Hakim Harus Tolak Peninjauan Kembali Buronan Korupsi

Status Joko S Tjandra akhirnya dinyatakan “Buron” oleh Kejaksaan setelah mangkir dari panggilan terakhir pada hari Jumat (26 Juni 2009) lalu. Meski melarikan diri, Joko S Tjandra terpidana kasus korupsi cessie Bank Bali senilai Rp546 miliar tetap mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) kepada Mahkamah Agung (MA) melalui Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Pemeriksaan administrative PK – sebelum diserahkan ke MA- dijadwalkan akan dilaksanakan pada hari Senin (29/6) di PN Jakarta Selatan. Berikut pernyataan sikap ICW.

HAKIM HARUS TOLAK PENINJAUAN KEMBALI BURONAN KORUPSI

Status Joko S Tjandra akhirnya dinyatakan “Buron” oleh Kejaksaan setelah mangkir dari panggilan terakhir pada hari Jumat (26 Juni 2009) lalu. Meski melarikan diri, Joko S Tjandra terpidana kasus korupsi cessie Bank Bali senilai Rp546 miliar tetap mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) kepada Mahkamah Agung (MA) melalui Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Pemeriksaan administrative PK – sebelum diserahkan ke MA- dijadwalkan akan dilaksanakan pada hari Senin (29/6) di PN Jakarta Selatan.

Terdapat beberapa hal penting untuk dicermati berkaitan dengan upaya PK khususnya yang diajukan oleh Joko, terpidana korupsi yang telah melarikan diri.

Pertama, Permohonan PK dalam perkara yang sama hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali. MA pada tanggal 12 Juni 2009 lalu telah mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) bernomor 10/Bua.6/Hs/SP/VI/2009 SEMA yang ditandatangani Ketua MA, Harifin A Tumpa pada initinya, menyebutkan bahwa permohonan PK dalam suatu perkara yang sama yang diajukan lebih dari satu kali baik dalam perkara perdata maupun pidana bertentangan dengan Undang Undang.

Oleh karena itu apabila suatu perkara diajukan permohonan PK yang kedua dan seterusnya, maka Ketua Pengadilan Tingkat Pertama agar mengeluarkan penetapan bahwa permohonan tersebut tidak dapat diterima. Dan berkas perkara tidak perlu dikirim ke Mahkamah Agung.

Dalam kasus korupsi skandal Bank Bali ini, Kejaksaan pada akhir 2008 lalu telah mengajukan  permohonan PK terhadap putusan kasasi MA yang membebaskan terdakwa Joko S Tjandra. Permohonan ini akhirnya dikabulkan oleh MA pada 11 Juni 2009 lalu dan memvonis Joko selama 2 tahun penjara. Dengan demikian permohonan PK atas PK (PK kedua) yang diajukan oleh Joko melalui kuasa hukumnya harus dinyatakan tidak dapat diterima.

Kedua, Permohonan PK dalam harus diajukan sendiri oleh pemohon. MA sejak tahun 1988 lalu telah memberikan petunjuk bagi Ketua Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri tentang penasehat hukum atau pengacara yang menerima kuasa dari terdakwa/terpidana"in absentia". Dalam SEMA Nomor 6 tahun 1988 yang ditandatangani Ali Said Ketua MA (waktu lalu) pada intinya menyebutkan bahwa supaya menolak atau tidak melayani Penasehat hukum atau Pengacara yang menerima kuasa dari terdakwa/terpidana yang tidak hadir (in absentia) tanpa kecuali. Artinya permohonan dan atau pemeriksaan dipersidangan harus dilakukan sendiri oleh pemohon/terdakwa.

Preseden terhadap hal ini pernah terjadi PN Bandung. Bandung, Permohonan PK yang diajukan oleh  Edwin Soedarmo, Direktur Utama PT Dirgantara Indonesia yang berstatus sebagai buron, dinyatakan gugur oleh majelis hakim yang melakukan pemeriksaan administratif terhadap memori PK yang diajukan. Majelis hakim mengacu pada SEMA Nomor 6/88 dengan menyatakan bahwa memori PK harus diajukan oleh pihak pemohon langsung, tidak boleh diwakili. Kehadiran kuasa hukum hanya sekadar untuk mendampingi. Jadi, karena secara formal sudah tidak memenuhi syarat, maka permohonan PK dinyatakan gugur.

Berdasarkan uraian diatas kami sampaikan hal sebagai berikut:

  1. Meminta majelis hakim PN Jakarta Selatan untuk menolak permohonan PK yang diajukan oleh Joko S Tjandra (koruptor kasus korupsi Bank Bali). UU Kekuasaan Kehakiman dan SEMA telah menjadi landasan yang kuat untuk penolakan PK oleh terpidana korupsi yang telah melarikan diri.
  2. Jika majelis hakim tetap menerima permohonan PK yang diajukan oleh boronan korupsi tersebut, maka kami akan melaporkan kepada MA dan Komisi Yudisial untuk dilakukan pemeriksaan terkait pelanggaran hukum maupun pedoman perilaku.  

Jakarta, 28 Juni 2009

Emerson Yuntho
Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan