Hamid Tantang Daan Dimara Bawa Bukti; Kasus Korupsi Kertas Segel Surat Suara KPU

Menteri Hukum dan HAM (Menkum HAM) Hamid Awaluddin akhirnya bersedia berkomentar seputar perkembangan kasus dugaan korupsi di KPU yang menyeret keterlibatan dirinya. Di depan wartawan yang mencegatnya kemarin, Hamid kembali menegaskan bahwa dia sama sekali tidak terlibat kasus itu. Dia juga menantang penuduhnya agar membawa bukti.

Hamid kemarin dikonfirmasi wartawan seputar keterlibatannya dalam kasus dugaan korupsi kertas segel surat suara dalam Pilpres I dan II dengan terdakwa Daan Dimara. Ketika disidang, Daan mengatakan, Hamid berperan dalam menentukan harga satuan untuk kertas segel surat suara tersebut, yakni Rp 99 per keping. Dalam rapat di KPU 14 Juni 2004, Hamid-lah yang menentukan harga tersebut.

Pengakuan itu dibenarkan oleh lima saksi yang juga dihadirkan ke sidang Daan. Seorang di antara mereka adalah Direktur PT Royal Standar (PT RS) Untung Sastrawijaya. Majelis hakim, rupanya, menerima keterangan saksi itu, kemudian memutuskan bahwa kedudukan Daan sebagai ketua panitia pengadaan segel tidak berdampak pada pengadaan segel tersebut.

Daan pun divonis lebih ringan, empat tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider kurungan dua bulan penjara. Pertimbangan dan keputusan hakim itu lantas dijadikan salah satu bukti bagi kubu Daan untuk melaporkan Hamid ke polisi. Tuduhannya memberikan kesaksian palsu. Sebab, ketika diajukan sebagai saksi dalam sidang Daan, Hamid membantah keterangan bahwa dia hadir dalam rapat 14 Juni 2004.

Kemarin pun, Hamid kembali menegaskan bantahan itu. Karena konteksnya rapat, maka bukti dari rapat itu adalah notulensi dan absensi peserta rapat. Itu posisi saya, kata Hamid setelah mengikuti rapat Pansus RUU Peradilan Militer di DPR kemarin. Jika memang dianggap ikut dalam rapat 14 Juni itu, dia mempertanyakan notulensi dan absensi rapat sebagai bukti fisik. Sejauh ini, yang ditanyakan Hamid itu memang tidak ada.

Karena itu, Hamid bersikukuh tidak bisa dipersalahkan karena ketiadaan bukti-bukti fisik tersebut. Meski perannya sebagai pimpinan rapat sekaligus penentu harga segel telah dibeberkan sebagai fakta sidang oleh lima orang saksi, Hamid tetap teguh membantah. Menurut dia, pelaporan itu meski dilakukan satu orang hingga satu kelompok sekalipun, akan percuma jika tidak ada bukti.

Secara tidak langsung, Hamid juga membenarkan ketidakterlibatan Daan dalam rapat tersebut. Pengacara Daan tidak lihat, Pak Daan tidak hadir dalam rapat yang dimaksud. Jangan melaporkan hanya berdasar informasi orang, ungkap Hamid dengan nada tinggi.

Hamid kemarin mengaku tidak terpengaruh oleh laporan Daan yang saat ini sedang ditangani Mabes Polri. Kenapa khawatir? apa kekhawatiran saya? katanya.

Ditambahkan, ada hak bagi warga negara dalam negara hukum untuk melaporkan seseorang. Anda kan bisa melapor, siapa pun bisa melapor, tambahnya, lantas menyudahi wawancara soal laporan Daan.

Bantahan Hamid tersebut kemarin dikonfirmasikan kepada Daan yang saat ini berada di tahanan Polda Metro Jaya.

Dia mengatakan, rapat 14 Juni 2004 itu adalah rapat khusus, tanpa notulen atau daftar hadir. Yang datang kan hanya beberapa orang, mereka mencatat sendiri. Beda dengan rapat pleno KPU. Di situ ada orang yang bertugas mencatat dan mengedarkan daftar hadir, ujarnya.

Meski melaporkan Hamid ke polisi, Daan mengaku tidak bertujuan menjebloskan Hamid ke penjara. Saya ingin yang sebenarnya terungkap. Siapa sih yang ingin disalahkan atas sesuatu yang tidak dia lakukan? tambahnya.

Daan menyesalkan kesaksian palsu Hamid. Dalam persidangan, Hamid mengaku tidak tahu-menahu soal rapat penentuan harga segel 14 Juni 2004. Padahal, faktanya, harga segel Pilpres I dan II sebesar Rp 99 per keping yang ditentukan Hamid lebih murah daripada harga segel Pemilu Legislatif Rp 120 per keping. Dia tinggal bilang saya menguntungkan negara (dengan selisih harga tersebut, Red). Sudah selesai itu. Nggak usah bohong, ungkap Daan dengan nada tinggi.

Penutasan kasus segel itu tidak cukup dilakukan dengan hanya menelusuri keterlibatan Hamid. Yang lebih penting, ungkap Daan, adalah mengungkap sosok yang memerintah PT RS untuk mencetak segel pada 5 Juni 2004, sebelum harga ditentukan. Siapa dibalik itu? Kalau pintar, pasti jaksa bisa ungkap itu. Tapi, mungkin mereka tidak berani, ujarnya.

Di tempat terpisah, pengacara Daan, Erick S. Paat, tidak setuju dengan anggapan Hamid bahwa bukti yang diajukannya ke polisi belum lengkap tanpa notulensi rapat dan daftar hadir. Ibaratnya, saya menusuk orang, tapi pisau yang jadi bukti saya buang. Apa dengan itu saya lolos dari hukum, ungkapnya.

Dalam laporannya ke polisi, pihak Daan menyertakan beberapa bukti, yakni surat penawaran harga segel bertanggal 10 Juni 2004 dari Untung Sastrawijaya kepada Hamid Awaluddin, BAP (berita acara pemeriksaan) para saksi di KPK, vonis hakim Pengadilan Tipikor atas kasus Daan Dimara, tuntutan jaksa penuntun umum (JPU), dan surat dakwaan. Dalam tuntutannya, JPU menyebutkan Hamid berperan dalam rapat tersebut, tambahnya.

Erick mengaku tantangan Hamid tidak membuat pihaknya kecil hati. Soal Hamid bebas atau dihukum, itu masalah nanti. Yang penting, katanya, adalah meletakkan kasus ini dalam rel hukum yang jelas dan adil bagi semua pihak. Kita lihat saja nanti di sidang, tambahnya. (ein/aku)

Sumber: Jawa Pos, 21 September 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan