Harapan Baru Pemberantasan Korupsi

Luar biasa. Mungkin itu kalimat yang paling tepat untuk menilai efek bola salju dari vonis penjara yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Negeri Padang terhadap 43 anggota DPRD Sumatera Barat pertengahan bulan lalu.

Dikatakan demikian, vonis itu tidak hanya menorehkan sejarah, tetapi juga mampu memberi daya dorong luar biasa dalam menindaklanjuti kasus korupsi anggota parlemen di daerah lain.

Buktinya, dalam rentang waktu kurang dari satu bulan, pengungkapan kasus korupsi di lingkungan legislatif terus bermunculan. Misalnya, aparat hukum di Jawa Barat, Lampung, dan Nanggroe Aceh Darussalam menunjukkan kemajuan pesat dalam membongkar kasus korupsi yang dilakukan anggota legislatif. Tidak hanya itu, di Sumatera Barat (Sumbar) sendiri, setelah kasus anggota legislatif tingkat provinsi, kejaksaan tinggi sedang memberkas kasus serupa yang terjadi di lima DPRD kabupaten/kota. Bahkan, kasus korupsi di DPRD Kota Padang sudah mulai disidangkan di pengadilan negeri (PN).

Jika untuk kasus Akbar Tandjung masyarakat sempat kehilangan harapan, kini melihat perkembangan di beberapa daerah, banyak kalangan melihat munculnya harapan baru dalam pemberantasan korupsi. Begitu besarnya harapan itu, Tajuk Rencana Kompas dengan nada optimistis menulis Pemberantasan Korupsi Itu Dimulai dari Sumbar (8/6).

KETIKA Forum Peduli Sumatera Barat (FPSB) memberi prioritas melaporkan indikasi korupsi dalam penyusunan APBD Tahun 2002 kepada kejaksaan tinggi, muncul pertanyaan, mengapa yang dilaporkan hanya anggota DPRD. Padahal, eksekutif menjadi bagian tak terpisahkan dalam pembahasan RAPBD. RAPBD tidak pernah menjadi APBD bila tidak disahkan kepala daerah.

Selain strategi, pertimbangan mendahulukan anggota DPRD amat terkait fungsi kontrol lembaga legislatif, terutama dalam memerangi praktik korupsi. Semestinya, dalam proses penyusunan anggaran, legislatif harus mampu melakukan koreksi atas anggaran yang dibuat eksekutif guna mencegah kemungkinan penyimpangan di kemudian hari. Nyatanya, fungsi kontrol diabaikan dan mereka sibuk merekayasa keuangan sendiri.

Dalam konteks pemberantasan korupsi, sebagian anggota legislatif gagal memelihara integritas personal dan institusi. Mereka masuk jebakan eksekutif untuk mendapat kemewahan fasilitas dan finansial. Padahal, menghindari jebakan itu amat penting agar anggota legislatif mampu menjadi aktor kredibel guna menahan laju korupsi. Kegagalan menjaga integritas menjadikan penyusunan APBD sebagai wahana membagi-bagi uang rakyat untuk memperkaya diri sendiri.

Mereka tidak saja gagal menggunakan jenjang ketinggian otoritas DPRD untuk menyahuti aspirasi yang berkembang di tingkat publik dalam memberantas korupsi, tetapi juga gagal melaksanakan fungsi kontrol. Karena itu, menjadi amat wajar bila bidikan awal proses hukum ditujukan kepada anggota legislatif.

VONIS PN Padang dan penanganan kasus serupa di berbagai daerah memberi harapan baru dalam pemberantasan korupsi. Harapan itu akan kian mendekati kenyataan kalau diikuti dengan beberapa upaya berikut.

Pertama, daerah yang anggota legislatifnya terindikasi melakukan korupsi harus mampu memanfaatkan momentum yang ada. Saya percaya, laporan penyelewengan penyusunan keuangan DPRD tidak hanya terjadi di Sumbar, Jabar, dan Lampung. Bisa jadi, sebagian besar anggota DPRD melakukan praktik serupa. Bedanya, ada kasus yang sudah terungkap karena laporan masyarakat dan ada yang masih di bawah permukaan karena belum tersentuh sama sekali.

Dalam menindaklanjuti laporan masyarakat, aparat hukum di Sumbar amat responsif dan progresif. Kondisi ini tidak dijumpai daerah lain. Misalnya, Senin (7/6) dalam diskusi terbatas dengan Forum Pemuka Masyarakat Peduli Riau, beberapa kalangan mengeluhkan lambannya respons penegak hukum menindaklanjuti laporan masyarakat. Bahkan, aparat tidak mau menindaklanjuti laporan masyarakat karena bukti-bukti yang disampaikan kurang akurat.

Bila apa yang terungkap dalam diskusi itu benar, sikap itu patut disayangkan. Sekiranya aparat penegak hukum berkeinginan kuat memberantas praktik korupsi, laporan masyarakat dapat dijadikan bukti awal. Setelah itu, menjadi kewajiban aparat penegak hukum mengungkap lebih lanjut temuan awal masyarakat. Bagi saya, tidak melanjutkan laporan masyarakat karena alasan akurasi adalah cermin keengganan mengungkap kasus korupsi.

Kedua, bagi aparat yang sedang melakukan proses hukum terhadap anggota legislatif, proses itu harus diteruskan kepada pihak eksekutif terutama kepala daerah. Terkait hal ini, tulisan Korupsi di Negeri Busung Lapar (Kompas, 28/5/2003) saya menyatakan karena dalam proses lahirnya APBD legislatif tidak sendiri tetapi juga melibatkan eksekutif, maka kejaksaan harus menyidik kepala daerah. Artinya, unsur turut serta (deelneming) kepala daerah amat mudah dibuktikan dalam proses lahirnya APBD.

Dalam kasus DPRD Sumbar, misalnya, FPSB telah melaporkan gubernur kepada kejaksaan. Tetapi, sampai saat ini gubernur belum diperiksa. Alasannya, izin memanggil gubernur belum dikeluarkan presiden. Bila alasan itu benar, presiden harus segera mengeluarkan izin pemeriksaan Gubernur Sumbar. Sejauh ini tidak ada alasan untuk tidak mengeluarkan izin penyidikan terhadap gubernur. Izin itu penting agar tidak terjadi diskriminasi dalam proses penegakan hukum. Apalagi, pihak legislatif sudah dinyatakan bersalah pengadilan.

Ketiga, memberi efek jera. Meski putusan PN Padang dikatakan luar biasa, saya tetap melihat masih ada yang belum progresif karena hakim tidak segera memerintahkan menahan mereka yang dinyatakan bersalah. Putusan itu tidak mampu keluar dari tren yang ada, yaitu pada salah satu sisi menyatakan pelaku korupsi terbukti bersalah. Sementara di sisi lain, pelaku yang telah dinyatakan bersalah tetap menikmati udara bebas. Akibatnya, putusan hakim tidak sepenuhnya mampu memberi rasa takut terhadap pelaku korupsi.

Bisa jadi, putusan pengadilan negeri dianggap angin lalu karena ada peluang untuk dikoreksi peradilan lebih tinggi. Tambah lagi, putusan kasasi Akbar Tandjung memberi inspirasi bagi pelaku korupsi untuk tidak takut terhadap putusan pengadilan lebih rendah. Harus diingat, korupsi adalah extra ordinary crime, hakim harus membuat perlakuan khusus untuk pelaku korupsi. Karena itu, untuk menegakkan wibawa pengadilan dalam menangani korupsi, pelaku yang terbukti bersalah harus segera ditahan.

PERKEMBANGAN penanganan kasus korupsi memberi harapan baru dalam pemberantasan korupsi terutama di daerah. Tetapi semua pihak harus mencermati perkembangan lebih lanjut. Efek bola salju vonis PN Padang memang sudah kelihatan, tetapi harus sabar melihat perkembangan sampai tahap akhir.

Untuk itu, saya sepakat dengan isi Tajuk Kompas di atas, kita amat mendambakan keadilan dan penegakan hukum segera datang. Itulah satu-satunya jalan yang bisa menyelamatkan negeri ini dari malapetaka. Jalan itu dapat dibangun dengan menjaga harapan untuk memberantas korupsi.(Saldi Isra Koordinator Forum Peduli Sumatera Barat; Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang)

Tulisan ini diambil dari Kompas 11 Juni 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan