Hanya Berani sampai Level Gubernur; Gubernur PTIK Kritik Kinerja KPK
Gubernur Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) Irjen Pol Farouk Muhammad mengkritik kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurut dia, KPK masih tebang pilih karena tidak berani membidik kasus-kasus besar yang melibatkan koruptor kelas kakap.
Harus diakui, jika kasus masuk KPK, pasti tidak akan ada yang lepas. Sayangnya, yang ditindak hanya kasus-kasus kecil, kata Farouk kemarin. Hingga saat ini, KPK baru menyeret koruptor level gubernur, seperti Abdullah Puteh dan Suwarna. Padahal, ada juga kasus dugaan korupsi yang menyentuh level lebih tinggi.
Saat ini, upaya penegakan hukum masih dikatrol kepentingan politik, ujar jenderal bintang dua polisi yang dikenal reformis itu. Menurut dia, penyelesaian kasus korupsi justru dijadikan alat bargaining politik antara pemerintah yang berkuasa dan partai politik.
Tidak hanya itu, lanjut dia, image sebagai alat membangun citra politik pemerintahan SBY juga melekat pada KPK. Hal tersebut tentu saja menjadi preseden buruk bagi kinerja KPK. Padahal, ekspektasi masyarakat terhadap lembaga itu untuk menuntaskan kasus korupsi sangat besar dibandingkan kepada aparat penegak hukum lainnya. Jadi, KPK harus berani mengungkap kasus-kasus besar, tandas Farouk. KPK harus mengambil langkah berani, meski berhadapan dengan penguasa.
Pakar hukum Bambang Widjajanto menambahkan, KPK harus segera mengubah citra sebagai alat penguasa. Jangan takut, KPK didukung kekuatan masyarakat yang ingin kasus korupsi ditangani secara tuntas, ungkapnya.
Meski demikian, kata dia, penguatan aparat hukum bukan melulu tugas aparat itu. Pemerintah juga punya tanggungjawab besar untuk menjamin kelangsungan kerja aparat hukum, khususnya KPK.
Pemerintah harus segera merumuskan arah politik penegakan hukum agar kinerja aparat hukum maksimal dan tidak ada benturan antarlembaga penegak hukum pada masa mendatang. Jangan berpikir jangka pendek saja, harus ada visi ke depan, tambahnya.
Dihubungi terpisah, pakar ilmu hukum Universitas Indonesia (UI) Rudi Satrio menilai wajar jika KPK lebih memilih menyelesaikan kasus-kasus kecil. Sebagai lembaga baru, KPK berhadapan dengan kekuatan besar yang kontra terhadap upaya pemberantasan korupsi. Wajar jika memilih kasus kecil yang resistensinya juga kecil, jelasnya.
Selain itu, KPK bertanggung jawab untuk memenuhi ketentuan minimal ada dua alat bukti dalam setiap kasus. Sebuah kasus tidak mungkin ditindaklanjuti jika unsur pembuktiannya lemah. Boleh saja KPK melakukan tebang pilih, tapi hal itu harus didasarkan atas terpenuhinya unsur pembuktian. Bukan pada kepentingan politik di balik itu, paparnya.
Meski demikian, dengan payung hukum yang kuat, yakni UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK, UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan ratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), KPK seharusnya bisa berbuat lebih. Tidak menutup kemungkinan, KPK dapat menangani kasus-kasus besar yang bahkan berlawanan dengan kepentingan penguasa, tandasnya. (ein)
Sumber: Jawa Pos, 11 September 2006