Hakim Tolak Eksepsi Puteh, Penasihat Hukum Ajukan Banding

Majelis Hakim Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) terdakwa Abdullah Puteh menolak eksepsi atau keberatan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam (nonaktif) itu dan penasihat hukumnya atas dakwaan penuntut umum dalam sidang kasus pembelian helikopter M1-2 PLC Rostov, kemarin.

Pada sidang di Gedung Upindo, Jl HR Rasuna Said, Jakarta Selatan tersebut, majelis hakim pimpinan Krishna Menon ini juga menolak penangguhan penahanan terdakwa dengan alasan demi kelancaran persidangan.

Surat dakwaan penuntut umum sah, karena itu majelis hakim tetap melanjutkan persidangannya, jelas majelis hakim dalam putusannya.

Menurut majelis hakim, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berwenang melakukan pengadilan dan tuntutan terhadap perkara pidana Abdullah Puteh sepanjang belum ada keputusan dari Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan lain.

Selain itu, katanya, tidak ada pelanggaran terhadap hak asasi terdakwa berkaitan dengan ketidakjelasan surat dakwaan penuntut umum. Sebab, setelah penuntut umum membacakan dakwaannya, Puteh langsung menyatakan keberatan sehingga majelis hakim menganggap terdakwa telah mengerti isi dakwaan.

Penuntut umum memiliki kewenangan dalam menyusun surat dakwaan. Kewenangan penyidik dan penuntut KPK yang masih belum diberhentikan sementara dari instansi awal mereka, sah menurut hukum karena mereka telah diangkat KPK sebagai penyidik dan penuntut dalam KPK.

Mengenai kewenangan penyidikan bahwa KPK tidak berlaku surut sebagaimana keberatan penasihat hukum, menurut majelis hakim, harus ditolak karena dakwaan yang diajukan penuntut umum adalah berdasarkan UU No 31/1999 yang sudah ada sebelum terdakwa melakukan tindak pidana dalam perkara ini.

Banding
Menanggapi hal itu, Juan Felix Tampubolon, salah satu penasihat hukum Abdullah Puteh menilai putusan majelis hakim secara utuh mengambil pertimbangan penuntut umum. Juan Felix tetap berpendapat bahwa KPK tidak memiliki kewenangan melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap kliennya dalam kasus pembelian helikopter Pemprov NAD.

Jika dasar penyidikannya adalah pembayaran tanda keseriusan pembeli Rp750 juta ke pabrik Rustov, maka tempus delicti (waktu terjadinya tindak pidana) adalah 24 Agustus 2004. Dan, jika dasar penyidikan adalah kontrak antara Gubernur dengan PT Putra Pobiagan Mandiri yang sudah dibatalkan oleh panitia pengadaan barang, maka tempus delicti-nya 26 Juni 2002, kata Felix.

Selain itu, menurut dia, KPK juga tidak dapat bertindak berdasarkan Pasal 68 UU Nomor 30 Tahun 2002 yang menyebutkan semua tindakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan korupsi yang proses hukumnya belum selesai saat terbentuknya KPK, dapat diambil alih oleh komisi tersebut.

Sebab, lanjut dia, hal itu bertentangan dengan Pasal 28 huruf I ayat 1 perubahan kedua UUD 1945 yang menyebutkan hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut. Sebab, katanya, hal itu adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.

Dia juga menjelaskan, Pasal 68 UU No 30/2002 tidak dapat ditafsirkan secara vage normen oleh KPK. Karena wewenang KPK tersebut seharusnya ditafsirkan bahwa komisi ini melakukan pengambilalihan tindakan penyidikan dan penuntutan terhadap peristiwa tindak pidana korupsi pada 27 Desember 2002 atau sesudah tanggal itu hingga saat KPK terbentuk pada 27 Desember 2003.

Oleh karena itu, berdasarkan hukum maupun konstitusi, tindakan KPK melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap Puteh bertentangan dengan pasal 28 huruf I ayat 1, perubahan kedua UUD 1945 dan Pasal 72 UU No 30/2002 tentang KPK, kata Juan Felix.

Untuk itu, tim penasihat hukum Puteh sepakat mengajukan banding atas putusan sela tersebut. Sidang dilanjutkan pada Senin (17/1) dengan agenda mendengarkan keterangan saksi.(Sdk/J-3)

Sumber: Media Indonesia, 11 Januari 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan