Golkar bantah Wiranto didanai konglomerat hitam [14/06/04]

DPP Partai Golkar membantah kabar bahwa calon presiden dari Partai Golkar, Jenderal TNI (Pur) Wiranto, memakai dana sumbangan para konglomerat hitam Indonesia --termasuk yang kini menetap di Singapura seperti Syamsul Nursalim-- untuk berkampanye dan memenangkan pemilihan presiden-wakil (pilpres). Kalau ada kabar demikian, Golkar menilainya sebagai fitnah.

Itu fitnah, dan sengaja dilontarkan untuk menjatuhkan popularitas Wiranto. Karena, selama ini kami memakai dana sendiri, tegas Slamet Effendy Yusuf, Ketua DPP Partai Golkar yang juga Ketua Tim Kampanye Wiranto-Salahuddin Wahid, menjawab pers di Kantor DPP Partai Golkar, Sabtu (12/6).

Slamet menguraikan, untuk kampanye Wiranto-Salahuddin, dari kas Partai Golkar ada dana sebesar Rp 15 miliar, dan dari Wiranto sekitar 30 milar. Selebihnya ada dari sumbangan masyarakat yang kami kini sedang hitung jumlahnya, tutur Slamet seraya menyatakan asal-usul dana kampanye Wiranto, paling lambat pertengahan pekan depan sudah diserahkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Kabar konglomerat hitam membiayai kampanye capres-cawapres sudah diberitakan Surya awal bulan lalu. Direktur Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Hendardi, misalnya, memperkirakan para konglomerat hitam mengincar para capres agar dapat memasok dana miliaran rupiah untuk kampanye. Tujuannya, siapa pun yang memenangkan pemilihan presiden (pilpres) tidak akan mengutak-utik mereka. (Surya, 4/6).

Secara terpisah, Wakil Koordinator Indonesia Coruption Watch (ICW), Luki Jani, yang diwawancara Sabtu (12/6) malam, berpendapat bahwa para konglomerat hitam bermain di pilpres dengan ikut membiayai kampanye capres-cawapres. Hanya, untuk membuktikan hal ini, aku Luki, memang sulit.

Kalau ada pihak yang membantah --seperti Slamet Effendy Yusuf-- Luki Jani mengaku tidak heran. Pasti semua membantah. Kalau ada yang mengaku, pasti langsung drop, dong, image pasangan yang sudah mereka bangun dengan susah payah. Sama kalau kita tanya apakah melakukan money politics, pasti dijawab tidak, tegasnya.

Luki Jani mengatakan, para konglomerat hitam pasti akan berupaya memberikan donasi bagi aktivitas politik, terutama dalam kampanye pilpres sekarang. Karena, katanya, hal ini merupakan satu kesempatan bagi mereka untuk mencari proteksi politik.

Juga, untuk kemudahan-kemudahan dalam bisnis nanti, baik yang berupa kebijakan-kebijakan pemerintah yang menguntungkan mereka, memberikan regulasi yang bisa mengatur semi monopoli, paparnya sambil menambahkan, praktik seperti itu tidak hanya terjadi di Indonesia tapi juga di negara-negara lain.

Bagaimana membuktikan adanya permainan para konglomerat hitam? Menurut Luki Jani, sulit membuktikan. Maka kita harus minta para kandidat untuk transparan, harus bersedia memberikan laporan ke publik per minggu, misalnya, kata Luki.

Nah, dari situ kita bisa tahu siapa saja yang menyumbang, dan berapa besar sumbangannya, sehingga bisa kita bandingkan dengan pengeluaran mereka. Kalau ada perbedaan antara pemasukan dan pengeluaran, kita bisa indikasikan ada 'tim sukses bayangan' atau 'kasir-kasir bayangan' yang membeayai aktivitas selama masa kampanye, lanjutnya.

Bukan Wiranto

Slamet Effendy mengakui selama ini mendengar dari berbagai kalangan kalau ada calon presiden yang mendapatkan dana dari sejumlah konglomerat hitam. Tetapi yang pasti bukan Wiranto, sebab konglomerat hitam tidak mau melirik Wiranto. Karena, menurut mereka, peluang Wiranto kecil, karena dililit sejumlah masalah HAM. Itu kata sejumlah pengamat yang sering didengar oleh konglomerat hitam itu, sambung Slamet.

Slamet juga mengakui kalau saat ini partainya sedang mengalami kesulitan karena dana yang bisa dikucurkan ke daerah-daerah atau ke DPD-DPD untuk kepentingan pemenangan pasangan capres dan cawapres Partai Golkar sangat sedikit dan dinilai DPD sangat tidak cukup.

Kalau tidak percaya, silahkan rekan-rekan wartawan melakukan investigasi ke daerah. Tanya atau cari tahu, apakah kader kami kelebihan dana atau kurang, puas atau mengeluh. Apakah kampanye capres kami sebergairah atau semeriah kampanye pemilu legislatif atau tidak. Cukup gampang kan? tantang Slamet.

Tak beda dengan Slamet, Ryaas Rasyid --Presiden DPP Partai PDK yang juga pendukung Wiranto-- menegaskan Wiranto tidak mungkin memakai dana kampanye konglomerat hitam. Sebab, katanya, Wiranto bukan seorang ambisius yang memiliki target tertentu jika menjadi presiden. Kalau Wiranto ambisius, tuturnya, Wiranto bisa mendirikan partai lalu mencalonkan diri lewat partai yang didirikannya.

Tetapi, Wiranto tidak melakukan itu. Ia memilih jalur demokrasi untuk membangun demokrasi lewat Partai Golkar dengan ikut konvensi. Logikanya, mengapa SBY (Susilo Bambang Yudhoyono, red) bisa mendirikan partai (Partai Demokrat, red) Wiranto tidak bisa padahal kekayaan pribadi Wiranto jauh lebih banyak ketimbang kekayaan pribadi SBY. tambah Ryaas Rasyid .

Hal itu, lanjut Ryaas, membuktikan kalau Wiranto tidak ambisius karena tidak memiliki target tertentu jika menjadi presiden kecuali mengabdi untuk bangsa dan negara. Bukti untuk itu, sambungnya, Wiranto telah bersumpah hanya mau menjadi presiden satu periode saja jika terpilih nanti.

Jadi, tambah Ryaas lagi, sangat jelas isu bahwa Wiranto memakai dana kampanye hasil sumbangan konglomerat hitam hanya fitnah dan mungkin saja dilakukan oleh mereka yang memakai dana kampanye dari konglomerat hitam. Semacam lempar batu sembunyi tangan, begitulah, kata Ryaas.

Sedangkan salah seorang anggota tim sukses Wiranto, Andi Fachri Laluasa, kepada wartawan mengatakan masyarakat bisa mengukur kemampuan dana kampanye Wiranto-Salahuddin dengan capres dan cawapres lain. Caranya, kata Andi Fachri, masyarakat cukup melihat atau mengamati iklan dan perjalanan para capres tersebut, kemudian membandingkan.

Ingin mengukur dana kampanye capres, gampang. Cukup lihat melihat kekayaan pribadi sang capres lalu bandingkan dengan mobilitas dan aktifitas kampanyenya. Seperti, lihat jumlah iklannya di media massa dan jam terbangnya ke wilayah Indonesia untuk melakukan kampanye, kata Fachri. (war/jun)

Sumber: Surya, 14 Juni 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan