Hakim Syarifuddin Tolak Penyidik KPK
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Syarifuddin Umar, Senin (13/6) menolak menjalani pemeriksaan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Alasannya, dia menganggap salah satu penyidik yang akan memeriksanya tidak adil.
”Saya menghentikan pemeriksaan karena ada gangguan yang sifatnya sangat memojokkan saya,” kata tersangka kasus suap kasus kepailitan PT Sky Camping Indonesia (SCI) itu di Gedung KPK, Jakarta, kemarin.
Syarifuddin menjelaskan, salah satu penyidik dinilai memihak kepada seorang kurator. Padahal, dia pernah mengusulkan agar kurator itu diganti.
Selain itu, Syarifuddin juga kembali membantah uang asing yang ditemukan penyidik KPK berkaitan dengan perkaranya. Dia menyatakan semuanya bakal terungkap di pengadilan. ”Saya akan buktikan. Saya punya hak untuk itu, makanya ikutilah persidangan,” tandasnya.
Sebagaimana diketahui, KPK menetapkan Syarifuddin dan kurator Puguh Wirawan sebagai tersangka dugaan suap dalam proses kepailitan perusahaan garmen, PT SCI. Dari tangan Syarifuddin, KPK menyita uang Rp 250 juta dan mata uang asing bernilai miliaran rupiah. Syarifuddin ditangkap di rumah dinasnya di Sunter, awal Juni lalu. KPK menjerat Syarifuddin dengan Pasal 12 a atau b atau c Pasal 6 ayat 2 atau Pasal 5 ayat 2 dan atau pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah menjadi UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kode Etik
Sementara itu, Komisi Yudisial (KY) tengah mengumpulkan bukti-bukti pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Hakim Syarifuddin Umar. Namun, tersangka kasus suap kasus kepailitan PT SCI itu menolak disebut melanggar kode etik.
”KY mungkin belum tahu menganggap saya melanggar kode etik didatangi oleh kurator (Puguh Wirawan). Itu bukan orang yang berperkara,” kata Syarifuddin.
Menurut dia, Puguh hanya ingin sekedar berkonsultasi masalah kepailitan perusahaan tersebut. Syarifuddin juga menyesalkan terlalu banyaknya pihak yang ikut berkomentar dalam kasus ini. ”Kenapa momen saya banyak digunakan orang berpendapat yang belum jelas, apakah mereka menguasai hukum kepailitan atau tidak,” katanya.
Berdasarkan kode etik dan perilaku hakim yang menjadi keputusan bersama antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung dalam surat bernomor 047/KMA/SKB/IV/2009, Syarifuddin memang terindikasi kuat melakukan pelanggaran kode etik. Fakta dia menerima uang senilai Rp 250 juta dari kurator Puguh Wirawan dapat merujuk kepada setidaknya dua pelanggaran kode etik.
Pertama, Syarifuddin bertemu dengan seorang kurator yang menangani kasus kepailitan PT SCI. Kasus tersebut tengah disidangkan dan ditangani oleh Syarifuddin. Berdasarkan tata kode etik, pada poin 5, disebutkan dengan tegas seorang hakim harus berintegritas tinggi. Di dalam poin itu disebutkan dengan gamblang, hakim harus menghindari hubungan, baik langsung maupun tidak langsung dengan advokat, penuntut dan pihak-pihak dalam suatu perkara tengah diperiksa oleh hakim yang bersangkutan.
Kedua, Syarifuddin menerima uang dari Puguh. Padahal, pada kode etik poin 7, seorang hakim diwajibkan untuk dapat menjunjung tinggi harga diri. (dtc-35)
Sumber: Suara Merdeka, 14 Juni 2011