Haryono Umar, Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan: Reformasi Birokrasi Tidak Selesai dengan Remunerasi

Fee bank pembangunan daerah (BPD) kepada para kepala daerah menjadi perbincangan. Ada yang menganggap fee itu legal, namun ada yang menyatakan sebaliknya. Menurut Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Haryono Umar, ada yang salah dalam pemahaman soal upeti itu. Sejumlah pihak kerap mencampuradukkan upeti itu sebagai fee dan honor. Padahal, menurut dia, hal itu dua hal berbeda. "Persamaannya, sama-sama memboroskan uang negara," kata Haryono saat ditemui Tempo untuk wawancara pada Jumat lalu. Berikut ini petikannya.

Mengapa pejabat tak boleh menerima fee dari BPD?

    Dana APBD, dana konsentrasi, dan dana-dana milik daerah biasanya ditempatkan di BPD. Nah, pejabat-pejabat itu ada yang menerima fee karena penempatan dana. Di enam BPD itu, kami menemukan sekitar Rp 360 miliar diberikan sebagai fee, bukan honor. Bentuknya cash, transfer, barang, dan fasilitas, seperti kegiatan pejabat dibiayai BPD. Ini sedang kami kaji. Apakah ini gratifikasi atau bukan.

Kalau honor?

    Honor itu hal yang berbeda. Misalnya, ada pejabat yang menerima honor karena menjabat komisaris, rapat, ada juga honor karena memberikan saran. Kami belum belum mengkaji soal honor. Soal honor Muspida juga kami belum masuk ke sana.

Soal fee, pejabat daerah beralasan itu legal?

    Kadang mereka melegitimasi tindakan yang menyebabkan inefisiensi anggaran. Negara tak punya kewajiban membiayai suatu kegiatan individual, misalnya main golf. Nah, itu yang kami lihat di BPD. Uang BPD itu kan uang negara.

Maksud Anda soal inefisiensi anggaran?

    Misalnya seorang pejabat punya 50 tim proyek. Tim untuk penyusunan surat keputusan dan segala macam. Saat tim bekerja, pasti ada honornya, misalnya rapat. Ini yang menyebabkan uang negara boros.

Kenapa bisa terjadi?

    Bisa jadi karena gaji tidak memadai. Penyebab lainnya, dalam anggaran disiapkan dana bahwa untuk setiap kegiatan memungkinkan setiap orang mendapatkan honor. Seharusnya gaji diberikan untuk semua pekerjaan pejabat yang bersangkutan. Sepanjang pekerjaannya untuk negara, dia tak boleh menerima honor lain.

Solusinya?

    Harus ada kajian berapa gaji yang wajar. Kemudian diterapkan sistem single salary. Kalau menerapkan itu, pemerintah bisa mengetahui berapa uang negara untuk mereka. Saat ini selalu dikesankan bahwa para pejabat dan pegawai negeri gajinya kecil. Padahal kita bicara tentang take home pay. Berapa pendapatan yang mereka bawa pulang.

Contohnya?

    Misalnya dalam upah pungut pajak. Ada pejabat yang tak melakukan apa-apa tapi dapat bagian Rp 100 juta. Padahal dia duduk-duduk saja. Itu belum dari fee, dari honor, dari lain-lain. Kita tidak tahu berapa penghasilan utuh mereka. Berapa uang negara yang digelontorkan juga tak diketahui jumlahnya. Maka perlu diterapkan single salary.

Sekarang sudah ada remunerasi?

    Reformasi birokrasi tidak selesai dengan adanya remunerasi. Remunerasi sudah ada, tapi honor masih ada. Itu enggak benar.

Bicara soal Century...?

    Kasus Century muncul karena pengawasan bank lemah. Begini, perbankan itu menyangkut kepercayaan. Begitu kepercayaan hilang, habislah bank itu. Jumlah uang yang diselewengkan dalam kasus perbankan biasanya besar. Kami merasa sudah masanya OJK (otoritas jasa keuangan) ada. Ini untuk mencegah pidana perbankan, pidana umum, segala macam. Tujuan OJK adalah membangun transparansi. Kalau tak ada OJK, tak ada transparansi. Kalau tak ada transparansi, bisa terjadi moral hazard. Jangan ada tarik-ulur lagi.

ANTON SEPTIAN

Sumber: Koran Tempo, 15 Februari 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan