Hakim Uzur Reformasi MA tanpa Asa

Meski menimbulkan polemik di tengah masyarakat, melalui rapat paripurna pada 18 Desember 2008, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tetap mengesahkan Rancangan Undang-Undang Mahkamah Agung (RUU MA) menjadi undang-undang.

Salah satu isu krusial yang tetap disahkan dalam RUU MA -dan terus menjadi polemik- adalah penetapan usia pensiun hakim agung hingga 70 tahun. DPR beralasan, hakim agung pada usia 70 tahun masih fungsional atau semakin tua makin bijaksana. Di antara semua fraksi di DPR, hanya Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Persatuan Pembangunan yang tetap menolak penetapan usia pensiun 70 tahun.

Pengesahan RUU MA tidak saja mengecewakan, namun juga langkah mundur bagi upaya reformasi dan regenerasi di MA. Selain adanya isu tidak sedap soal politik uang (money politics), proses penyusunan RUU MA meninggalkan sejumlah catatan yang perlu dikritisi, khususnya berkaitan dengan prosedur penyusunan dan substansi RUU yang telah disepakati panitia kerja Komisi III DPR.

Secara prosedural, pembahasan RUU MA yang dilakukan DPR bersama pemerintah dilakukan secara tertutup dan tidak partisipatif. Publik tidak pernah mendapatkan informasi perihal jadwal pembahasan RUU MA yang akan dilakukan. Pada sisi lain, Komisi III DPR tidak pernah membuka ruang bagi publik untuk memberikan masukan terhadap substansi yang sedang dibahas.

Dengan tidak membuka ruang bagi publik untuk memberikan masukan secara substansi, DPR berpotensi melanggar asas keterbukaan sebagaimana diatur dalam pasal 5 huruf (g) UU No 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Dalam bagian penjelasan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan asas "keterbukaan" adalah proses pembentukan peraturan perundang-undangan, mulai perencanaan, persiapan, penyusunan, hingga pembahasan yang bersifat transparan dan terbuka bagi publik untuk menyampaikan pendapat.

Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam pembuatan peraturan perundang-undangan. Yang dilakukan DPR justru sebaliknya, menutup masukan dan pantauan dari masyarakat.

Secara substansi, ketentuan dalam RUU MA yang disepakati panja DPR dinilai masih kontroversial. Misalnya, penetapan usia pensiun hakim agung hingga 70 tahun, penetapan kriteria usia calon hakim agung tanpa ada batasan usia maksimal, penetapan calon hakim agung yang diusulkan Komisi Yudisial dan dipilih oleh DPR satu orang di antara tiga nama calon untuk setiap lowongan, penghilangan eksistensi hakim ad hoc pada tingkat kasasi, dan tidak dimasukkannnya uang perkara ke dalam penerimaan negara bukan pajak serta tidak bisa diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan.

Pertimbangan

Khusus terhadap putusan DPR yang menetapkan usia pensiun hakim agung 70 tahun, Indonesia Corruption Watch (ICW) dengan beberapa lembaga swadaya masyarakat lainnya sejak awal menolak dengan beberapa pertimbangan.

Pertama, angka harapan hidup dan tingkat kesehatan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Departemen Kesehatan 2003, angka harapan hidup orang Indonesia paling rendah se-ASEAN, yaitu 65 tahun. Pada 2006, angkanya naik menjadi 66,2 tahun. Artinya, di atas usia 66 tahun, kondisi orang Indonesia menurun karena dipengaruhi banyak hal.

Kedua, usia 70 tahun tergolong tidak produktif. Menurut BPS, usia penduduk dikelompokkan menjadi tiga. Yakni, belum produktif (0-14 tahun), produktif (15-65 tahun), dan tidak produktif 66 ke atas. Berdasar kategorisasi itu, jelas hakim agung dengan usia 70 tahun termasuk yang tidak produktif.

Dihubungkan dengan beban perkara MA saat ini, usia hakim agung yang terlalu tua tentu sangat menghambat percepatan reformasi MA dari pengurangan tumpukan perkara di MA yang masuk hampir mencapai 20 ribu perkara. Dengan beban kerja menyelesaikan tunggakan perkara di MA yang berat dan menyangkut nasib masyarakat luas, tentu usia pensiun 65-67 tahun pun sudah merupakan usia sangat maksimal.

Ketiga, perbandingan dengan profesi atau lembaga lainnya. Alasan penetapan usia pensiun 70 tahun tidak jelas dan lebih tinggi dibandingkan dengan sejumlah jabatan publik lainnya. Misalnya, untuk hakim Mahkamah Konstitusi, usia pensiun adalah 67 tahun. Usia pensiun polisi dan jaksa adalah 58-60 tahun, pegawai negeri sipil hanya 56 tahun.

Keempat, tidak fair membandingkan hakim agung di Indonesia dengan Amerika Serikat dan Inggris hanya melihat pada faktor usia, tanpa melihat kecakapan intelektual dan kematangan budaya masyarakat setempat serta kepecayaan publik terhadap institusi pengadilan. Dalam konteks Indonesia, keinginan memperpanjang usia pensiun hakim agung menjadi persoalan ketika realitas sosiologis tidak mendukung.

Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pengadilan di Indonesia sangat rendah. Pengadilan di Indonesia belum bersih dari korupsi dan intervensi politik atau kepentingan tertentu.

Selain itu, berdasar hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) 2008, peradilan Indonesia disebut sebagai peradilan terkorup di Asia. Hal tersebut terlihat dari 12 negara yang disurvei. Ternyata, Indonesia menduduki peringkat ke-12 dengan skor 8,26.

Kelima, menghambat regenerasi. Dalam kondisi semakin menurunnya kepercayaan publik terhadap institusi MA, yang perlu dilakukan adalah perombakan dan munculnya generasi baru hakim agung. Dengan cara itu, barangkali publik masih punya harapan akan hadirnya kekuasaan kehakiman yang bersih dan terbebas dari kooptasi kepentingan apa pun.

Dengan kata lain, hal tersebut akan menghilangkan hak hakim-hakim muda progresif untuk bisa menjadi hakim agung. Lebih dari itu, kebijakan tersebut sama dengan tetap membiarkan mafia peradilan dan segala kompleksitas masalah di MA terus berjalan, bahkan memperkuat dirinya.

Keenam, delegitimasi kewenangan Komisi Yudisial dalam menyeleksi calon hakim agung. Bila usia diperpanjang menjadi 70 tahun, tentu hingga 3-5 tahun mendatang Komisi Yudisial tidak menyeleksi hakim agung. Atau, pantas publik khawatir, rencana perpanjangan usia pensiun itu berada di balik upaya memperpanjang masa jabatan pimpinan MA mengingat beberapa kali pimpinan MA mencoba memperpanjang usia pensiun sendiri.

Penetapan usia pensiun hakim agung 70 tahun kenyataannya hanya menguntungkan sekelompok pihak, namun membahayakan kepentingan reformasi MA. Tanpa disadari, pengesahan RUU MA menjadikan institusi tertinggi itu sebagai panti jompo karena menampung hakim-hakim agung yang uzur. Jika benar demikian, reformasi di MA benar-benar tanpa harapan.

Emerson Yuntho, anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) di Jakarta

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 20 Desember 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan