Harkristuti Harkrisnowo: Tentang korupsi

CUEK, easy going atau tampil apa adanya, itulah gambaran yang dimiliki oleh guru besar hukum pidana pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), yang punya nama bagus, Harkristuti Harkrisnowo. Dalam debat para calon presiden (capres) yang diadakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) beberapa pekan lalu, misalnya, ia melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang sempat memancing emosi atau bahkan membuat seorang capres seolah terkunci bicara sehingga melemparkan pertanyaan kepada calon wakilnya. Harkristuti mengaku sempat kaget dengan reaksi emosional itu, namun kemudian cuek saja.

Bagi Harkristuti, kelahiran Bogor, 25 Januari 1956, hidup dijalani begitu saja, tidak ngoyo. Enggak ada target-targetan, ucap anak ketiga dari lima bersaudara ini. Termasuk juga ketika dia gagal mencalonkan diri menjadi Rektor UI pada tahun 2002. Tentang alasan mencalonkan diri, Tuti-begitu panggilannya-mengatakan, waktu itu dia ingin ada perempuan, sarjana hukum yang mempunyai kepala, bukan hanya berorientasi pada uang semata. Bahwa kemudian dia kalah, itu sudah diduga sebelumnya. Karena di situ ada masalah politik dan saya memang tak pandai berpolitik, saya bukan politisi, katanya.

Minatnya pada bidang hukum begitu luas sehingga sering mengundang kritik bahwa dirinya tidak fokus. Menurut dia, semua ini memang tak sengaja, tetapi juga bukan tanpa alasan. Sering kali dia mau menolak permintaan menjadi narasumber atau pembicara mengenai isu hukum tertentu, tetapi sering kali lalu tak ada orang yang memedulikan isu tersebut.

Beberapa tahun setelah lulus dari Fakultas Hukum UI, tahun 1988 Tuti mengambil master di Sam Houston State University, Huntsville (Texas). Disertasinya waktu itu adalah tentang kepolisian. Lalu gelar doktor diraih dari universitas yang sama tahun 1991 dengan disertasi tentang peradilan anak.

Di Amerika Serikat ternyata bukan hanya gelar master atau doktor yang dia dapat. Di sinilah justru Tuti belajar bahasa Jawa lewat pergaulan dengan sesama mahasiswa Indonesia. Orangtua saya mungkin sangat nasionalis, mereka tak pernah bicara bahasa Jawa. Di rumah, mereka bicara bahasa Indonesia, Inggris, dan Belanda, kenang Tuti tentang orangtuanya. Ayahnya adalah seorang tentara, sementara ibunya guru. Masa kecil dihabiskan di Bogor, lalu di Bandung sampai SMA, sebelum akhirnya pindah ke Jakarta. Karena itu bahasa Sunda saya lumayan.

Dia menyandang gelar profesor sejak Maret 2003. Gelar yang angker itu toh tak mengubah pembawaannya. Jadi profesor itu kan harusnya wise, menjadi panutan banyak orang. Lha, saya ini masih pecicilan kayak gini. Lagi pula saya tak pernah namanya punya cita-cita jadi profesor, kata Tuti sembari mengembuskan asap rokoknya.

Selain mengajar di tingkat S1 sampai S3 di Fakultas Hukum UI, Tuti juga mengajar di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian serta menjadi dosen terbang di Universitas Sumatera Utara, Universitas Udayana, dan Universitas Lampung. Saat ini Harkristuti adalah juga anggota Komisi Hukum Nasional.

Berikut petikan wawancara dengan Harkristuti yang dilakukan di kampus Fakultas Hukum UI, Depok, pada 9 Juli 2004.

KETIKA menjadi salah satu panelis (dalam debat capres), apakah pertanyaan ditentukan sebelumnya?

Tidak ada, sama sekali tidak. Kami dibebaskan, mereka memang punya beberapa usulan, misalnya soal hak cipta, juga tentang korupsi. Soal korupsi, meski sudah sering, baik juga untuk ditanyakan, tapi tentang hak cipta, saya pikir, tidaklah. Mereka juga tidak menentukan format pertanyaan seperti apa? Semua diserahkan kepada kami masing-masing, terbuka saja. Hanya saja saya waktu itu tidak mau menanyakan hal-hal yang bersifat personal.

Kalau pertanyaan titipan?

Semua orang menitip, masalah hukum di Indonesia besar sekali. Bagian saya soal hukum dan hak asasi. Yang lain ada bagiannya masing-masing dari para panelis. Beberapa orang bilang, kenapa hanya itu yang ditanya? Buat saya, sederhana saja, mana mungkin saya bisa membuat pertanyaan mendalam dalam waktu hanya 90 detik. Lagi pula masalah di Indonesia kan demikian besar dan kompleks, jadi saya harus selektif. Rambu-rambunya hanya dua: tidak personal dan yang jarang ditanyai dalam debat-debat capres. Meskipun korupsi enggak mungkin tidak saya tanyakan karena kita perlu tahu komitmen mereka (para capres).

Bagaimana Anda melihat jawaban-jawaban para capres tentang masalah korupsi?

Jawaban tentang korupsi tidak menggigit. Mungkin karena kita sudah lama melihat masalah korupsi. Mau saya, mereka jelaskan apa prioritas mereka, yang ditangani apa, mulainya dari mana? Kebijakan adalah porsinya eksekutif, kita tidak bicara tentang peradilan yang berada di luar kewenangan mereka. Apakah mereka mau mulai dengan lembaga-lembaga dari dalam sendiri atau mungkin menuju ke lembaga-lembaga apa, yang kita ingin tahu.

Menariknya, agenda korupsi tidak masuk dalam agendanya Amien Rais. Menarik sekali. Dia hanya bicara bagaimana mengembalikan kepercayaan masyarakat yang haus pada keadilan. Jadi sangat abstrak. Buat orang yang berpendidikan baik mungkin bisa diterima, tapi bagi orang kebanyakan, enggak jelas. Keadilan kan luas sekali.

Buat saya, pemberantasan korupsi adalah prasyarat kalau kita mau menata negara kita. Jadi masyarakat harus tahu strategi pemerintah, mau apa? Isu utama kan masalah ekonomi dan hukum. Isu kalau tidak ditangani dengan baik, ya tidak jalan.

Masalah apa yang paling penting dalam hukum bila seseorang ingin jadi presiden menurut Anda?

Yang utama tentang masalah hukum adalah apakah saya berani untuk mengubah paradigma para penegak hukum supaya mereka sampai pada implementasi hukum. Undang-undang sudah bagus, syarat, kriteria untuk promosi sudah ada, kita punya pengawasan dan pembinaan.

Tetapi apa yang ada itu belum berfungsi sebagaimana yang kita inginkan. Kenapa tidak dilaksanakan, alasannya mungkin klasik, kurangnya political will. Itu memang harus ada. Mengimbau saja tidak bisa, pemimpin harus memaksa. Mereka harus memaksa agar mereka melakukan tugas dengan baik. Dalam jangka pendek harus dengan mekanisme kontrol, yang merupakan bagian dari manajemen. Harus kita akui, manajemen hukum kita tidak bagus, amburadul.

Bisa beri catatan atau contoh?

Rekrutmen bagaimana? Kriteria sudah ada, objektif. Tetapi apakah itu diikuti oleh para penyeleksi ini? Kita dengar dan masyarakat sudah tahu kalau mau masuk dan naik pangkat mesti bayar. Ini bisa diubah, tapi perlu pemimpin yang tegas. Yang penting adalah manajernya harus baik.

Apakah perangkat birokrasi hukum dan kalangan hukum tidak bisa hidup layak tanpa korupsi?

Kalau tanya saya, memang tidak bisa hidup dengan gaji seperti itu. Eselon satu Rp 4,5 juta, sementara mahasiswa saya baru lulus dapat Rp 1,5-1,75 juta. Tetapi ada pemasukan lain, seperti uang rapat, uang perjalanan, uang dari proyek. Memang pendapatan mereka jauh di atas gaji mereka. Ini yang ditemukan oleh World Bank tahun 2003, isu gaji itu bukan isu, tidak bisa dijadikan alasan untuk korupsi.

Yang mereka lihat adalah sistem procurement saat misalnya mau beli apa, tender apa, lalu sistem budget. Misalnya, budget untuk Januari, tetapi baru keluar Juni, kita kerja enam bulan untuk pekerjaan yang harusnya dikerjakan satu tahun. Kualitasnya jadi tidak maksimal.

Akhir tahun kalau kita lihat anggaran dipakai untuk banyak hal karena kalau dikembalikan tidak akan dapat dana lagi tahun depan. Jadi isunya satu, manajemen.

Gaji bukan isu menurut World Bank, implikasinya luas sekali?

Saya berpikir, kita punya dana rutin pembangunan. Kita dapat gaji lalu dapat proyek. Mereka menggunakan uang-uang perjalanan. Saya keluar kota sebagai pegawai negeri dapat Rp 150.000 per hari, sudah termasuk penginapan, makan, transpor. Pasti itu tidak cukup. Lalu, akhirnya pergi dua hari bilangnya 10 hari. Lalu kenapa ini tidak dimasukkan ke dalam gaji kita, lalu dikoreksi dengan inflasi.

Saya, misalnya, pernah sampai malu sekali ketika akhir tahun 2000 mengundang Prof Sutandyo dari Surabaya untuk menjadi pembicara di sini (UI). Menurut aturan APBN, beliau mendapat honor Rp 15.000 per jam. Itu kan tidak mungkin.

Akhirnya bagaimana penyelesaiannya?

Saya, yang dengan tidak dengan maksud korupsi atau menguntungkan orang lain, terpaksa melakukan penyimpangan. Saya ambil dari uang fotokopi, saya naikkan. Saya tidak bisa bayangkan apa kata Pak Tandyo terhadap UI kalau untuk berbicara selama empat jam mendapat honor Rp 60.000 dan beliau kami undang dari Surabaya.

Bayangkan kalau itu terjadi dalam skala yang jauh lebih besar dan jauh lebih luas di lembaga-lembaga lain.

Jadi kesimpulannya, inilah irasionalitas birokrasi?

Iya, itu terjadi di mana-mana. Polisi, misalnya, sudah punya (mobil merek) Carens, tetapi mereka merasa tidak ada isinya. Akhirnya mereka ke bengkel minta diisi dengan tape. Mereka menyebutnya sebagai public participation.

Di kejaksaan juga demikian. Empat tahun lalu saya mendapatkan jaksa yang membawa mesin tik sendiri, membawa kertas sendiri. Untuk memanggil saksi, kasih uang transpor dari kantong sendiri.

Ini contoh yang kita hadapi sehari-hari. Ini lagi-lagi isu manajemen. Kenapa sih kita tidak mau mengubah paradigma manajemen birokrasi kita supaya lebih realistis? Kenapa kita tidak melihat ke perusahaan komersial, kiat-kiat korporat. Kita bisa belajar dari sini.

Anda melihat titik-titik terang dari calon-calon presiden yang Anda tes?

Mereka lebih banyak bicara di tataran normatif. Semuanya sama, bicara penegakan hukum, pemberantasan korupsi. Apakah itu hanya penghias bibir, ataukah mereka benar-benar melaksanakan, itu yang saya tidak bisa tes.

Anda tadi menyebut tidak setuju dengan kesimpulan World Bank soal gaji?

Ya, karena menurut saya memang gaji tidak cukup. Eselon satu bergaji Rp 4,5 juta tidak masuk akal. Saya juga kerepotan dengan penghasilan Rp 4,5 juta, padahal saya sendiri, tidak ngurus anak, bojo.

Dunia kita sangat terpapar dan bersinggungan dengan dunia bisnis. Mereka sangat rasional sampai bahkan mereka bisa merumuskan code of conduct. Ini ekstrem yang lain dari birokrasi kita. Apakah seperti itu yang harus dilakukan birokrasi kita?

Mereka (dunia bisnis) tahu, kalau tidak rasional, ada konsekuensi. Kenapa kita tidak mengikuti cara bekerja perusahaan, korporat. Alasannya selalu tidak punya uang. Ah, yang benar, apakah bukannya tidak cukup itu karena dikorupsi. Gaji tidak perlu sebesar swasta, tetapi yang sekarang tidak cukup. Kalau ditanya berapa gaji yang cukup, saya sendiri tidak bisa jawab, harus ada riset. Tapi yang sekarang menurut saya tidak memadai.

Banyak orang bicara tentang korupsi sangat keras, tetapi ketika orang itu diberi kesempatan masuk, toh sama saja. Sebenarnya mungkin tidak korupsi itu diberantas?

Menurut saya, teoretis mungkin. Tempatkan orang yang tepat di tempatnya, yang punya kualifikasi yang tepat. Saya tahu itu lebih mudah diomongkan daripada dilakukan, tetapi harus ada yang memulai.

Pemimpin harus berani menghadapi semua hambatan baik dari dalam maupun dari luar, seperti telepon dari luar yang minta keleluasaan untuk anak, saudara, teman.

DALAM reformasi, termasuk juga didengungkan reformasi hukum, banyak sekali undang-undang direformasi?

Dari sisi hukum yang direformasi itu hanya aturan hukum, aturan perundang-undangan. Komisi Hukum Nasional tahun lalu mengeluarkan pemetaan terhadap program reformasi hukum. Hasilnya, reformasi hukum adalah lebih 70 persen adalah legislasi. Perancangan undang-undang, sosialisasi undang-undang, seminar undang-undang, semuanya untuk membuat peraturan. Tapi yang mengadvokasi masyarakat untuk mengetahui, tidak pernah. Yang tahu adalah mereka yang terdidik. Dan masyarakat belum semuanya pada taraf mencari informasi. Buktinya, apa yang diumumkan KPKPN (Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara) mengenai harta pejabat negara tidak ada yang merespons. Kalaupun ada, sebatas menggerundel, tidak menyodorkan bukti.

Adakah masalah hukum yang bisa dipelajari dari hal lain?

Saya rasa kita bisa belajar dari pendekatan isu jender. Saya belajar mengenai isu jender ketika baru masuk ke Indonesia mungkin 10 tahun lalu. Pendekatan waktu itu yang dipakai adalah memaksa laki-laki untuk melakukan sesuatu, mengajak mereka (laki-laki) ikut dalam seminar. Jadi tindakan, perilaku dulu, baru sikap belakangan. Dengan begitu, pelan-pelan mengubah mind set mereka.

Isu jender jauh lebih maju dalam mendekati persoalan dalam hal mind set?

Teorinya memang. Ketika isu mulai masuk, seingat saya begitu.

Anda juga terlibat dalam isu-isu perempuan, termasuk dalam penyusunan RUU?

RUU KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) dan trafficking (perdagangan manusia) saya ikut diminta membahas. KDRT isu yang sudah lama, tetapi selalu disembunyikan karena tidak dilaporkan. Dan sekarang kita lihat pers makin jeli melihat. Dulu pers tidak mengambil perhatian. Kalau ada kasus istri dipukuli suami, itu hal biasa (bukan berita), kalau mati baru jadi berita. Perhatian pada anak juga tumbuh setelah peristiwa Ari Hanggara.

Dulu juga ada kontrol sosial informal, dulu lebih efektif, sekarang hubungan antarorang lebih longgar.

Juga PRT (pekerja rumah tangga) bukan isu, mereka taken for granted. Kita memperlakukan mereka sebagai anggota keluarga. Sekarang sudah mulai terjadi pergeseran karena makin perlu PRT lebih banyak.

Ketika menanyakan isu pemberdayaan perempuan, para capres dan cawapres ada yang menjawab dengan nada emosi?

Saya juga bertanya-tanya kenapa marah, karena tidak ada alasan untuk marah. Saya pikir karena dia Menko Kesra, bertanggung jawab untuk pendidikan, kesejahteraan, pekerjaan. Tetapi dari beberapa teman saya mendengar ini bukan pertama kalinya dia mengaitkan isu jender dengan agama dan budaya. Pendapat ini di-share oleh banyak pejabat negara. Megawati ketika baru menjadi presiden, termasuk Mien Sugandhi, pernah mengatakan tidak ada masalah dengan kesetaraan untuk perempuan.

Susah mengubah mind set laki-laki tentang ketimpangan jender.

Anda sendiri pernah merasakan diskriminasi karena jender?

Saya tidak merasakan diskriminasi itu. Mungkin juga karena saya lebih asertif dari kebanyakan perempuan. Saya juga mungkin sering tidak dianggap seperti orang Jawa karena sering menyela. Mungkin juga dalam bidang saya, kriminologi, hukum pidana, tidak terlalu banyak orang.

Lalu, apa yang membuat Anda bisa berempati pada masalah perempuan lain?

Saya berangkat dari rumah saya. Ayah saya tentara, ibu seorang guru. Saya melihat ibu sangat manut pada ayah. Dan saya merasakan sejak dulu, kenapa kok ibu manut. Hal-hal sederhana. Ayah mau baca, kacamatanya ada di meja lain, dia mengatakan, Ma, kacamata. Kok ya enggak mau jalan sendiri, dan ibu juga kok ya mau mengambilkan.

Saya mengamati hal-hal kecil. Tentu saja saya belum mengerti jender, inequality. Lalu ketika masuk fakultas hukum, saya mengamati, misalnya ketua senat. Memang ada hambatan dari perempuan sendiri yang tidak mau maju, tidak mau dicalonkan. Dalam psikologi ada yang disebut fear of success, dan ini banyak terdapat pada perempuan Asia.

Saya banyak baca, ngobrol sama orang, kalau naik becak, ke warung. Ada perempuan yang menyadari didiskriminasi, ada yang tidak menyadari. Ada yang tetap bertahan karena berbagai alasan, karena alasan sosial, mempertahankan status. Misalnya ada seorang berpendidikan sangat tinggi diperlakukan tidak baik oleh suaminya yang berjabatan tinggi, dan dia tidak melakukan apa-apa. Buat dia, status itu tampaknya sangat penting.

Banyak teman perempuan yang bagus, tetapi mereka ingin tampil perfect, tampil prima, fisik dan otak. Jadi mau diwawancara tunggu dulu tiga jam karena mau ke salon dulu. Atau tunggu minggu depan, minta dibuatkan pertanyaan, atau diarahkan. Mungkin juga ini bagian dari Indonesia, kita tidak suka dikritik, dan takut salah.
Pewawancara:Retno Bintarti, Ninuk Mardiana Pambudy, Bre Redana

Naskah wawancara ini diambil dari Kompas, 18 Juli 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan