Governance Reform, Sebuah Kenyataan
Skeptisisme Triyono Lukmantoro (Kompas, 18/7) yang menyatakan good governance merupakan utopia belaka perlu diberi catatan khusus. Jika diletakkan dalam konteks pemahaman perjalanan panjang menuju tata kelola pemerintahan yang baik, good governance bukan utopia yang mustahil dijangkau, tetapi conditio sine qua non menuju kehidupan yang lebih demokratis dan bermartabat.
Sejauh ini, governance sering dikonotasikan perangai birokrasi an sich. Padahal, good governance merupakan sejumlah nilai, kebijakan, dan institusi untuk menata ekonomi, politik, dan sosial melalui kerja sama pemerintah, masyarakat sipil, dan dunia usaha. Di negeri kita, wacana good governance mulai berkembang bersamaan dengan arus reformasi 1998-an. Karena itu dapat dimengerti muncul pemahaman beragam.
Keniscayaan governance reform
Krisis multidimensi yang kita alami bukanlah kutukan Tuhan dan ulah rakyat kebanyakan. Fungsi institusi negara diselewengkan dari melayani rakyat menjadi melanggengkan kekuasaan elite. Pelayanan menjadi mandul dan organisasi tambem, besar tetapi tidak efektif.
Dibandingkan dengan organisasi mana pun, organisasi negara paling efektif melayani kepentingan rakyat banyak akibat aneka sumber yang dikelolanya. Namun, fungsi itu tidak berjalan di Indonesia karena institusi negara direduksi untuk kepentingan penguasa. Kemewahan dinikmati segelintir golongan: penguasa, pengusaha yang dekat dengan penguasa, dan kelompok-kelompok strategis pada pusat kekuasaan.
Penguasa sebelumnya tidak punya kemauan kuat menindak penyeleweng karena takut, akhirnya akan berujung pada pengaruh kedudukannya sendiri. Bahkan garda terdepan penegak hukum, seperti polisi, jaksa, dan hakim, justru ikut berperan aktif dalam berbagai penyalahgunaan kewenangan. Karena itu, dibutuhkan governance reform dalam semua matra kehidupan masyarakat.
Pada masa Orde Baru, kekuasaan politik amat sentralistis dan kekuatan masyarakat sipil direduksi. Padahal, masyarakat sipil yang kuat dibutuhkan guna mengontrol pemerintahan agar berpihak pada rakyat. Jadi, good governance harus dijalankan bukan sebatas pengambilan keputusan, tetapi keterlibatan hulu-hilir; dari awal hingga akhir. Deretan aktivitas ini harus menjadi agenda utama bangsa untuk menciptakan tata pemerintahan yang baik, berpihak kepada kelompok marjinal, termasuk perempuan.
Kekuatan Rakyat yang terbangun sejak reformasi menjadi acuan pemerintahan SBY, dan diyakini sebagai amunisi utama yang mengantarkan SBY ke kursi presiden. Saat ini pengungkapan kasus korupsi menjadi amat penting karena masyarakat memiliki keberanian untuk kritis terhadap kebijakan pemerintah. Desakan untuk mengungkap pejabat publik yang terlibat dalam korupsi telah menjadi agenda masyarakat luas. Artinya, momentum memperjuangkan good governance telah memperlihatkan hasil yang sulit dibayangkan sebelumnya.
Aneka capaian dalam reformasi tata pemerintahan kian memupuk kesadaran masyarakat untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Tumbuhnya keberanian masyarakat menuntut hak, mendesak birokrasi menjadi lebih efektif. Jadi, keniscayaan governance reform sejalan dengan pembentukan daulat rakyat.
Membangun mitra
Sulit dibayangkan, sederet masalah yang mendera bangsa ini hanya akan diselesaikan oleh pemerintah karena pemerintah merupakan bagian dari masalah, bukan bagian dari pemecahan masalah. Pemerintah harus menyadari, kita hanya akan dapat membangun bangsa bermartabat apabila dibangun kemitraan setara dengan pemerintah, pengusaha, dan warga masyarakat untuk membangun bangsa bersama rakyat dan pengusaha.
Determinan tata kelola pemerintahan yang baik, yaitu pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha, perlu bekerja sinergis menguatkan fungsi kontrol dalam menghadapi sederet kendala ketidakrelaan pejabat-pejabat yang dulunya menikmati segala bentuk privilege, institusi yang belum reformatif, rakyat apatis yang didera kemiskinan, dan jumlah pengangguran yang meningkat.
Meski langkah reformasi amat berat, tetapi aparat yang bersih dan jujur, aktivis yang membumi, akademisi yang masih bernurani, yang peduli terhadap kebangkrutan bangsa telah menempuh langkah-langkah nyata sesuai dengan ranah masing-masing. Langkah bersama semacam inilah yang perlu terus digalang sehingga capaian yang ada tidak mati suri.
Dalam hal ini, partnership sengaja didesain untuk memfasilitasi (baik langsung maupun tidak langsung) usaha yang berujung pada pembentukan good governance. Misalnya, fasilitasi yang dilakukan dalam pengungkapan kasus korupsi di daerah, pengungkapan awal penyelewengan di KPU, dukungan langsung kepada KPK, prakarsa berbagai komisi reformasi di kepolisian dan kejaksaan, sponsor transparansi keuangan daerah. Tak kalah penting, kemitraan antikorupsi di antara dua organisasi keagamaan terbesar di negeri ini, NU dan Muhammadiyah.
Semua upaya dan hasil yang telah dicapai itu hendaknya jangan dimentahkan dengan menganggap good governace sebagai utopia. Lilin integritas telah dinyalakan dan menyala di mana-mana. Karena itu, tidak pada tempatnya untuk skeptis. Semuanya meminta peran serta kita yang lebih efektif dan konkret.
HS Dillon Direktur Eksekutif Partnership for Governance Reform in Indonesia
Tulisan ini diambil dari Kompas, 27 Juli 2005