Hak Rakyat Atas APBD

Dengan ada paradigma penyusunan APBD yang berbasis kinerja, keinginan masyarakat untuk mengetahui orientasi kebijakan pemerintah akan semakin mudah. Harapan untuk lebih meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara adil dan layak melalui berbagai kebijakan dan anggarannya akan semakin terwujud. Penyusunan APBD yang berbasis kinerja merupakan implementasi dari Kepmendagri No. 29 Tahun 2002, di mana dalam pasal 17 disebutkan bahwa untuk menyiapkan Rancangan APBD, Pemda bersama DPRD menyusun Arah dan Kebijakan Umum (AKU) APBD yang diawali dengan penjaringan aspirasi masyarakat dan Pemerintah Kabupaten/ Kota, berpedoman pada perencanaan daerah dan kebijakan nasional di bidang keuangan daerah. Proses selanjutnya adalah perumusan strategi dan prioritas (SP) dan penyusunan Rancangan Anggaran Satuan Kerja (RASK) atau anggaran dinas/badan/kantor lalu dihantarkan RAPBD oleh Kepala Daerah di dalam rapat paripurna DPRD, kemudian dibahas dalam rapat-rapat kerja Panitia Anggaran DPRD dan Tim Anggaran Eksekutif, dan terakhir ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPRD setelah memperoleh pendapat akhir dari fraksi-fraksi.

Dari gambaran proses tersebut, menunjukkan masih adanya peluang bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi dan tuntutannya untuk diprogramkan dan dianggarkan dalam APBD, serta adanya peluang yang luas bagi Pemda dan DPRD untuk mendengar, menghimpun dan memperjuangkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat untuk menjadi program-progaram yang mampu meningkatklan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat. Masalahnya terletak pada kepekaan dan kemampuannya untuk menangkap masalah, merumuskan kebijakan (program solusi), dan ketegasan untuk membuat skala prioritas yang sesuai kebutuhan dan kondisi.

Anggaran daerah hakikatnya merupakan salah satu alat untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan rakyat sesuai dengan tujuan otonomi daerah. Di dalam APBD tergambar arah dan tujuan pelayanan dan pembangunan dalam kurun satu tahun anggaran, yang menggambarkan apa yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam satu tahun. Atas dasar itulah, APBD harus disusun dengan mengacu pada norma dan prinsip anggaran : Transparan dan Akuntabel; Disiplin Anggaran (efisien, tepat guna, tepat waktu dan dapat dipertanggungjawabkan); Keadilan Anggaran (penggunaannya harus dialokasikan secara adil untuk kepentingan seluruh kelompok masyarakat); Efisien dan Efektif (harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan bagi masyarakat).

Untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang adil dibutuhkan pembangunan yang mantap dan berkesinambungan, yang dijamin pelaksanaannya oleh adanya arah dan kebijakan serta perencanaan program yang komprehensif, realistis dan berpihak kepada kepentingan rakyat. Dengan berkembangnya pelaksanaan demokrasi, diharapkan rakyat dapat berupaya secara optimal untuk memperbaiki kesejahteraannya melalui berbagai program pembangunan sesuai dengan kepentingan dan potensinya, dan pemerintah bertindak sebagai katalisator. Untuk itu, DPRD dan Eksekutif harus lebih dekat dengan rakyat.

Upaya memberdayakan masyarakat dan melawan kemiskinan harus terus dijadikan agenda penting dalam kegiatan pembangunan. Pembangunan dalam berbagai bidang harus dilaksanakan dengan spektrum kegiatan yang menyentuh pemenuhan kebutuhan masyarakat - khususnya pemenuhan kebutuhan fisiologis berupa : pangan, papan, kesehatan dan pendidikan sehingga segenap anggota masyarakat dapat mandiri, percaya diri, tidak bergantung atau mampu melepaskan dari belenggu struktural yang menyengsarakan, dan meningkat kesejahteraannya.

***

Dalam kerangka pemberdayaan dan kemandirian masyarakat, haruslah terjadi pergeseran fungsi birokrasi, yakni hanya sebatas sebagai fasilitator. Selayaknya birokrasi harus kembali ke hakikat fungsinya, yaitu sebagai public servant (pelayan masyarakat), bukan lagi sebagai pelaksana pembangunan. Artinya pemilihan program pembangunan harus betul-betul didasarkan pada kebutuhan masyarakat bukan atas dasar keinginan atau ketertarikan pejabat pengelolanya. Rakyat memegang hak dan wewenag yang tinggi untuk menentukan kebutuhan pembangunan, ikut terlibat secara aktif dalam pembangunan dan mengontrolnya serta memperoleh fasilitas dari pemerintah, melalui penggunaan hak dan kewajibannya secara proporsional.

Masyarakat harus diberdayakan untuk mampu mengontrol pelayanan yang diberikan oleh birokrasi. Dengan adanya kontrol dari masyarakat, maka Pemerintah (Eksekutif maupun DPRD) akan memiliki komitment yang lebih baik, lebih peduli dan lebih kreatif dalam memecahkan masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Dan guna menjamin bahwa apa yang direncanakan oleh Pemda sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi rakyat, maka dalam penyusunan strategi dan prioritas program serta RAPBD harus melibatkan masyarakat, sejak dari proses analisis masalah dan identifikasi kebutuhan masyarakat ke perumusan program.

Dalam AKU APBD DIY 2005 telah ditetapkan target PAD sebesar Rp 378,13 Miliar (meningkat 24,65 % atau sebesar Rp 74,78 Miliar dari PAD 2004), yang mayoritas masih bersumber dari pajak dan retribusi, namun telah ada kemajuan dalam proyeksi pendapatan usaha daerah. Kenaikan target tersebut dengan catatan tidak menambah beban pajak dan retribusi baru bagi rakyat.

Dalam perspektif Fikih Siyasah (fikih politik), hakikatnya PAD (melalui pajak dan retribusi) adalah ditujukan untuk keadilan distribusi keuangan negara, atau dalam bahasa agama disebut : Kaila takuna dulatan baina aghniyai minkum, atau agar keuangan itu tidak terkonsentrasi hanya di pada orang kaya, tetapi terwujud keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Atas dasar fikih tersebut, PAD DIY harus didistribusikan secara adil, dengan prioritas kepada peningkatan pelayanan dan kesejahteraan rakyat dengan mengacu kepada pembagian kelompok (asnaf) yang mempunyai hak untuk memperoleh advokasi dan bagian distribusi anggaran daerah secara tepat. Dengan mengacu pada fikih di atas, kiranya baik untuk kita renungkan dan kita coba bahwa dari keseluruhan target PAD 2005 (sebesar Rp 378,13 Miliar) dapat dialokasikan kepada 8 asnaf (bagian) di masyarakat secara proporsional, yakni : Pertama, untuk fakir dan miskin sebesar 25 % (senilai Rp 94,532 M). Fakir menunjuk pada orang yang secara ekonomi berada di lapisan paling bawah, sedang miskin menunjuk pada orang yang memiliki penghasilan tetapi belum cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok (fisiologis)nya. Dalam konteks masyarakat DIY sekarang, alokasi untuk kelompok tersebut dapat diorientasikan untuk pembangunan sarana dan prasarana pertanian, perikanan dan kelautan (nelayan) sebagai tumpuan kesejahteraan masyarakat, pembangunan pemukimam rakyat untuk tunawisma dan gelandangan, pembangunan rumah murah, pemberian modal untuk usaha kecil dan industri rumah tangga, pendidikan keterampilan dan bantuan penempatan kerja untuk mengatasi pengangguran dan putus sekolah, biaya hidup dan pendidikan untuk anak yatim dan piatu, dan sebagainya.

***

Kedua,

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan