Gubernur Minta Kekhususan; Izin Presiden Harus Dicabut
Dalam rekomendasinya yang dikeluarkan dalam pertemuan Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia, pekan lalu di Pontianak, Kalimantan Barat, para gubernur meminta perlakuan khusus bagi mereka bila dipanggil sebagai saksi dalam sebuah perkara, khususnya perkara korupsi. Permintaan itu, Kamis (19/7), ditentang oleh berbagai pihak.
Salah satu bentuk perlakuan khusus itu adalah adanya izin dari presiden ketika aparat penegak hukum, seperti polisi, jaksa, atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), mengundang mereka untuk dimintai keterangan. Selain itu, perlakuan khusus dapat berupa investigasi oleh tim yang dibentuk presiden guna meneliti kasus yang diduga terkait dengan seorang gubernur.
Banyak kasus sebenarnya tidak harus sampai pada gubernur, cukup pada instansi teknis yang berkaitan. Selama ini banyak kasus yang terkait masalah teknis dan itu ditanyakan kepada gubernur. Akibatnya, gubernur itu tidak dapat menjawabnya. Nah, tim presiden itu meneliti kasus tersebut sehingga dapat menentukan hingga pada tingkat apa saksi dipanggil dan dimintai keterangan, kata Gubernur Kalimantan Selatan Teras Narang yang dihubungi Kamis di Jakarta.
Teras menjelaskan, perlakuan khusus itu tetap diminta dalam koridor hukum yang ada. Permohonan khusus tersebut diajukan agar roda pemerintahan daerah tidak terganggu serta tidak meruntuhkan kewibawaan gubernur sebagai pemimpin wilayah.
Selama ini, sering kali ketika seorang gubernur dimintai keterangan untuk sebuah kasus atau dipanggil sebagai saksi, seolah-seolah gubernur tersebut telah didudukkan sebagai tersangka atau yang bersalah. Akibatnya, psikopolitik masyarakat terganggu dan menurut Teras Narang hal itu berpengaruh negatif pada pembangunan daerah.
Di sisi lain, asas praduga tak bersalah harus tetap diperhatikan. Selain itu, yang penting adalah prinsip kehati-hatian, tuturnya.
Itu dikarenakan gubernur memiliki tanggung jawab besar untuk memacu pembangunan di wilayahnya. Mereka diminta mempercepat pembangunan agar penyerapan anggaran terlaksana. Runtuhnya wibawa seorang gubernur akibat dugaan-dugaan yang tidak berdasar dinilainya dapat mengganggu proses pembangunan.
Selain itu, akibat dugaan seperti itu, banyak kepala dinas di daerah enggan menjadi pemimpin proyek. Kondisi seperti itu, tutur Teras Narang, dapat mengganggu proses pembangunan di daerah.
Ditemui terpisah, Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan Tumpak Hatorangan Panggabean mengatakan, KPK tidak perlu meminta izin untuk memintai keterangan dari para gubernur karena sudah diatur dalam ketentuan mereka. Ia memahami kerisauan para gubernur tersebut.
Oleh karena itu, ia berharap agar setiap pemberitaan dilakukan dengan proporsional.
Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW), Adnan Topan Husodo, mengkritik permintaan asosiasi gubernur yang meminta diperlakukan khusus.
Menurut Adnan, keinginan tersebut membalik logika yang sudah ada selama ini. Izin presiden, kata dia, selama ini menjadi salah satu penghambat pemeriksaan kepada gubernur. Ini sudah dialami oleh kejaksaan dan kepolisian.
Melanggar
Sementara itu, seusai menghadiri sidang pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, kemarin, anggota Komisi III DPR, Akil Mochtar, menyatakan, ketentuan yang mewajibkan kejaksaan dan kepolisian untuk meminta izin presiden saat hendak memanggil kepala daerah yang tersangkut korupsi perlu dicabut. Ketentuan tersebut, menurut dia, justru melanggar asas kesamaan di muka hukum.
Itu bertentangan dengan konstitusi. Kalau mereka meminta perlakuan khusus dalam pemeriksaan, justru saya malah berpikir sebaliknya. Aturan mengenai izin tersebut harus dicabut. Kejaksaan sebagai mitra Komisi III selalu bermasalah dengan aturan izin tersebut, ungkap Akil.
Ia melanjutkan, kejaksaan dan kepolisian justru harus diberikan keleluasaan dalam memanggil dan meminta keterangan para kepala daerah, seperti yang dimiliki KPK. (JOS/VIN/ANA)
Sumber: Kompas, 20 Juli 2007