Harapan untuk Angket Haji
Setelah mendapati kenyataan buruk dari penyelenggaraan ibadah haji tahun ini, akhirnya 121 anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI berniat mengajukan hak angket kepada pemerintah. Tentu saja langkah ini perlu didukung, meskipun sejatinya tindakan ini sudah agak terlambat, mengingat persoalan buruknya kualitas penyelenggaraan ibadah haji oleh Departemen Agama sudah terjadi sejak beberapa tahun lalu.
Berbagai harapan dan keinginan agar penyelenggaraan ibadah haji di Indonesia lebih baik telah disuarakan oleh banyak kalangan, termasuk dari ormas dan LSM. Gerakan untuk perbaikan penyelenggaraan haji sekitar empat tahun yang lalu bahkan telah memakan korban, yang sebenarnya bukan tujuan utama, yaitu dengan dipenjarakannya mantan Menteri Agama Said Agil al-Munawar serta mantan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Taufiq Kamil.
Sebenarnya DPR periode 2004-2009 ini pernah memiliki momentum penting dalam upaya reformasi sistem penyelenggaraan haji, yaitu pada saat membahas revisi undang-undang haji. Sayangnya, Undang-Undang Haji Nomor 13 Tahun 2008 hasil pembahasan DPR periode ini substansinya tidak jauh berbeda dengan UU Haji yang lama, No. 17/1999. Pemisahan fungsi regulator dari operator yang dirangkap oleh Departemen Agama, sebagaimana diharapkan oleh koalisi masyarakat, tidak diakomodasi dalam UU Haji yang baru.
Tapi nasi sudah menjadi bubur. Kesempatan emas untuk memuluskan jalan menuju haji mabrur melalui regulasi tingkat tinggi tersebut berlalu begitu saja. Boleh jadi momentum pengajuan hak angket ini merupakan kesempatan berikutnya bagi DPR untuk memperbaiki kondisi penyelenggaraan haji di Tanah Air, sekaligus menjadi ajang menebus kesalahannya. Kita berharap pengajuan hak angket haji kali ini dapat menuntaskan ketidakberesan urusan haji di Tanah Air yang terus berulang dari tahun ke tahun.
Untuk menjadikan momentum pengajuan hak angket ini lebih berhasil secara optimal, berikut ini sebagai titipan agenda dan bahan untuk mengingatkan para pengusul hak angket tentang perubahan kondisi yang diharapkan oleh umat. Ada juga beberapa hal aktual yang terjadi pada penyelenggaraan haji musim ini, yang perlu dimasukkan dalam agenda pembahasan angket.
Pertama, perlunya penyusunan dan penegakan standar pelayanan haji. Harus diakui bahwa standar pelayanan dalam penyelenggaraan haji ini masih sangat kurang memadai. Sejauh penelusuran atas peraturan yang ada, pada penyelenggaraan haji reguler baru ada peraturan standar mengenai pemondokan dan penerbangan, itu pun aturannya masih jauh dari harapan agar hak jemaah terlindungi dengan baik. Sedangkan pada aspek pelayanan lain, seperti dalam hal kesehatan, penyediaan makanan, penyediaan tenaga pembimbing dan petugas, pelayanan pengaduan jemaah, dan sebagainya, belum ada standar yang ditetapkan.
Agaknya ketiadaan standar pelayanan ini yang ikut menyebabkan seringnya terjadi kekacauan dalam penyelenggaraan haji, terutama pada pemondokan, penyediaan makanan/katering, dan penerbangan. Ketiadaan standar layanan yang berkorelasi dengan harga wajar sebuah jasa layanan juga dapat memicu penggelembungan dan permainan harga.
Kasus khas yang terjadi tahun ini adalah jauhnya pemondokan dari Masjidil Haram dan harga sewa yang dirasakan mahal. Transportasi komuter antara pemondokan dan Masjidil Haram yang disediakan pemerintah juga kacau dan tidak profesional. Pemerintah terkesan tidak peduli terhadap peringatan yang dilakukan oleh pemerintah Saudi yang menyatakan bahwa Masjidil Haram akan dipugar sehingga lokasi pemondokan akan bergeser. Bahkan pemerintah Saudi telah menyatakan hal ini beberapa tahun sebelumnya.
Kedua, sistem pengelolaan/penyelenggaraan ibadah haji yang masih terkonsentrasi pada Departemen Agama. Tumpang-tindih peran yang dimandatkan oleh UU Haji kepada Departemen Agama menjadikan tidak optimalnya peran departemen ini dalam menyelenggarakan haji, meregulasi, maupun dalam mengawasi dan membina penyelenggara haji swasta. Hampir setiap tahun ada saja kejadian, tepatnya musibah, yang berpangkal pada ketidakoptimalan peran Departemen Agama. Musim ini ada puluhan anggota jemaah haji khusus (swasta) yang tertunda keberangkatannya dan ratusan yang terancam tidak bisa pulang sesuai dengan jadwal karena tidak tersedianya pesawat pengangkut. Hal ini menjadi bukti Departemen Agama melalaikan kewajibannya melindungi kepentingan umat dengan mengawasi penyelenggara haji swasta.
Ketiga, penghapusan Dana Abadi Umat (DAU). Pengakumulasian sisa dana jemaah "hasil efisiensi" dalam penyelenggaraan haji dalam rekening khusus ini terbukti telah menjadi sumber fitnah. Salah satunya adalah terjadinya perbedaan penghitungan pendapatan DAU dari hasil efisiensi biaya haji. Pada penyelenggaraan haji tahun 2006, Departemen Agama melaporkan mendapatkan hasil efisiensi sebesar Rp 78,3 miliar, sedangkan menurut perhitungan Indonesia Corruption Watch (ICW) seharusnya sebesar Rp 275,3 miliar.
Selain itu, DAU diduga syarat dengan penyelewengan dan korupsi. Selain kasus yang telah menyeret mantan menteri ke penjara, kasus terakhir adalah apa yang telah dilaporkan ICW pada awal Desember 2008. ICW dan Forhaji melaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi adanya dugaan penyelewengan DAU yang melibatkan beberapa pejabat Departemen Agama dan beberapa anggota DPR. Tujuan DAU untuk meningkatkan kemaslahatan umat menjadi terabaikan, bahkan menjadi bumerang bagi para pengelolanya. Berdasarkan hal ini, sangat masuk akal jika rekening DAU ditutup dan aksi pengutipan uang jemaah berdalih efisiensi itu dihentikan.
Keempat, pengembalian kelebihan biaya avtur kepada jemaah. Pada musim haji 2008 ini telah terjadi kenaikan biaya penerbangan haji yang ditetapkan Departemen Agama bersama DPR, rata-rata US$ 450 per orang. Alasannya adalah biaya avtur yang melonjak tinggi seiring tingginya harga minyak mentah dunia. Biaya ini ditetapkan pada April ketika harga minyak dunia sekitar US$ 120 per barel. Sedangkan pada waktu pelaksanaan, November-Desember, harga minyak dunia sedang anjlok bahkan mencapai harga di bawah US$ 50 per barel.
Dengan berbagai fakta yang ada, ICW menghitung ada selisih uang senilai US$ 46,491 juta atau setara dengan Rp 543,394 miliar karena selisih harga avtur, yang semestinya dikembalikan kepada jemaah. Dengan fakta ini, pemerintah harus mengupayakan agar dana tersebut bisa ditarik kembali dari perusahaan penyedia avtur maupun perusahaan penerbangan. Jangan sampai perusahaan-perusahaan ini semaunya sendiri, ketika harga bahan bakar naik mereka merengek untuk menaikkan ongkos, tapi ketika harga bahan bakar turun mereka tidak bersedia mengoreksinya. Harap diingat bahwa biaya haji tahun ini adalah biaya termahal, yang tentu saja sangat memberatkan jemaah.
Dengan tambahan agenda di atas, diharapkan angket haji kali ini bisa menyelesaikan permasalahan yang telah begitu akut di sistem pengelolaan haji. Bagi DPR, yang selama ini terkesan diam saja terhadap segala kebobrokan di sektor haji, momentum ini juga menjadi ajang untuk beristigfar di akhir-akhir masa jabatan agar bisa mengakhirinya dengan husnul khotimah.
Dengan mulai bergeraknya DPR, di dalamnya termasuk Komisi VIII yang selama ini terkesan menjadi shohib Departemen Agama, diharapkan benar-benar bisa mengubah perilaku departemen ini. Hasil akhirnya tentu diharapkan ada reformasi total dalam penyelenggaraan haji, dan terjaminnya hak jemaah untuk dapat beribadah secara khusyuk yang bisa mengantarkannya menjadi haji mabrur.
As'ad Nugroho, Direktur Advokasi Konsumen Muslim Indonesia (AKMI) dan anggota Forum Reformasi Haji (Forhaji)
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 18 Desember 2008