Hakim Seumur Hidup Rentan Penyalahgunaan
Antikorupsi.org, Jakarta, 8 Desember 2016 – Koalisi Selamatkan Mahkamah Konstitusi (MK) menilai masa jabatan seumur hidup bagi hakim konstitusi membuka peluang terjadinya penyalahgunaan.
“Ini membuka celah terjadinya penyalahgunaan oleh Hakim MK,” ujar anggota Koalisi Selamatkan MK, Dadang Trisasongko, di Jakarta, Rabu, 30 November 2016.
Ketiadaan pembatasan masa jabatan akan menghilangkan proses pengawasan, sehingga berpotensi membuat hakim bertindak sewenang-wenang.
Dia menambahkan, pembatasan masa jabatan tetap harus diadakan, sehingga mekanisme koreksi tetap dapat dilakukan. “Dari perspektif korupsi, setiap kekuasaan harus dibatasi,” imbuhnya.
Pembatasan juga penting mengingat MK merupakan lembaga yang menguji konstitusionalitas produk hukum. Selain itu, MK dianggap dapat menentukan arah politik hukum nasional.
“Kalau tidak diisi oleh orang tidak baik dan itu tidak bisa dihentikan, UU kita seperti apa nanti? Apalagi MK juga bisa mengoreksi DPR,” ujarnya.
Dia mengatakan, badan peradilan di Indonesia belum dapat disamakan dengan negara lain. Hal itu dikarenakan perbedaan kualitas dan masih maraknya korupsi yang terjadi dalam badan peradilan di Indonesia. Karenanya, pembatasan masa jabatan hakim konstitusi menjadi tidak relevan.
Terakhir, dia mengatakan, permohonan untuk menguji UU nomor 24/2003 jo UU nomor 8/2011 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) semestinya ditolak oleh MK. Permohonan tersebut dinilainya dapat mengarah ke perpanjangan masa jabatan hakim MK.
“Jangan pernah kompromi dengan perpanjangan masa jabatan hakim seumur hidup,” pungkasnya.
Terdapat dua permohonan pengujian terhadap UU MK terkait masa jabatan Hakim Konstitusi. Pertama, permohonan pengujian UU MK yang meminta agar Hakim Konstitusi diberikan masa kerja sampai usia 70 tahun. Permohonan diajukan oleh hakim Binsar Gultom dan Lilik Mulyadi.
Kedua, permohonan yang meminta agar hakim konstitusi menghapus ketentuan mengenai masa jabatan hakim konstitusi. Permohonan diajukan oleh Center for Strategic Studies University of Indonesia (CSSUI).
Adapun pada, Senin, 28 November 2016 lalu Koalisi Selamatkan MK telah mengajukan permohonan sebagai pihak terkait dalam permohonan uji materiil Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 22 UU MK.
(Egi)