Hariadi Sadono, Eks GM PLN Jatim Divonis Enam Tahun

Kasus Markup Proyek CMS

Terdakwa kasus penggelembungan harga (markup) sistem pelayanan pelanggan atau customer management system (CMS)Direktur (nonaktif) PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Luar Jawa-Bali Hariadi Sadono divonis enam tahun penjara.

Berdasar putusan majelis hakim, Hariadi terbukti melakukan tindak pidana korupsi dalam proyek pengadaan jasa teknologi informasi (TI) untuk sistem itu di PT PLN Distribusi Jawa Timur (Jatim). Vonis tersebut dibacakan oleh Tjokorda Rae Suamba selaku hakim ketua di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi kemarin (29/3).

"Terdakwa secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi. Terdakwa dihukum pidana penjara enam tahun dan denda Rp 300 juta serta subsider tiga bulan penjara," papar Tjokorda. Selain denda, Hariadi harus membayar uang pengganti Rp 2,325 miliar.

Vonis itu lebih ringan empat tahun daripada tuntutan jaksa penuntut umum (JPU). Sebelumnya, tim JPU meminta majelis hakim menjatuhkan denda Rp 500 juta subsider enam bulan penjara dan uang pengganti Rp 6,5 miliar.

Menanggapi putusan majelis hakim tersebut, melalui kuasa hukumnya, yakni Alamsyah Hanafiah, Hariadi mengajukan banding. Salah satu alasannya, menurut Alamsyah, banyak revisi dari hakim dalam surat dakwaan kliennya. "Kami menyatakan banding. Mohon hakim menyertakan lembar perbaikan dakwaan dalam salinan putusan," papar dia kemarin.

Hariadi mengorupsi ketika menjabat GM PT PLN Distribusi Jatim pada 2004. Dia melakukannya bersama beberapa pengusaha. Pada Mei tahun yang sama, dia menandatangani kontrak proyek pengadaan jasa bidang TI untuk CMS.

Proyek CMS tersebut senilai Rp 360 miliar. Padahal, menurut keterangan saksi ahli, program CMS itu tidak diganti dengan yang baru. Aplikasi lama hanya dikembangkan atau dimodifikasi. Untuk itu, biaya proyek seharusnya kurang dari Rp 360 miliar. Bahkan, ditemukan penggelembungan harga sebesar Rp 175.674.815,34.

Akibat perbuatan itu, Hariadi diduga sudah memperkaya diri sendiri sebesar Rp 150 juta per bulan sejak Maret 2005 sampai Desember 2007 atau total Rp 5,1 miliar. (ken/c11/iro)
Sumber: Jawa Pos, 30 Maret 2010
------------------
Hariadi Sadono Divonis Enam Tahun Penjara

Direktur Luar Jawa Bali (nonaktif) PT PLN (Persero) Hariadi Sadono divonis enam tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, Jakarta. Hariadi dinilai terbukti melakukan korupsi dalam proyek pengadaan Sistem Manajemen Pelanggan berbasis teknologi informasi pada PT PLN Distribusi Jawa Timur yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 175 miliar.

”Tindak pidana korupsi itu dilakukan bersama-sama,” kata Ketua Majelis Hakim Tjokorda Rai, Senin (29/3) di Pengadilan Tipikor, Jakarta.

Selain dihukum penjara, terdakwa juga diwajibkan membayar denda Rp 300 juta subsider tiga bulan kurungan dan membayar uang pengganti Rp 2,325 miliar. Jika dalam waktu sebulan ia tidak membayar uang pengganti, semua hartanya akan disita negara. Jika tidak mencukupi, akan ditambah dengan hukuman dua tahun penjara.

Vonis tersebut lebih ringan daripada tuntutan jaksa yang menuntut ia dihukum 10 tahun penjara, denda Rp 500 juta, dan membayar uang pengganti Rp 6,5 miliar.

Hal yang memberatkan, menurut hakim, sebagai pejabat PT PLN terdakwa mencederai kepercayaan masyarakat. Yang meringankan, terdakwa belum pernah dihukum dan memiliki tanggungan keluarga.

Kasus korupsi tersebut terjadi saat Hariadi menjabat sebagai General Manager (GM) PT PLN Jawa Timur periode 2003-2008. Waktu itu ia menandatangani surat perjanjian kerja sama pengadaan Sistem Manajemen Pelanggan berbasis teknologi informasi (customer management system/ CMS) bersama Direktur Operasional PT Altelindo Achmad Fatony Zakaria tanpa melalui prosedur pengadaan barang dan jasa.

Hariadi bersepakat dengan pemilik PT Altelindo Saleh Abdul Malik, membagi pekerjaan (subkontrak) dengan PT Arthi Duta yang dimiliki Arthur Pellupessy. Kedua perusahaan tersebut bertanggung jawab pada pengaturan biaya penyelenggaraan operasional pekerjaan dan pembiayaan pengadaan peranti lunak aplikasi CMS.

Dari proyek tersebut, Altelindo atau pemiliknya, Saleh Abdul Malik, diuntungkan Rp 128,88 miliar. Arthi Duta atau pemiliknya, Arthur Pellupessy, menangguk keuntungan Rp 37,83 miliar. Menurut hakim, nilai riil proyek itu Rp 20,36 miliar. Dengan demikian, total kerugian negara Rp 175 miliar. Jaksa menyatakan terdakwa menerima Rp 6,5 miliar. (aik)
Sumber: Kompas, 30 Maret 2010
--------------------
Mantan Petinggi PLN Divonis 6 Tahun

Bekas General Manager PT PLN Distribusi Jawa Timur Hariadi Sadono divonis enam tahun penjara. Hariadi terbukti merugikan negara lebih dari Rp 175 miliar dalam kasus proyek pengadaan customer management system atau CMS di PLN Jawa Timur pada 2004-2007. "Sebagai pemimpin PLN, terdakwa mencederai kepercayaan masyarakat dan perseroan," kata ketua majelis hakim Tjokorda Rae Suamba di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi kemarin.

Selain memvonis penjara, hakim memerintahkan Hariadi membayar denda Rp 300 juta dan mewajibkan membayar uang pengganti kerugian korupsi sebesar Rp 2,325 miliar.

Dalam pertimbangannya, majelis menuturkan kasus ini berawal pada 2004. Ketika itu Hariadi mengadakan proyek integrasi enam fungsi pelayanan perusahaan dengan tujuan agar pembayaran rekening listrik pelanggan wilayah Jawa Timur bisa dilakukan secara online.

Hariadi lantas menggandeng PT Altelindo Karya Mandiri dan PT Arthi Duta Aneka Usaha sebagai rekanan. Menurut hakim, prosedur pengadaan tak sesuai dengan peraturan. "Terdakwa melakukan penunjukan langsung," kata hakim. Panitia pengadaan tak melakukan analisis kelayakan, penyusunan harga perkiraan sendiri, maupun negosiasi.

Dari proyek itu, Artelindo atau pemiliknya, Saleh Abdul Malik, diuntungkan Rp 128,88 miliar. Adapun Arthi Duta atau pemiliknya, Arthur Palupessy, menangguk keuntungan Rp 37,83 miliar. Padahal, menurut hakim, nilai riil proyek tersebut hanya Rp 20,36 miliar. Akibatnya, negara dirugikan Rp 175 miliar lebih.

Alamsyah Hafiah, pengacara Hariadi, menyatakan banding. "Dalam putusan ada angka-angka yang berbeda dengan dakwaan," kata dia. "Kami meminta salinan putusan secepatnya." ANTON SEPTIAN
 
Sumber: Koran Tempo, 30 Maret 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan