Hanya 30 Persen yang Layak Jadi Hakim "Ad Hoc"

Dari total 79 calon hakim ad hoc tindak pidana korupsi, hanya sekitar 30 persen atau 24 calon yang layak direkomendasikan menjadi hakim ad hoc. Selebihnya, sekitar 70 persen atau 55 calon, dinilai tidak layak.

Alasan ketidaklayakan tersebut, antara lain, usia yang terlalu tua (68 tahun atau 69 tahun, mendekati batas masa pensiun hakim agung), keahliannya diragukan, pernah berafiliasi dengan partai politik tertentu, memiliki harta kekayaan yang tidak wajar, integritas dipertanyakan, dan ditengarai terlibat mafia hukum.

Demikian hasil penelusuran rekam jejak oleh Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) terhadap 79 calon hakim ad hoc, seperti dikemukakan dalam jumpa pers, Minggu (14/2). Berbicara sebagai narasumber, Muji Kartika Rahayu, Jamil Mubarok, Illian Deta Arthasari, dan Purnomo Satriyo.

Terkait dengan hal tersebut, KPP meminta agar Panitia Seleksi tidak memaksakan diri merekrut 61 calon hakim ad hoc sesuai jumlah yang dibutuhkan. Rencananya, 61 hakim ad hoc tindak pidana korupsi (tipikor) itu akan ditempatkan di tujuh pengadilan negeri dan pengadilan tinggi tipikor di tujuh kota.

Illian menjelaskan, KPP meminta Mahkamah Agung (MA) selektif memilih calon. Panitia Seleksi diminta tidak memaksakan pengisian 61 jabatan hakim ad hoc, mengingat sedikitnya calon yang memenuhi kriteria.

Bahkan, hanya terdapat satu calon (yang tersisa) untuk hakim ad hoc tingkat pertama di Medan dan Samarinda. Untuk hakim tingkat banding, sama sekali tidak ada calon (untuk dua kota tersebut).

”MA harus berani memutuskan untuk melakukan seleksi ulang. Anggaran tidak boleh jadi alasan. Mereka punya anggaran mengirimkan hakim ke luar negeri, bagaimana mungkin tidak memiliki anggaran untuk melakukan seleksi,” kata Illian.

Panitia Seleksi rencananya akan mengadakan seleksi tahap akhir (wawancara) selama tiga hari di Balai Diklat MA di Megamendung, Bogor, Senin (15/2) hingga Rabu (17/2).

Illian mengkritik pemilihan lokasi seleksi yang jauh dan sulit diakses oleh publik dan media. Alasan efisiensi dinilai sangat meragukan, mengingat dalam beberapa kali seleksi sebelumnya MA bisa menyelenggarakan di Gedung MA.

Sementara itu, Muji Kartika mengatakan khawatir atas upaya pelemahan sistematis terhadap pengadilan tipikor. Apabila dilihat dalam proses pembahasan RUU Pengadilan Tipikor, persoalan komposisi hakim ad hoc dan karier diperdebatkan sangat alot. Akhirnya pembentuk UU menyepakati persoalan komposisi diserahkan kepada ketua pengadilan negeri setempat atas petunjuk Ketua MA. ”Kami khawatir ini sebuah kesengajaan,” kata Muji. (ana)

Sumber: Kompas, 15 Februari 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan