Hamid Minta Tak Dipojokkan; Bersaksi di Sidang Kasus Korupsi Segel Suara KPU

Setelah dua kali mangkir, mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hamid Awaluddin akhirnya bersedia hadir sebagai saksi dalam kasus korupsi pengadaan segel suara KPU Rp 3,54 miliar.

Menteri Hukum dan HAM itu dalam persidangan kemarin menjadi saksi untuk dua terdakwa sekaligus. Yaitu, terdakwa mantan anggota KPU Daan Dimara dan bos PT Royal Standard Untung Sastrawidjaja yang juga rekanan KPU dalam pengadaan segel suara.

Hamid yang berjaket hitam dan berkemeja putih tiba di Pengadilan Tipikor di gedung Uppindo sekitar pukul 09.00 WIB. Dia langsung menghampiri Daan yang telah menunggu di ruang terdakwa. Daan yang kemarin mengenakan baju batik tampak agak terkejut. Toh, dua kolega tersebut saling berpelukan seolah melupakan perseteruan terkait keterlibatannya dalam korupsi pengadaan segel suara. Dari balik kaca, mereka tampak bercakap-cakap. Selanjutnya, Hamid menuju ke ruang saksi.

Selang beberapa menit, majelis hakim yang diketuai Gusrizal membuka persidangan. Hamid lantas duduk di kursi saksi. Seluruh pertanyaan hakim, JPU (jaksa penuntut umum), maupun pengacara Daan, Erick S. Paat, dijawab Hamid dengan lancar.

Kesaksian penting yang dilontarkan Hamid adalah soal dugaan keterlibatannya dalam penentuan harga segel surat suara dalam pilpres 2004. Dia berkilah terlibat karena hal tersebut bukan kewenangannya. Sebab, Hamid mengaku bukan anggota panitia pengadaan. Itu bukan kewenangan saya. Saya bukan panitia pengadaan (segel suara), aku Hamid dalam persidangan.

Hakim giliran menanyakan soal peran dia memimpin rapat penentuan harga pada 14 Juni 2004. Toh, Hamid lagi-lagi membantah. Menurut dia, dirinya tak pernah memimpin rapat penentuan harga. Itu bukan kewenangan saya, aku Hamid seraya menegaskan bahwa notulen dan catatan rapat tersebut selama ini memang tidak ada.

Jawaban Hamid tersebut praktis membantah keterangan lima saksi yang dihadirkan sebelumnya, yaitu Untung, Aryoko, Zaenal Asikin (ketiganya dari PT Royal Standard), Bakri Asnuri, dan Boradi (keduanya dari KPU). Pernah diberitakan, rapat pada 14 Juni 2004 merupakan fakta penting, mengingat memutuskan penetapan harga segel surat suara Rp 99 per keping.

Majelis hakim tak puas dengan jawaban Hamid. Salah seorang atau hakim lantas mencecar maksud pernyataan pria kelahiran Makassar itu kepada Daan bahwa harga segel surat suara yang sudah oke dan tinggal melanjutkan, Hamid kembali menolaknya. Yang saya katakan (kala itu) adalah Meneer (sapaan Daan), pekerjaan segel dipercepat, semuanya pasti beres, kata Hamid. Pernyataan serupa juga diungkapkan ketika pejabat berkaca mata itu ditanya hakim ketika bersaksi di depan Untung.

Hamid menegaskan, tidak ada perintah terhadap Daan terkait proyek pengadaan segel surat suara. Menurut dia, pembicaraan terkait proyek tersebut tak lebih dari kapasitasnya sebagai kolega anggota KPU. Selebihnya juga terkait kewenangan Hamid selaku panitia pengadaan surat suara. Surat suara tidak ada artinya bila tidak ada segel, ujarnya.

Atas jawaban tersebut, Daan menyatakan keberatan. Menurut dia, ucapan Hamid kala itu yang betul adalah Meneer Daan, harga segel sudah oke dan tinggal lanjutkan saja. Daan lantas meminta majelis hakim mempertemukan alias konfrontasi Hamid dengan sejumlah saksi lain.

Pengacara Erick dalam persidangan minta majelis hakim menahan Hamid karena kesaksiannya dinilai palsu. Ini karena keterangan Hamid bertolak belakang dengan kesaksian lima saksi lain. Kami minta para saksi dikonfrontasi ulang. Saya menduga ada yang melakukan sumpah palsu di antara para saksi, kata Erick.

Selain minta saksi dikonfrontasi, Erick mendesak majelis hakim mempertimbangkan informasi yang menyebutkan seluruh anggota KPU, termasuk Hamid, menerima dana taktis Rp 12 juta sebagai tunjangan hari raya. Hamid dalam keterangannya membantah soal tunjangan tersebut. Dia bersikukuh tak pernah menerima uang tersebut karena telah mengundurkan diri dari keanggotaan KPU.

Usai persidangan, terungkap isi pembicaraan pertemuan Hamid dan Daan di ruang terdakwa. Hamid disebut-sebut menawarkan bantuan untuk meringankan beban ekonomi keluarga Daan yang tertimpa kasus korupsi. Hamid juga minta tolong agar pengacara Daan, Erick, tidak terlalu memojokkan dirinya dalam persidangan.

Isi pembicaraan itu berbeda dengan versi di antara keduanya. Versi Daan, Hamid mengungkap tawaran bantuan atas kesulitan ekonomi istri dan anaknya. Dia (Hamid) bilang apa keluarga saya mau dibantu. Tetapi, saya menolak karena saya masih punya gaji dan istri saya masih PNS. Jadi, nggak perlu dikasihani, jelas Daan.

Selebihnya, kata Daan, Hamid juga minta pengacaranya tidak terlalu keras menyerang. Dia (Hamid) bilang, kalau terus memojokkan, itu bisa menjadi masalah pribadi, ujar Daan. Dan, pria asal Papua itu menegaskan bahwa dirinya hanya membeberkan fakta sebenarnya di persidangan.

Pengacara Erick mengamini pernyataan kliennya. Dia menaruh curiga dalam pertemuan itu Hamid mengintimidasi Daan. Apalagi, raut wajahnya sempat berubah setelah pertemuan, jelas Erick. Dan, setelah dijelaskan kliennya, Erick baru memahami. Menurut dia, jika memang Hamid mengungkapkan pernyataan bernada ancaman, hal tersebut perlu ditindaklanjuti dengan perlunya minta perlindungan ke organisasi pengacara atau bahkan ke Mabes Polri.

Daan juga mengklaim, saat persidangan dirinya sempat diancam seorang penelepon gelap agar tidak terlalu memojokkan Hamid. Kejanggalan lain, beberapa hari sebelum persidangan, istrinya juga pernah ditelepon seseorang yang mengklaim dari KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang minta Rp 7 juta sebagai kompensasi pembebasan Daan. Begitu diberi tahu informasi tersebut, Daan buru-buru minta agar istrinya tidak menanggapinya karena merupakan pemerasan atau penipuan.

Sementara itu, Hamid membantah keras pernyataan Daan dan Erick. Menurut dia, tak pernah ada ancaman saat pertemuan tersebut. Saya hanya minta pengacara Daan tidak memojokkan saya di media massa. Saya tak pernah memaksa apalagi mengancam, jelas Hamid. Selebihnya, imbuh Hamid, pertemuannya dengan Daan tak lebih sekadar hubungan antar teman lamanya.

Seperti diberitakan, Daan didakwa memperkaya rekanan pengadaan segel surat suara pemilu 2004 senilai Rp3,54 miliar. JPUB (jaksa penuntut umum) menilai hal itu terjadi karena terdakwa selaku ketua pengadaan segel surat suara melakukan penunjukan langsung yang tidak sesuai prosedur.

Daan didakwa melanggar hukum sesuai pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 (1) huruf b, ayat (2) dan ayat (3) UU No 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20/2001 tentang tindak pidana korupsi jo pasal 55 ayat (1) kesatu KUHP jo pasal 64 ayat (1) KUHP pada dakwaan pertama primer.

Daan juga didakwa menerima uang USD 110 ribu dari Kabiro Keuangan KPU Hamdani Amin. Uang tersebut berasal dari rekanan KPU termasuk PT Royal Standard. Untuk itu, dia didakwa melanggar hukum sesuai pasal 11 UU No 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20/2001 jo pasal 64 ayat (1) KUHP. (agm)

Sumber: Jawa Pos, 26 Juli 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan