Hakim Jujur, Memberi Keadilan
Polemik tentang boleh tidaknya seorang hakim menerima hadiah masih berlangsung sejak dikeluarkan Pedoman Perilaku Hakim (Code of Conduct) oleh Mahkamah Agung RI.
Pakar hukum, hakim, Komisi Yudisial, pengamat, LSM, tokoh masyarakat, akademisi, DPR, dan pers mengeluarkan pendapat dan bereaksi atas pedoman itu.
Adalah wajar jika seorang hakim, sebagai manusia, menerima hadiah dari teman, sahabat, keluarga, kenalan, relasi, dan lainnya asalkan bukan dari pihak-pihak yang sedang beperkara yang diperiksa hakim itu atau teman sejawat di pengadilan. Apa pun bentuknya, pemberian akan menggoyahkan dan mengganggu imparsialitis serta independensi hakim itu.
Pada tahun 1950-an, 1960-an, dan 1970-an adalah lazim jika hakim mengajar di universitas dan menerima honor. Apalagi saat itu integritas hakim dinilai baik oleh masyarakat sehingga tidak menimbulkan masalah. Tetapi, saat ini ketika praktik mafia peradilan marak, pedoman perilaku hakim yang membolehkan hakim menerima hadiah tidak bisa diterima masyarakat. Ini wajar mengingat kepercayaan masyarakat kepada lembaga pengadilan dan hakim sudah begitu rendah sehingga menimbulkan reaksi dan protes di mana-mana.
Saat itu hakim mengajar dan menerima honor tetapi tidak ada insiden apa pun yang mengganggu integritasnya. Tetapi, kini banyak keluhan tentang integritas hakim yang mengajar terganggu independensinya karena dipengaruhi para pihak yang beperkara atau advokat yang mencoba mendekati dan memengaruhi putusan hakim langsung atau tidak langsung melalui aktivitas sebagai dosen atau pengajar di universitas atau kursus pelatihan hukum atau advokat.
Seandainya pedoman itu muncul tahun 1950-an, 1960-an, atau 1970-an pasti tidak menyebabkan protes karena perilaku hakim saat itu terpuji dan jarang terdengar hakim disuap atau membuat putusan yang kontroversial. Lagi pula pedoman seperti itu tidak perlu diadakan mengingat hakim memegang teguh prinsip honore vivere, neminem laedere, suum cuiqui tribuere (hidup jujur, jangan merugikan orang lain, berikanlah keadilan).
Jarang hakim berbicara secara terbuka di forum terbuka, apalagi berbicara mengenai perkara yang diputusnya dan menekankan independensinya dalam membuat keputusan karena putusannya tidak kontroversial, adil, dan tidak perlu dilakukan pembelaan kepada masyarakat atas putusannya mengingat argumentasi dan dasar hukum putusannya kuat.
Ini berbeda dengan sekarang di mana banyak putusan kontroversial sehingga hakim sering harus mempertahankannya secara publik dan menonjolkan independensinya dan kewenangan.
Hal itu tidak perlu dilakukan karena secara hukum acara ada mekanisme banding, kasasi, dan bantahan. Jika putusan hakim sesuai rasa adil dan nilai yang ada di masyarakat, tidak akan ada reaksi dari masyarakat.
Kini yang lebih penting dan ditunggu masyarakat adalah bagaimana para hakim dapat menjaga wibawa dan otoritasnya secara wajar dan terhormat dengan membuat putusan yang adil sesuai nilai-nilai di masyarakat.
Sikap defensif bukan pertanda adanya upaya peningkatan wibawa, harkat, dan martabat hakim, sebaliknya sikap defensif akan memberi kesan buruk dan pertanda ada yang salah dalam lembaga yudikatif ini.
Frans H Winarta Ketua Umum YPHI (Yayasan Pengkajian Hukum Indonesia)
Tulisan ini disalin dari Kompas, 11 Juli 2006