Gubernur Banten Dinyatakan Sebagai Terdakwa; Eks Pimpinan DPRD Dihukum Empat Tahun

Empat orang mantan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kab. Garut periode 1999-2004 yang terkait kasus penyalahgunaan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), divonis penjara masing-masing selama empat tahun ditambah denda masing-masing sebesar Rp 200 juta dan bila denda tersebut tak dapat dibayar maka akan diganti dengan pidana kurungan selama empat bulan.

Sementara itu, dari Serang diaporkan, Gubernur Banten H. Djoko Munandar dinyatakan sebagai terdakwa kasus dugaan korupsi dana perumahan dan uang lelah anggota DPRD senilai Rp 14 miliar.

Keempat terdakwa mantan pimpinan DRD Garut yang dinyatakan bersalah pada persidangan kemarin yakni Ir. Drs. Iyos Somantri, Drs. Dedi Suryadi, M.Si., Mahyar Suara, S.H., M.H., dan Encep Mulyana. Iyos Somantri kini tercatat sebagai anggota DPRD Prov. Jabar dari Partai Golkar, Dedi Suryadi kini menjabat sebagai Ketua DPRD Kab. Garut periode 2004-2009. Mahyar Suara kini tergabung sebagai Staf Ahli Bupati Garut bidang hukum. Hanya Encep Mulyana yang kini tak aktif lagi dalan dunia perpolitikan.

Vonis ini dijatuhkan dalam persidangan di ruang sidang utama Pengadilan Negeri (PN) Garut, Senin (6/6). Keempatnya dinyatakan bersalah menyalahgunakan APBD Kab. Garut tahun anggaran 2001-2003 sebesar Rp 6,6 miliar.

Majelis Hakim yang dipimpin langsung oleh Ketua PN Garut Imam Su'udi, S.H. serta dua anggotanya Irwan, S.H., M.H. dan Wasdi Permana, S.H., juga menghukum terdakwa untuk membayar sejumlah uang pengganti dengan jumlah berbeda. Secara rinci Imam menyebutkan, Iyos Somantri harus mengganti uang sejumlah Rp 253.905.000,00, Dedi Suryadi Rp 157.110.000,00, Mahyar Suara Rp 130.020.000,00 dan Encep Mulyana sebesar Rp 117.715.000,00. Bila para terdakwa tidak memiliki sejumlah uang pengganti tersebut maka mereka akan dipidana selama satu tahun.

Majelis hakim menyatakan bahwa terdakwa Iyos Somantri, Dedi Suryadi, Mahyar Suara, dan Encep Mulyana telah terbukti secara sah dan meyakinkan, bersalah melakukan tindakan korupsi bersama-sama dan berlanjut sebagaimana disebutkan dalam dakwaan primer jaksa penuntut umum, tutur Imam Su'udi dalam putusannya.

Hakim menilai para terdakwa telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dan diancam dalam pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo pasal 43 A ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 jo pasal 55 ayat (1) ke-1 jo pasal 64 ayat (1) KUHP sebagaimana yang tertuang dalam dakwaan primer JPU.

Belumlah cukup dengan keputusan itu, secara mengejutkan majelis hakim bahkan memerintahkan untuk segera menyita sejumlah harta milik terdakwa yang diduga didapat dari hasil korupsi selama mereka menjabat sebagai pimpinan DPRD Kab. Garut.

Sejumlah harta milik para terdakwa yang harus dirampas untuk negara tersebut yakni kendaraan roda empat Toyota Kijang bernopol Z 1036 DB, tanah seluas 392 m2 yang terletak di Jalan Raya Wanaraja atas nama Teli Noviasih dengan tahun perolehan 2003, tanah seluas 350 m2 di Kp. Tagog Desa Sukalayu Kec. Sukawening Kab. Garut hak milik Encep Mulyana tahun perolehan 2003, serta tanah dan kolam seluas 280 m2 di Kp. Cijungungkung, Desa Sadang, Kec. Karangpawitan milik Encep Mulyana tahun perolehan 2003.

Sebenarnya, vonis majelis hakim itu lebih rendah dibandingkan dengan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU), awal bulan lalu. Sebelumnya, tim JPU yang terdiri dari Ratiman S.H., M.H., Masril N. S.H., Neneng Rachmawati S.H., Rochiyat S.H., dan Sunardi S.H. menuntut keempat terdakwa dengan hukuman lima tahun penjara serta denda masing-masing Rp 200 juta. Jumlah uang yang harus dikembalikan ke kas daerah pun sebenarnya jauh lebih rendah dibandingkan dengan tuntutan JPU sebelumnya.

Tidak merasa bersalah
Majelis hakim membeberkan sejumlah pertimbangan dalam putusan mereka. Terdapat beberapa hal yang memberatkan terdakwa yakni perbuatan para terdakwa tidak sejalan dengan program pemerintah tentang pemberantasan tindak korupsi dan penyelenggaraan pemerintahan yang bebas dari kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) selain perbuatan terdakwa mengakibatkan kerugian keuangan bagi Pemkab Garut. Hakim bahkan menilai semua terdakwa tidak mengakui dan menyesali perbuatannya seperti terlihat selama persidangan.

Namun demikian, terdapat hal meringankan terdakwa yaitu terdakwa tidak pernah dihukum, terdakwa memiliki tanggungan keluarga, serta sebagai anggota DPRD Kab. Garut telah banyak berjasa untuk kepentingan pembangunan Kab. Garut. Hakim juga menggarisbawahi tentang pernyataan para terdakwa yang menyebutkan bahwa mereka telah merasa terhukum oleh masyarakat selama dua tahun penyidikan kasus yang lebih dikenal luas oleh masyarakat dengan nama APBD-gate itu.

Sejak perkara ini bergulir di PN Garut enam bulan lalu, terdapat puluhan saksi yang telah didengar di depan pengadilan. Kesaksian puluhan saksi ini rata-rata memberatkan keempat terdakwa. Sejumlah barang bukti berupa berkas-berkas selama penyidikan masih ditahan PN Garut untuk keperluan pengusutan perkara berikutnya. Seperti diketahui, Kejari Garut masih terus melakukan penyidikan terhadap sejumlah anggota panitia anggaran (pangar) DPRD Kab. Garut periode 1999-2004 dalam perkara yang sama.

Banding
Setelah Majelis hakim mengetuk palu putusannya, baik penasihat hukum terdakwa R. Sanyata S.H., dan Sjarif Hauda Djamin S.H. maupun JPU menyatakan pikir-pikir terhadap keputusan hakim tersebut dan hakim memberikan tenggang waktu 7 hari. Namun sesudah persidangan, Sanyata mengatakan bahwa pihaknya pasti akan mengajukan banding pada Pengadilan Tinggi. Ia mengaku memiliki sejumlah bukti yang kuat agar keempat kliennya tersebut dapat bebas dari jeratan hukum.

Kami optimis klien kami akan bebas setelah banding nanti karena sejumlah fakta yang kami punyai sangat kuat. Memang kalau dikaitkan dengan pasal yang dilanggar itu rasional, tapi unsur hukum yang dianggap terbukti sebetulnya kita masih memiliki sejumlah alasan kuat didukung dengan bukti. Kami harap di Pengadilan Tinggi nanti akan lebih adil, tutur Sanyata.

Terkejut
Ditemui terpisah, Iyos Somantri mengaku terkejut dengan putusan Majelis Hakim tersebut. Anggota DPRD Prov. Jabar itu mengaku tak habis pikir dengan keputusan hakim yang berbeda dengan pernyataan Mahkamah Agung (MA). Iyos menilai Peraturan Pemerintah (PP) nomor 110 tahun 2000 telah bertentangan dengan Undang-undang di atasnya, bahkan telah diuji materiil (judicial review) oleh MA.

Tentu saja kita akan naik banding! Kita hanya mengharapkan keadilan yang seadil-adilnya. Yakin kita akan bebas saat banding nanti dan berharap agar Pengadilan Tinggi dapat lebih bijak. Kita tahu sendiri semua permasalahan ini diawali oleh dampak politik dari pilkada lalu! tegas Iyos.

Ia yakin di Pengadilan Tinggi nanti pemeriksaan akan lebih komperhensif dan tidak akan diwarnai nuansa politis.

Djoko terdakwa
Sementara itu, Gubernur Banten, H Djoko Munandar, Senin (6/6) secara resmi statusnya berubah dari tersangka menjadi terdakwa dalam kasus dugaan korupsi dana perumahan (DP) dan uang lelah anggota DPRD Banten senilai Rp 14 miliar. Hal itu menyusul dilimpahkannya berkas kasus tersebut dari kejati ke Pengadilan Negeri (PN) Serang.

Pelimpahan berkas Gubernur Banten H Djoko Munandar ke pengadilan dilakukan Senin kemarin pukul 9.30 WIB. Jaksa penuntut umum yang diwakili Damly Purba, S.H. dan Mahnud, S.H., selain berkas perkara juga menyerahkan tersangka. Berkas perkara dengan No. 462 tersebut, diterima langsung Ketua PN Serang, Husni Rizal S.H., di ruang panitera. Namun, seusai penyerahan berkas, Gubernur Banten, H Djoko Munandar yang didampingi Sekretaris Daerah (Sekda) Banten, H Chaeron Muchsin, Asisten Sekwilda (Asda) I.H. Sulaeman Affandi, dan penasihat hukumnya dari Biro Hukum Pemprov Banten, Syamsul Muarif, S.H., langsung meninggalkan gedung PN Serang.

Menurut keterangan yang berhasil dihimpun Fajar Banten sesuai rencana Gubernur Banten, H Djoko Munandar berangkat ke Lampung. Yaitu untuk melakukan penandatanganan kerja sama antara Pemprov Banten dengan Lampung. Ketua PN Serang, Husni Rizal S.H., yang dihubungi mengatakan dengan dilimpahkannya berkas perkara tersangka Gubernur Banten, H Djoko Munanadar dalam kasus korupsi DP, secara otomatis status hukumnya secara resmi berubah menjadi terdakwa. Dengan demikian, kewenangan penahanan atau tidak terhadap gubernur ada pada keputusan ketua PN.

Namun, Husni Rizal menilai, saat ini belum merasa perlu untuk menahan terdakwa Gubernur Banten. Alasannya, pihaknya masih mempelajari berkas perkara yang baru diterimanya. Selain itu, pertimbangan lainnya, terdakwa masih dinilai kooperatif. Tapi, jika dipandang perlu, besok atau lusa bisa kami tahan, katanya. Sementara itu, menjawab pertanyaan wartawan tentang jadwal sidang perkara Djoko Munandar, Ketua PN Serang, mengaku belum bisa menetapkan.

Sebab, sekarang ini pihaknya baru akan menunjuk majelis hakim yang akan menyidangkan perkaranya. Ya, paling lambat akhir bulan ini persidangan sudah bisa digelar, kata Husni.

Sementara tentang status jabatannya, yang harus nonaktif setelah jadi terdakwa, Husni Rizal, menolak berkomentar. Untuk mengajukan nonaktif gubernur yang berhak Menteri Dalam Negeri (Mendagri).

Seperti diketahui, sesuai Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 Tahun 2005 pasal 120, kepala daerah dan atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara oleh presiden tanpa melalui usulan DPRD, dengan alasan yang bersangkutan didakwa melakukan tindak pidana korupsi, terorisme dan makar, atau tindak pidana keamanan negara. Sedangkan ayat 2, proses pemberhentian sementara dilakukan apabila berkas perkara dakwaan telah dilimpahkan ke pengadilan. Sementara ayat 3 mengutarakan, presiden memberhentikan sementara melalui (Mendagri).(A-124/

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan