Gubernur Suwarna Diadili
Kasus sejuta hektare pernah diperiksa kejaksaan.
Terdakwa Gubernur Kalimantan Timur Suwarna Abdul Fatah menjalani sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi kemarin. Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi, Wisnu Baroto, mengatakan Suwarna diajukan ke persidangan lantaran memberikan fasilitas kepada beberapa perusahaan untuk mengelola lahan tanpa jaminan bank. Perbuatan itu berpotensi merugikan keuangan negara, ujar Wisnu membacakan dakwaan kemarin.
Ini berawal dari pencanangan program pembukaan lahan sejuta hektare pada 1998. Sejak 1999 hingga 2002, menurut versi jaksa, Suwarna diduga memberikan rekomendasi hak pengelolaan lahan kepada 11 perusahaan yang sebenarnya dimiliki PT Surya Dumai Group. Rekomendasi itu dinilai melanggar keputusan Menteri Kehutanan tentang perizinan usaha perkebunan.
Menurut ketentuan itu, luas hak pengelolaan lahan sebuah perusahaan di satu provinsi tidak boleh lebih dari 20 ribu meter persegi. Tapi, kata jaksa, Suwarna memberikan rekomendasi kepada 11 anak perusahaan PT Surya Dumai dengan luas lebih dari 200 ribu meter persegi.
Jaksa Wisnu mengatakan pemberian fasilitas itu bisa dianggap sebagai keteledoran yang berakibat pada kerugian negara. Apalagi, kata jaksa, perusahaan yang menerima hak pengelolaan lahan tidak mengelolanya sesuai dengan peruntukan, yakni perkebunan sawit. Yang terjadi malah aksi pembalakan liar, ujarnya. Akibatnya, dari sekitar 697 ribu meter kubik kayu yang dinikmati anak perusahaan itu, negara diduga mengalami rugi Rp 346 miliar.
Setelah dakwaan dibacakan, ketua majelis hakim Gusrizal menanyakan apakah Suwarna paham dengan dakwaan jaksa. Suwarna mengatakan tidak mengerti. Tidak jelas, sulit dimengerti, dan kabur, ujar Suwarna. Alhasil, hakim meminta jaksa menjelaskan poin-poin penting dakwaan kepada Suwarna.
Otto Hasibuan, pengacara Suwarna, langsung mengajukan eksepsi (bantahan) atas dakwaan itu. Menurut Otto, kliennya korban dari sengketa kewenangan antarlembaga negara. Sebab, kata dia, kasus pembukaan lahan sejuta hektare pernah diperiksa Kejaksaan Agung pada 2004. Tapi penyidikan kasus itu dihentikan karena kurang bukti.
Otto heran Komisi Pemberantasan Korupsi berkeras membuka kembali kasus ini. Menurut dia, Komisi seakan-akan sedang menegaskan kedudukannya lebih tinggi daripada Kejaksaan Agung. Atau mungkin karena KPK sudah tidak mempercayai Kejaksaan Agung, ujarnya. RIKY FERDIANTO
Sumber: Koran Tempo, 10 November 2006