Harapan Lama untuk DPR Baru [13/08/04]
Komisi Pemilihan Umum akhirnya menetapkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah 2004-2009. Sebanyak 550 kursi DPR dan 128 kursi DPD adalah bagian institusionalisasi demokrasi. Ke-678 orang itu sekaligus merupakan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Dengan kewenangan besar dan luas, 678 orang itu akan memengaruhi proses kehidupan berbangsa dan bernegara lima tahun ke depan, ditambah presiden, wakil presiden, dan kabinet yang mulai bekerja Oktober 2004.
Selain mereka, 1.780 anggota DPRD Provinsi, 13.525 anggota DPRD Kabupaten/Kota, 882 bupati/wakil bupati/wali kota/wakil wali kota, dan 64 gubernur/wakil gubernur akan menjadi aktor politik di daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota. Boleh dikata, 16.929 orang itulah hasil autentik sistem politik baru RI. Mereka merupakan output pemilu legislatif dan eksekutif dari kira-kira 400.000 peminat. Hampir segala sumber daya dikerahkan untuk mendudukkan mereka di kursinya, termasuk sejumlah korban konflik dan kekerasan politik.
KETIKA mereka mengisi lembaga eksekutif dan legislatif, rakyat tinggal menunggu realisasi atas janji-janji dalam kampanye lalu. Buruknya kinerja anggota dewan periode 1999-2004 tentu butuh perbaikan oleh dewan periode 2004-2009, mengingat jenuhnya masyarakat atas rendahnya integritas moral, intelektual, dan spiritual anggota dewan.
Dari segi komposisi, pendidikan, dan usia, anggota DPR baru menunjukkan arah perbaikan. Itu penilaian di atas kertas. Kinerja partai-partai politik yang mendudukkan mereka di kursi legislatif rata-rata belum maksimal. Orientasi partai politik belum berubah dari pelayan pimpinan politik menjadi penyalur dan pelayan kepentingan konstituen. Partai politik lamban bergerak untuk aneka masalah sosial-kemasyarakatan, bahkan jika dibandingkan dengan masyarakat sipil (civil society). Partai politik terkesan dikerangkeng semangat hierarkisnya dalam pengambilan keputusan strategis, misal dalam proses pemilihan presiden dan wakil presiden.
Padahal, dalam lima tahun ke depan, partai politik menjadi garda depan proses demokratisasi dan penegakan supremasi sipil. Partai politik bukan hanya harus berhadapan dengan kompleksitas masalah kemasyarakatan hampir di segala bidang, tetapi harus sesegera mungkin menyerap aspirasi masyarakat yang kian kritis. Meski masyarakat mulai bergerak menjauhi wilayah politik, lalu melepaskan diri sebagai pribadi otonom, bukan berarti kepedulian atas kinerja anggota legislatif akan melemah. Justru kepedulian itu pelan-pelan meningkat, seiring arus keterbukaan politik.
Partai politik kini hidup dalam fase paling menyenangkan dalam sejarah politik di Indonesia. Namun, seiring kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, fase ini tidak memberi cek kosong kepada partai-partai politik guna menentukan arah perkembangan kehidupan kebangsaan. Paling tidak, dari sejumlah kasus pembangkangan sipil atas kinerja legislatif dan eksekutif selama lima tahun terakhir, masyarakat kian cerdas memanfaatkan celah guna menuntut hak-haknya. Penahanan sejumlah anggota DPRD yang ditengarai menyelewengkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tidak terlepas dari kuatnya pressure groups di tingkat lokal.
Meski pembubaran partai politik dilakukan Mahkamah Konstitusi (MK), namun secara realitas sosial-politik masyarakatlah yang menjalankan. Dalam pengertian sederhana, masyarakatlah yang tidak memberi dukungan kepada sejumlah partai politik pada pemilu lalu.
Eksekusi demokratis juga bagian dari fenomena Pemilu 2004. Sejumlah nama besar dalam perpolitikan nasional pelan-pelan hilang dari peredaran. Kalangan cendekiawan atau profesional murni yang memanfaatkan kebebasan untuk menjadi peserta pemilu ternyata tidak mendapatkan dukungan, bahkan oleh komunitas intelektual sendiri atau yang jenjang pendidikannya di atas rata-rata penduduk Indonesia. Sebaliknya, justru kian banyak muncul kelompok kelas menengah yang lebih independen, berpendidikan, dan berpenghasilan menengah ke atas yang akan menjadi kekuatan penekan sekaligus oposisional.
REALITAS demokratis masyarakat Indonesia akan mengecutkan nyali politikus manapun. Kian banyak kelompok berpendidikan menjadi pengangguran. Sementara, lapisan pengangguran lama tak tertampung lapangan kerja. Belum lagi makin banyak masyarakat jatuh miskin.
Dari sisi politik, tantangan anggota DPR/DPRD akan muncul dari dua kelompok ini. Pertama, kaum berpendidikan namun tidak mempunyai pekerjaan layak. Kelompok ini akan terus mengeluarkan kritik dan kekecewaan. Kedua, kaum yang kurang berpendidikan dan tak mendapat pekerjaan layak. Kelompok ini secara pragmatis akan mengalihkan dukungan kepada politikus yang mampu mewujudkan aspirasi paling primer, kebutuhan makan dan bertahan hidup.
Sejumlah survei menunjukkan betapa kerinduan atau harapan utama yang diberikan kepada peserta pemilu adalah kemampuan untuk memberi lapangan pekerjaan setelah terpilih. Ini harapan lama karena salah satu fungsi pemerintahan adalah kemampuan meningkatkan standar hidup masyarakat ke arah lebih baik, bukan lebih buruk. Pemerintahan yang menimbulkan bencana sosial, seperti kelaparan, akibat korupsi, manipulasi, dan kelambanan, akan berhadapan dengan masyarakat sendiri.
Dari ribuan harapan yang ditorehkan masyarakat berdasar kegiatan Pohon Janji yang dilakukan Koalisi Media untuk Pemilu Bebas dan Adil, terlihat betapa berat beban politisi. Politisi dituntut bekerja 24 jam sehari semalam, terutama untuk memenuhi kebutuhan primer konstituen. Dalam kondisi krisis multidimensional, masyarakat kian waras berpolitik. Sejumlah pakar menyebutnya sebagai sindrom ratu-adilisme, namun penulis percaya, tingginya harapan lebih merupakan implikasi keterbukaan politik. Fenomena ratu-adilisme hanya lahir dalam masyarakat tertutup, feodal, dan mistis. Peserta pemilu yang memainkan simbol-simbol Satria Piningit hanya akan memunculkan kekecewaan baru, di tengah meningkatnya kecerdasan masyarakat dalam memaknai peristiwa politik.
Aneka harapan yang ditanam masyarakat terhadap anggota parlemen baru lebih merupakan bentuk dari harapan-harapan lama. Berbagai harapan itu tidak bisa diwujudkan dalam semalam. Di tengah tingginya harapan, kegagalan mewujudkan harapan akan membawa kekecewaan demi kekecewaan. Agar masyarakat tidak terus dikecewakan, anggota parlemen terpilih secepatnya menyiapkan diri secara lebih baik. Semangat aji mumpung selayaknya ditanggalkan, juga motif mencari kekayaan dan ketenaran. Pelajaran terpenting dari hadirnya muka-muka baru di parlemen terletak dari tenggelamnya muka-muka lama. Politisi lama tak akan pernah atau jarang diminati masyarakat. Seperti cara mereka selama ini yang memperlakukan rakyat hanya sebatas angka, kini kiprah dan prestasi mereka tak akan diingat. Di Indonesia, politik bukan pekerjaan yang menimbulkan rasa hormat, justru saat pekerjaan itu tidak lagi dilakukan.
Sebelum melewati masa-masa buruk itu, yakni saat bukan lagi politikus dan dipensiunkan oleh pemilih dalam pemilu, selayaknya persiapan untuk memasuki pintu gerbang parlemen dimatangkan. Jangan sampai fenomena politisi ibarat mentimun bungkuk, ada dan tiadanya tidak masuk hitungan... Selamat bekerja keras. (Indra J Piliang Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Jakarta)
Tulisan ini diambil dari Kompas, 13 Agustus 2004