Gugatan terhadap Soeharto Bergulir di Pengadilan

Pengacara Cendana mempersoalkan surat kuasa.

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kemarin mulai menggelar sidang gugatan perdata terhadap bekas Presiden RI Soeharto dan Yayasan Supersemar. Negara, yang diwakili Kejaksaan Agung, menuntut ganti rugi dari bekas penguasa Orde Baru itu dan yayasan yang dipimpinnya sebesar US$ 425 juta dan Rp 185 miliar. Dalam gugatan disebutkan Soeharto dan Supersemar melakukan perbuatan melawan hukum dan menyalahgunakan dana pemerintah.

Dalam persidangan kemarin hadir sembilan pengacara negara yang dipimpin Yoseph Suardi Sabda dari Kejaksaan Agung. Dari tim tergugat duduk empat pengacara, yaitu O.C. Kaligis, Juan Felix Tampubolon, Denny Kailimang, dan Mohammad Assegaf.

Tim pengacara Soeharto mempermasalahkan surat kuasa khusus presiden yang dipegang Kejaksaan Agung untuk menangani perkara ini. Menurut Kaligis, surat kuasa itu diberikan kepada Jaksa Agung, yang ketika itu dijabat Abdul Rahman Saleh, bukan kepada Hendarman Supandji. Seharusnya surat kuasa tidak berlaku lagi, katanya. Syarat formalnya saja sudah tidak sah.

Sebaliknya, menurut Yoseph, surat kuasa presiden itu adalah sah. Alasannya, presiden memberikan surat kuasa kepada Jaksa Agung, bukan kepada siapa yang menjabat Jaksa Agung. Siapa pun yang menjabat Jaksa Agung berhak menerima surat kuasa khusus tersebut, katanya. Juan Felix Tampubolon tetap memprotes. Surat kuasa sangat esensial dalam syarat formal gugatan, katanya.

Akhirnya Wahjono menawarkan proses mediasi di antara para pihak. Dia menetapkan salah satu hakim anggota, Sulthoni, sebagai mediator. Proses mediasi akan memakan waktu satu bulan. Wahjono menyebut keputusan ini sesuai dengan Perma Nomor 2 Tahun 2003. Jika tidak tercapai, langsung masuk ke pokok perkara, ujarnya.

Adapun pokok perkara, sesuai dengan gugatan, Yayasan Supersemar disebut mengutip dana dari badan usaha milik negara dan mengalirkan dana kepada yang tak berhak. Dalam gugatan disebutkan, beberapa badan usaha itu seharusnya tak boleh menggunakan dana untuk kepentingan di luar pendidikan anak-anak orang miskin. Beberapa bank yang dipersoalkan dalam kasus ini, antara lain, Bank Duta, yang menerima uang tiga kali berturut-turut pada 22, 25, dan 26 September 1990, masing-masing senilai US$ 125 juta, US$ 19 juta, dan US$ 275 juta. Kemudian PT Sempati Air, yang dalam rentang waktu 23 September 1989 sampai 17 November 1997 menerima Rp 13 miliar.

Selain itu, dalam gugatan disebutkan bahwa PT Kiani Kertas dan PT Kiani Sakti menerima Rp 150 juta pada 13 November 1995. Begitu juga PT Kalhold Utama, Essam Timber, dan PT Tanjung Redep Hutan Tanaman Industri, yang menerima Rp 12 miliar pada 1982-1993. Diuraikan juga Kelompok Usaha Kosgoro, Rp 10 miliar, pada 28 Desember 1993. SANDY INDRA PRATAMA | RINI KUSTIANI

Sumber: Koran Tempo, 10 Agustus 2007
-----------
Soeharto Permasalahkan Surat Kuasa SBY
Sidang Pertama Gugatan Kejaksaan atas Yayasan Supersemar

Sidang pertama gugatan perdata terhadap mantan Presiden Soeharto resmi digelar kemarin. Majelis hakim yang diketuai Wahyono menawarkan perdamaian alias mediasi kepada Kejaksaan Agung (Kejagung) yang mewakili negara dengan dua tergugat, kubu Soeharto dan pengurus Yayasan Supersemar.

Dalam menentukan mediator, kejaksaan maupun Soeharto bersepakat tidak melibatkan pihak di luar pengadilan. Majelis lantas menunjuk Sulthoni sebagai hakim mediator.

Usai sidang, Dachmer Munthe, ketua jaksa pengacara negara (JPN), dan O.C. Kaligis, pengacara Soeharto, bergegas menuju ruang kerja Sulthoni di lantai II gedung PN Jakarta Selatan. Mereka kembali menyepakati bahwa proses mediasi berlangsung satu bulan yang dimulai 23 Agustus.

Wahyono mengatakan, sesuai Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No 2 Tahun 2003, setiap persidangan perdata wajib melewati proses mediasi. Majelis bakal menunjuk mediator jika penggugat dan tergugat tidak memiliki mediator dari luar pengadilan. Semua hakim di PN Jakarta Selatan adalah mediator. Saya tetapkan menunjuk Sulthoni sebagai mediator. Kalau mediasinya tidak berhasil, nanti (perkara) diserahkan ke majelis, jelasnya.

Meski sepakat melalui mediasi, tim pengacara Soeharto menyoroti keabsahan surat kuasa khusus (SKK) yang dikeluarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada jaksa agung. SKK tersebut diberikan di era Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh. Padahal, sidang gugatan terjadi saat kejaksaan dipimpin Hendarman Supandji. Ini memunculkan konsekuensi logis, mengingat belum jelas apakah SKK tersebut dikeluarkan presiden sebagai kepala pemerintahan atau kepala negara, kata Kaligis.

Pengacara Yayasan Supersemar, Denny Kailimang, juga mempermasalahkan keabsahan SKK itu. Namun, dia tetap mengharapkan kasus tersebut melalui proses mediasi.

Manuver Kaligis ditanggapi JPN Yoseph Suardi Sabda. Yoseph menegaskan, Indonesia menerapkan sistem parlementer sehingga presiden dapat menjabat kepala negara dan kepala pemerintahan. Dengan demikian, SKK ini tidak perlu dipermasalahkan, ujarnya.

Menurut Yoseph, SKK presiden tidak ditujukan kepada Abdul Rahman Saleh secara pribadi, melainkan kepada jaksa agung. Siapa pun jaksa agungnya, SKK tersebut tetap sah. Dan, sebagai bukti atas nama kejaksaan, SKK tersebut tidak dikirimkan ke rumah Abdul Rahman Saleh, melainkan ke gedung Kejagung, jelasnya.

Di tempat terpisah, Hendarman Supandji menegaskan, SKK itu dikeluarkan atas nama jaksa agung, sesuai jabatannya. JPN tidak menyebut nama orangnya. SKK tersebut melekat pada jabatan sehingga tidak terpengaruh pergantian jaksa agung, kata Hendarman seusai menggelar inspeksi mendadak (sidak) di Kejati DKI kemarin. Hendarman memaklumi keberatan Kaligis yang memasukkannya dalam materi eksepsi dalam gugatan perdata.

Sebelumnya, kejaksaan menggugat perdata Soeharto (tergugat I) dan Yayasan Supersemar (tergugat II). Keduanya dinilai melakukan perbuatan melawan hukum sehingga merugikan negara USD 420 juta dan Rp 185 miliar. Dalam gugatannya, kejaksaan memasukkan nilai gugatan immaterial Rp 10 triliun.(agm)

Sumber: Jawa Pos, 10 Agustus 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan