Hakim Kasus Gayus Akan Diperiksa di Bareskrim Polri

Hari Ini Polri Periksa Asnun dan Panitera PN Tangerang
Target Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri untuk menuntaskan penanganan mafia pajak dalam pekan ini memaksa penyidik Polri bekerja ekstrakeras. Setelah menyebut sindikat pajak melibatkan lima kelompok mafia, hari ini polisi akan memeriksa hakim dan panitera yang diduga tersangkut kasus Gayus Tambunan itu.

Muhtadi Asnun, mantan ketua Pengadilan Negeri Tangerang yang juga ketua majelis hakim kasus Gayus, akan diperiksa di Bareskrim Polri mulai pukul 10.00 WIB. "Kalau tidak ada penundaan dari penyidik, rencananya memang besok (Rabu, Red)," ujar Wakil Kepala Divisi Humas Mabes Polri Kombes Zainuri Lubis kemarin (27/4).

Selain Asnun, juga akan diperiksa Muhammad Ikat, panitera PN Tangerang. Ikat inilah yang mengantar Gayus ke rumah Asnun pada 11 Maret 2010 pukul 22.00 WIB. Paginya, 12 Maret 2010, Asnun mengetok palu bebas.

Kepada Komisi Yudisial, Asnun mengakui ada pemberian duit Rp 50 juta dari Gayus. Uang itu digunakan untuk menunaikan ibadah umrah ke Makkah. Meski hanya mengantar Gayus, Ikat juga berpotensi dikenai pidana.

Zainuri menjelaskan, materi pemeriksaan sepenuhnya ada pada penyidik. "Prosesnya dilakukan tim independen," kata mantan kepala Bagian Perencanaan Bareskrim Mabes Polri tersebut.

Asnun dan Ikat akan ditahan? Zainuri menjawab diplomatis. "Seluruhnya kan ada tahapan. Penyidik tentu punya dasar-dasar yang kuat kalaupun nanti diputuskan melakukan penahanan. Tapi, ini kan juga belum diperiksa. Jangan buru-buru," katanya.

Asnun sudah diperiksa tiga kali oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. MA menjatuhkan hukuman menonpalukan Asnun. Itu jabatannya sebagai ketua PN Tangerang juga harus dicabut. Sebelumnya, Asnun pernah memimpin sidang vonis terhadap terdakwa pembunuh Nasrudin Zulkarnaen dan menangani kasus Prita Mulyasari.

Asnun mengawali karirnya sebagai hakim pada 1988 di Pengadilan Negeri Tahuna, Manado, Sulawesi Utara. Berselang tiga tahun kemudian, kemudian dimutasi ke PN Limboto, Gorontalo. Pada 2000, Asnun menginjakkan kakinya di Pulau Jawa. Dia bertugas di PN Banyuwangi, Jawa Timur, hingga tahun 2003.

Selanjutnya, Asnun masuk ke ibu kota negara, DKI Jakarta, dengan bertugas di PN Jakarta Timur. Dia mendapat promosi menjadi wakil ketua PN saat bertugas di PN Tuban, Jawa Timur, pada 2003. Bertahan dua tahun, jabatan Asnun naik, menjadi ketua PN Tarakan, Kalimantan Timur.

Pada 2007, jabatan Asnun turun, menjadi wakil ketua PN Samarinda, Kalimantan Timur. Namun, posisi itu tidak berlangsung lama. Selang setahun, dia kembali menjabat ketua PN, di PN Tanjung Karang, Lampung. Dari sana, dia pindah ke PN Tangerang. Dia resmi bertugas dan menjabat ketua PN Tangerang, Banten, pada 30 Juli 2009.

Secara terpisah, salah satu anggota tim independen menuturkan, agenda pemeriksaan terhadap hakim dan panitera itu bagian dari penuntasan penanganan kasus. "Sebenarnya, alurnya sudah terang. Tapi, kita harus memenuhi syarat pembuatan berita acara pemeriksaan (BAP)," ujarnya kemarin.

Sumber itu menuturkan, Asnun terancam sanksi pidana karena menerima suap. "Karena dia pejabat negara dan menerima suap dalam kapasitasnya sebagai pejabat, maka juga akan disangkakan dengan pasal berlapis, yakni UU Tindak Pidana Korupsi," katanya.

UU 20 tahun 2001 pasal pasal 12 B ayat 1 berbunyi, setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya, dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.

Pada ayat 2 diatur pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat 1. Hukumannya berupa pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. Dendanya paling sedikit Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).

Dari pengakuan Gayus, muncul angka di luar Rp 50 juta. "Nilainya 650.000 dolar Singapura dan 40.000 dolar AS," kata sumber itu. Hal tersebut juga menjadi materi pertanyaan hari ini.

Kemungkinan penahanan, kata dia, terbuka lebar. "Kepentingan pemeriksaan ini tak hanya cepat, tapi juga akurat. Penahanan bisa saja dilakukan untuk mempermudah pemeriksaan," ujarnya.

Sementara itu, menanggapi pemeriksaan terhadap Asnun, Ketua Komisi Yudisial (KY) Busyro Muqoddas mendukung penuh upaya Mabes Polri. Sejatinya, kata dia, KY masih memiliki satu agenda lagi dengan Asnun. Yakni, pemeriksaan pendalaman yang dijadwalkan besok Kamis (29/4). Tujuannya mendalami apakah dua hakim anggota lainnya, Bambang Widyatmoko dan Haran Tarigan, terlibat dalam kongkalikong sidang kasus Gayus.

Namun, kata Busyro, apabila Mabes Polri memutuskan menahan Asnun, KY akan menyesuaikan diri dan siap berkoordinasi dengan polisi. ''Kalau polisi menahan Asnun, itu hak dan wewenang polisi yang harus dihormati. Mereka pasti memiliki alasan untuk melakukan itu,'' kata Busyro saat dihubungi di Jakarta kemarin (27/4).

Tetapi, imbuh Busyro, kalaupun benar-benar ditahan, pemeriksaan terhadap Asnun oleh KY tidak akan berakhir. KY tetap akan merampungkan agenda pemeriksaannya. Itu bisa dilakukan di tempat dan waktu yang disepakati oleh Mabes Polri dan KY. ''Itu soal teknis. Kami bisa memeriksa di Mabes Polri, di tahanan, atau di tempat lain atas izin Mabes Polri,'' katanya.

Setelah pengakuan menerima duit suap Rp 50 juta dari Gayus, KY memang terus mengejar keterangan Asnun. Saat ini, lembaga pengawas hakim itu membidik Bambang dan Haran, dua hakim anggota yang ikut memutus bebas Gayus. Apalagi KY yakin bahwa dua hakim itu berpotensi terlibat.

Sebab, untuk memutus bebas, Asnun tidak mungkin bermain sendiri. Paling tidak, dia harus menggandeng satu hakim anggota lagi untuk mengamankan putusan apabila terjadi dissenting opinion alias perbedaaan pendapat dalam musyawarah hakim.

Apalagi hasil pemeriksaan terhadap Bambang dan Haran menyebutkan bahwa putusan bebas itu adalah putusan bulat. Majelis hakim kompak membebaskan Gayus. Itu, kata Komisioner KY Soekotjo Soeparto, salah satu indikasi keterlibatan dua hakim tersebut. ''Asnun masih harus kami periksa lagi untuk dua orang itu. Apakah mereka ikut terlibat atau tidak. Selain itu, apa benar jumlah duit suapnya hanya Rp 50 juta,'' kata Soekotjo.

Di bagian lain, penyidikan kasus Gayus juga masih harus mengklarifikasi dua pengakuan yang berbeda antara Gayus dan Haposan. Terutama soal jumlah uang yang dibayarkan. Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Edward mengatakan, pengakuan Gayus berbeda nominal dengan Haposan. "Itu masih ditelusuri oleh penyidik," ujar Edward.

Sebelumnya, Haposan melalui pengacaranya, Otto Hasibuan, mengaku hanya menerima uang bayaran Rp 800 juta sebagai pengacara Gayus untuk menangani perkara korupsi, pencucian uang, dan penggelapan yang menjerat Gayus. "Untuk kasus ini, dia (Haposan) hanya menerima uang fee Rp 800 juta. Itu fee lawyer dari Gayus," ujar Otto. (rdl/aga/c1/iro)
Sumber: jawa Pos, 28 April 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan