekitar 1,7 kiloliter minyak tanah yang setara dengan Rp 3,5 triliun yang dipasok untuk rumah tangga tidak dikonsumsi rumah tangga, tegasnya.

Tidak berhenti di situ. Berdasar data survei sosial ekonomi nasional 2002 oleh Badan Pusat Statistik (BPS), 43 persen dari total subsidi BBM untuk rumah tangga lebih banyak dinikmati kelompok yang berpendapatan tinggi. Sekitar 20 persen, ujarnya.

Perlu diketahui, audit terhadap PT Pertamina tersebut dilakukan atas permintaan DPR RI dengan memperhatikan Surat Wakil Ketua DPR RI No KD.02/837/DPR-RI/2005 tertanggal 8 Februari 2005 soal permintaan audit investigasi penyaluran BBM bersubsidi 2004. BPK memeriksa mulai April sampai Agustus 2005.

Pemeriksaan dilakukan pada PT Pertamina (persero) serta Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) atas pengadaan minyak mentah, pengelolaan dan perhitungan harga pokok, serta distribusi BBM. (yog)

Sumber: Jawa Pos, 11 Oktober 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan