Harifin A. Tumpa(Ketua MA): Silakan, Kami Siap Diaudit

Lembaga peradilan tertinggi di negara ini baru saja menggelar pemilihan ketua dan wakil ketua. Terpilihlah Harifin A. Tumpa, Wakil Ketua Non-Yudisial, sebagai Ketua Mahkamah Agung, menggantikan Bagir Manan. Namun, pemilihan berlangsung saat muncul kontroversi usia 70 tahun bagi seorang hakim agung yang diatur dalam Undang-Undang Mahkamah Agung yang baru. Tak hanya itu. Selama dua tahun ini, hubungan antarlembaga dengan Mahkamah Agung juga tak berlangsung mulus. Misalnya dengan Badan Pemeriksa Keuangan soal audit dana perkara. Juga dengan Komisi Yudisial soal peran pengawasan hakim. "Saya punya rasa tanggung jawab karena membawa gerbong Mahkamah Agung. Kalau saya mundur, nanti orang bilang: yang sudah menjabat saja sudah tidak punya nyali," ujar Harifin, pria kelahiran Sopeng, Sulawesi Selatan, 23 Februari 1942, ini, saat ditemui Sukma Loppies, Maria Hasugian, dan Sutarto di ruang kerjanya Jumat lalu. Kakek enam cucu ini menjelaskan hal-hal yang akan dilakukan Mahkamah di bawah kepemimpinannya. Berikut ini petikannya.

Apa yang akan dilakukan dalam jangka pendek setelah Anda terpilih?

Kami tentunya tidak bisa terlepas dari sistem yang sudah berjalan. Tentunya, ada hal mendesak yang akan kami lakukan. Pertama, Mahkamah Agung akan memenuhi syarat pelaksanaan transparansi. Salah satunya persiapan desk informasi. Kedua, kesiapan Mahkamah Agung diaudit oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) tentang biaya perkara. Ini harus kami persiapkan. Hasil audit beberapa tahun terakhir dikatakan disclaimer karena tidak bisa mengakses biaya perkara. Sekarang ini, dengan Undang-Undang Mahkamah Agung yang baru, kami siap diaudit oleh BPK.

Secara teknis, apa yang akan dilakukan MA?

Pembukuan harus tertib. Harus ada pembukuan penerimaan dan pengeluaran di Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya. Kalau tidak, tentu akan dikejar. Walaupun di MA selama dua tahun ini pembukuannya sudah rapi, kami akan bekerja sama dengan BPK. Temuannya pasti akan ditindaklanjuti Mahkamah Agung. Karena temuannya itulah untuk pembaruan, untuk penertiban administrasi.

Bagaimana soal rekening?

Orang bilang rekening di MA ada 102. Setelah dicek, hanya ada dua. Selebihnya ada di pengadilan negeri dan pengadilan agama. Ambil contoh, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ada tujuh rekening. Soal uang konsinyasi atau uang titipan. Masing-masing ada rekeningnya. Kami sudah mengumpulkan ketua pengadilan dan ketua pengadilan tinggi. Kami meminta rekening-rekening itu ditertibkan. Di pengadilan hanya boleh ada dua rekening setelah mendapat persetujuan Departemen Keuangan, yaitu rekening DIPA untuk keuangan negara dan rekening biaya perkara untuk uang titipan pihak ketiga.

Soal uang perkara ini menjadi perdebatan dengan BPK. Apa yang akan dilakukan MA?

Saya minta Sekretaris MA duduk bersama BPK dan membuat persamaan persepsi tentang Undang-Undang Mahkamah Agung yang baru. Undang-Undang Mahkamah Agung ini jelas ada dua komponen biaya perkara, yaitu biaya kepaniteraan dan biaya proses. Biaya kepaniteraan ditentukan oleh peraturan pemerintah sebagai penerimaan negara bukan pajak yang masuk ke kas negara. Sedangkan biaya proses adalah biaya yang dipungut dari pihak yang beperkara untuk membiayai perkaranya.

Siapa yang berwenang mengaudit biaya proses?

Audit internal. Tapi, dengan Undang-Undang MA, BPK boleh masuk. Jadi, jika selama ini MA berkukuh menyatakan bahwa BPK tak bisa masuk ke biaya perkara, bukan persoalan auditnya. Tapi perbedaan pendapat bahwa biaya perkara itu uang negara. BPK menganggap itu uang negara. Tapi kami menganggap bukan. Kalau itu dianggap uang negara, bagaimana dengan biaya proses pihak beperkara, misalnya biaya panggilannya, biaya sidang, dan biaya eksekusi. Sekarang itu sudah jelas, supaya tidak terjadi lagi bahwa biaya proses itu dianggap masuk biaya negara.

Hubungan dengan Komisi Yudisial sempat memanas. Saat ini?

Saya selalu mengadakan pertemuan dan berdialog dengan Komisi Yudisial. Dengan Undang-Undang MA yang baru ini, semuanya bisa mengerti tugas masing-masing. Tentunya yang paling utama independensi hakim, sampai sejauh mana hakim bisa diawasi.

Baru-baru ini dikeluarkan surat edaran soal sengketa pers. Hakim diminta menghadirkan saksi ahli dari Dewan Pers. Bagaimana sosialisasinya?

Kami sudah bekerja sama dengan Dewan Pers. Saat pendidikan calon hakim di Ciawi pada September-November 2008, kami memberi kesempatan kepada Dewan Pers sebagai pembicara. Tak hanya itu, setiap ada pelatihan hakim, saya minta ada sosialisasi mengenai kebebasan pers.

Sebelum pemilihan, ada kontroversi usia hakim agung. Komentar Anda?

Begini ya, apakah umur seseorang itu menentukan produktivitas? Apa seseorang yang berumur tua lebih produktif dibanding umur lebih muda? Pekerjaan hakim agung bukan pekerjaan fisik. Yang paling penting bagaimana dia cepat menganalisis perkara sehingga cepat mengambil keputusan.

Anda rutin cek kesehatan?

Ya. Lagi pula perlu diingat bahwa sesuai dengan undang-undang, seorang hakim agung yang selama tiga bulan berturut-turut tidak dapat melaksanakan tugasnya harus keluar. Atau merasa tidak mampu atau jenuh bisa mengundurkan diri.

Hal yang juga disorot di MA adalah tunggakan perkara?

Mekanisme pengikisan perkara sudah berjalan. Contohnya, perkara yang masuk pada 2007 sekitar 9.000-an, kami bisa memutus 15 ribu. Pada tahun lalu masuk 11.500, kami bisa memutus 13 ribu lebih. Sebenarnya tidak tertunda karena perkara masuk dalam tahun berjalan.

Sumber: Koran Tempo, 19 Januari 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan