Guru Korban Pilkada
Tuesday, 01 December 2015 - 00:00
Politisasi terhadap guru selalu terjadi dalam setiap penyelenggaraan pemilihan kepala daerah langsung. Mereka tidak hanya dipaksa untuk memilih, tapi juga memenangkan calon kepala daerah dengan menggunakan pengaruh dan kewenangannya terhadap peserta didik, orang tua murid, dan masyarakat.
Politisasi umumnya terjadi ketika inkumben mencalonkan kembali atau mengusung anggota keluarga untuk menggantikannya. Ada beberapa faktor yang menyebabkan guru menjadi sasaran utama politisasi. Pertama, jumlah mereka sangat banyak. Korps "Oemar Bakri" tersebut merupakan pegawai mayoritas di hampir semua daerah. Dalam pemilihan yang menggunakan sistem satu orang satu suara, guru menjadi kelompok yang terlalu penting untuk diabaikan oleh calon kepala daerah.
Kedua, guru menyebar hampir di semua wilayah. Mereka ada di mana-mana, perkotaan hingga pedalaman. Di sisi lain, mereka pun merupakan tokoh sekaligus unsur maju di banyak daerah pedesaan maupun pedalaman. Guru adalah sumber referensi terpercaya, tempat masyarakat mencari solusi atas segala macam masalah.
Ketiga, peran dan pengaruh penting guru bagi siswa. Di tingkat sekolah menengah atas, siswa adalah pemilih pemula yang bisa menjadi sumber suara bagi calon kepala daerah. Guru setiap hari berinteraksi dengan mereka dalam proses belajar-mengajar dan kegiatan sekolah lainnya. Mendapat dukungan guru berarti berpotensi juga didukung oleh para siswa.
Beragam modus digunakan inkumben agar bisa mendapat dukungan para guru, dari memberi janji, mengarahkan, memaksa, hingga mengintimidasi. Posisi inkumben sebagai pejabat pembina kepegawaian daerah memudahkan mereka menjalankan aksi curangnya tersebut.
Biasanya janji ditebar dalam berbagai forum konsolidasi guru yang makin sering diselenggarakan menjelang pemilihan. Isunya masih berkutat di sekitar masalah kesejahteraan dan jabatan, seperti akan menyediakan atau meningkatkan tunjangan daerah, memberi hadiah posisi struktural atau kepala sekolah, serta mengangkat guru-guru honorer menjadi pegawai negeri.
Cara lain adalah melalui instruksi berjenjang. Perintah memilih dan memenangkan calon inkumben dilakukan secara berantai sesuai dengan struktur. Diawali dari inkumben atau tim sukses kepada kepala dinas pendidikan, dilanjutkan ke kantor cabang dinas, atau langsung kepada kepala sekolah dan guru. Di beberapa daerah, cara-cara kasar kerap dipilih: dengan mengancam akan memutasikan atau mempersulit kenaikan pangkat bagi guru yang tidak bersedia mendukung inkumben.
Politisasi juga terjadi dengan menggunakan pengaruh dan kewenangan guru terhadap siswa, orang tua, dan masyarakat. Guru mendapat "tugas tambahan" sebagai juru kampanye atau tim pemenangan.
Dalam kasus pilkada Jakarta pada 2012, guru-guru SMA dan SMK dipaksa ikut mensosialisasi buku mengenai keberhasilan inkumben dan mengarahkan siswa untuk memilihnya. Bahkan guru diminta membuat soal dan tugas terstruktur untuk siswa dan melibatkan orang tua yang tujuannya memenangkan calon inkumben. Sedangkan dalam kasus pilkada Kabupaten Pandeglang pada 2010, kepala sekolah dan guru dipaksa menggunakan dana Bantuan Operasional Sekolah untuk membuat baliho dan spanduk yang berisi dukungan kepada inkumben.
Politisasi terhadap guru ini berdampak buruk bagi penyelenggaraan pilkada dan pendidikan. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada jelas ditegaskan bahwa kandidat kepala daerah dilarang menggunakan fasilitas serta anggaran pemerintah dan pemerintah daerah. Sanksinya berupa pidana penjara paling singkat 1 bulan atau paling lama 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp 6 juta.
Selain melanggar aturan main, mobilisasi guru ini telah mencederai prinsip pemilihan yang jujur dan adil. Kecurangan membuat pertarungan menjadi timpang. Melalui kekuasaannya atas guru, inkumben sudah beberapa langkah di depan untuk memenangi pemilihan.
Dampak bagi pendidikan lebih parah lagi. Politisasi menyebabkan kekacauan dalam promosi dan distribusi. Guru-guru yang dinilai berprestasi dalam menyukseskan kemenangan inkumben mendapat posisi kepala sekolah atau ditarik menduduki jabatan struktural. Sebaliknya, mereka yang membangkang akan kehilangan jam mengajar atau dibenamkan di daerah-daerah terpencil.
Hal tersebut tergambar dengan jelas dari hasil kajian ICW mengenai tata kelola guru. Berbagai permasalahan, seperti ketimpangan distribusi dan menumpuknya guru-guru honorer, antara lain disebabkan oleh politisasi saat pilkada. Tanpa memperhitungkan kebutuhan, kepala daerah memberi hadiah kepada guru yang dianggap mendukung dengan memindahkan mereka ke wilayah perkotaan. Selain itu, untuk mengakomodasi para pendukung, kepala daerah pun mengangkat mereka menjadi guru honorer.
Maka, harus ada upaya serius untuk melindungi para guru. Solusi cepat yang bisa dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi adalah mengirim surat edaran ke pemerintah daerah agar tidak memobilisasi guru. Penting juga membuka pos pengaduan yang memudahkan guru yang menjadi korban pilkada untuk melapor.
Para penyelenggara pemilu, seperti Badan Pengawas Pemilihan Umum, harus lebih proaktif. Walau menjadi korban, guru biasanya takut melapor. Mekanisme pengaduan tertutup bisa menjadi salah satu solusi.
Ade Irawan, Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 1 Desember 2015