Hakim WO dan Imparsialitas Peradilan

Sejarah hukum di negeri ini, tahun-tahun terakhir ini, berisi peristiwa-peristiwa hukum yang di zaman Orde Baru dulu, terbayangkan pun tidak pernah. Saat ini, ketika ada berita seorang direktur utama PLN dijadikan tersangka dan ditahan karena kasus korupsi, orang sudah tidak heran. Seperti halnya, seorang oknum komisaris jenderal (komjen) polisi yang juga dijadikan tersangka, semuanya biasa saja di era pemberantasan korupsi yang kian bergairah ini.

Namun, ketika media memberitakan tiga di antara lima hakim yang mengadili kasus suap Probosutedjo melakukan walk out (WO -keluar sidang) sebagai bentuk protes terhadap ketua majelis hakimnya sendiri, itu baru berita besar (JP 4/5).

Gara-garanya, ketua majelis hakimnya tidak mau menghadirkan saksi Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan dalam persidangan Harini Wijoso, terdakwa kasus penyuapan yang disebut-sebut sasaran utamanya adalah Bagir Manan.

Padahal, menurut tiga hakim tindak pidana korupsi (tipikor) yang walk out itu, yakni Achmad Linoch, Dudu Duswara, dan I Made Hendra, permintaan jaksa penuntut umum agar Bagir Manan dihadirkan sebagai saksi patut dipertimbangkan.

Namun, upaya mereka untuk bermusyawarah dengan ketua majelis hakim ditolak sang ketua. Walk out akhirnya menjadi sebuah pilihan dan mengukir sejarah baru dalam dunia peradilan Indonesia.

Tidak ada penjelasan substantif mengapa sang ketua majelis menolak musyawarah itu serta menolak kehadiran Bagir Manan sebagai saksi. Mungkin, bisa dilihat dari anatomi background susunan majelis tipikor yang ada. Tiga hakim yang walk out itu semuanya adalah hakim ad-hoc di pengadilan tipikor. Mereka nonkarir, yakni hakim-hakim yang direkrut dari luar jajaran hakim. Ada yang dari dosen, notaris, dan praktisi hukum lainnya.

Sementara itu, sang Ketua Majelis Hakim Kresna Menon dan satu anggotanya, Sutiono, adalah hakim karir yang notabene anak buah Bagir Manan. Mungkinkah karena yang hendak diperiksa sebagai saksi adalah atasannya sendiri dan karena itu mereka sungkan? Atau lebih serius daripada itu, karena pertimbangan semangat korps (spirit de corps), mereka harus melindungi sang ketua MA?

Sang ketua majelis hakim sendiri yang tahu. Namun, sejarah kegagalan pemberantasan korupsi di negeri ini, dari era Orde Lama sampai Orde Baru, salah satu penyebabnya adalah kuatnya semangat korps untuk saling melindungi sesama korps itu.

Terus-menerus
Praktik mafia peradilan di negeri ini terjadi terus-menerus dan secara sistematis karena para oknum aparatnya yang tertangkap melakukan korupsi jarang yang ditindak secara hukum. Penyelesaian secara administratif sebagai bentuk impunitas terselubung lebih banyak dipilih.

Tentu saja, kebijakan seperti itu, selain tidak menimbulkan efek penjeraan dan penjerian yang kuat pada pelaku atau calon-calon pelaku mafia peradilan, juga menjadi faktor terulangnya kejahatan serupa.

Mestinya, di era pemberantasan korupsi yang demikian kuat semangatnya dan peradilan tipikor menjadi tumpuan akhirnya, semangat korps harus dihilangkan tuntas. Peradilan yang bebas dan imparsial harus ditegakkan seutuhnya sekalipun yang harus disidangkan ialah ketua lembaganya sendiri.

Apalagi secara normatif, majelis hakim berkewajiban mendengarkan keterangan saksi-saksi, baik yang ada di berita acara pemeriksaan maupun tidak (Pasal 160 ayat 1c KUHAP).

Bagir Manan adalah pihak yang disebut-sebut sebagai sasaran utama penyuapan dalam kasus Harini tersebut. Karena itu, dalam rangka menemukan kebenaran materiil, apakah nama Bagir Manan diperalat atau memang ada konspirasi antara terdakwa dan Bagir Manan, keterangan Bagir Manan adalah sebuah kemutlakan.

Peradilan pidana adalah proses peradilan yang hendak mencari kebenaran sesungguhnya, sebenar-benarnya sebatas kemampuan para aktor dalam persidangan itu. Bukan sekadar mencari kebenaran formal, sebagaimana dalam persidangan perdata, yang cukup dengan bukti-bukti formal saja, seperti akta-akta otentik.

Karena itu, langkah walk out para hakim ad-hoc tersebut adalah sebuah keharusan dalam perspektif mencari dan menemukan kebenaran materiil dalam proses persidangan kasus Harini itu.

Tindakan itu membuktikan mereka tidak mau terjebak dalam semangat korps yang mungkin diemban sang ketua majelis karena mereka harus tetap bersikap imparsial sebagaimana mestinya. Serta menjunjung tinggi prinsip persamaan di depan hukum (equality before at the law).

Selama ini, apabila antaranggota majelis hakim ada perbedaan pendapat terhadap vonis suatu kasus, biasanya hanya disebutkan dalam dissenting opinion (opini yang berbeda dari opini mayoritas majelis, yang menjadi dasar vonis). Baru kali ini, ketika masih dalam proses persidangan, perbedaan pendapat itu ditunjukkan, bahkan secara ekstrem.

Sangatlah disayangkan, sebagaimana diberitakan, apabila para penasihat hukum terdakwa (Harini) mempertimbangkan hendak melaporkan persoalan walk out para hakim itu ke Komisi Yudisial serta menilainya sebagai langkah contempt of court by the judge karena menghambat peradilan.

Secara substansial, mestinya para penasihat hukum, sebagai bagian langsung aparat penegak hukum, malah setuju terhadap langkah para hakim itu karena untuk kepentingan penegakan keadilan.

Komisi Yudisial pun, yang didirikan untuk menjaga dan mengawasi kehormatan hakim, saya kira akan menyetujui langkah itu karena memang tidak ada prosedur hukum yang dilanggar. Bahkan, langkah itu malah meningkatkan citra kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang harus dijaga imparsialitasnya.

Sayang, masih banyak oknum pengacara yang lebih mementingkan kepentingan pembelaan klien daripada penegakan keadilan. Sebagaimana sosiolog Roman Tamansic pernah bilang, bila tidak hati-hati, para pengacara akan lebih berorientasi sebagai pengusaha yang menjual jasa daripada penegak keadilan. Dua orientasi yang sangat berbeda itu tentu akan menghasilkan perilaku profesi yang berbeda pula. Bravo para hakim ad-hoc tipikor!

* Prija Djatmika, dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 6 Mei 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan