Gizi Buruk, Kemiskinan, dan KKN

Munculnya kembali kasus gizi buruk di Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur seperti diberitakan Kompas (26 dan 27/5) dan media masa lainnya mengingatkan saya akan berita Kompas, Kasus Bayi HO Pertanda Beratnya Kemiskinan, pada saat krisis ekonomi tahun 1998 (Kompas, 13/10/1998). Berita yang sama waktu itu juga dimuat dalam harian Merdeka dengan judul Fungsikan Kembali Posyandu (Merdeka, 13/10/1998). Tampaknya masalah kurang gizi di negeri tercinta ini masih tersembunyikan di balik hiruk-pikuknya pesta demokrasi, transformasi, dan otonomi, serta terakhir pemilihan kepala daerah.

PADAHAL, di balik hiruk-pikuk itu, sejak krisis berbagai program dan proyek telah digelar pemerintah dengan anggaran ratusan miliar rupiah bahkan mungkin triliun dengan berbagai nama menarik, di antaranya Program Jaring Pengaman Sosial (JPS), Dana Kompensasi BBM, Bantuan Pangan Raskin (untuk keluarga), dan Makanan Tambahan Balita Kurang Gizi (MPASI). Semua atas nama dan demi orang dan anak balita miskin. Karena label miskin inilah barangkali program-program itu relatif mudah mendapat persetujuan anggaran oleh pemerintah dan DPR atau DPRD meskipun belum ada bukti efektif tidaknya program dan proyek tersebut.

Menarik menyimak tajuk Kompas, Mengapa Ada Kasus Busung Lapar di NTB (Kompas, 27/5). Antara lain dikutip pemikiran Prof Mubyarto (almarhum) bahwa masih banyaknya warga bangsa yang tidak berdaya.

Saya mau menambahkan bahwa sebagian besar (75 persen) dari yang tidak berdaya adalah petani miskin (Bustanul Arifin, Kompas, 23/5) yang di NTB menghasilkan surplus beras. Hal menarik lain dari tajuk Kompas tersebut adalah masih adanya sikap sementara pejabat daerah yang menyangkal adanya kelaparan di wilayahnya. Sikap ini tampaknya turun-temurun dari sejak awal zaman Orde Baru. Pada masa itu kata kelaparan atau dihaluskan menjadi rawan pangan ditabukan dan berisiko politik atau jabatan jika disiarkan.

Mungkin di antara pembaca masih ada yang ingat mengenai kasus dokter puskesmas di suatu desa miskin yang dimutasikan oleh atasannya gara-gara memberikan data kelaparan kepada pers. Ketabuan ini karena adanya kaitan antara kelaparan, gizi buruk, dan kemiskinan. Bicara gizi buruk berarti bicara soal kemiskinan, suatu istilah yang pada waktu itu masih dianggap tabu.

Arti gizi buruk
Gizi buruk adalah suatu istilah teknis yang umumnya dipakai oleh kalangan gizi, kesehatan, dan kedokteran. Dunia pers lebih suka pakai istilah busung lapar meskipun anak yang gizi buruk belum tentu kelaparan. Yang tepat sebenarnya kelaparan tidak kentara (hidden hunger) karena mereka hanya kenyang karbohidrat, tetap lapar banyak zat gizi lainnya.

Gizi buruk adalah bentuk terparah (akut) dari proses terjadinya kekurangan gizi. Anak balita (bawah lima tahun) sehat atau kurang gizi dapat diketahui dari pertambahan berat badannya tiap bulan sampai usia minimal dua tahun (baduta). Apabila pertambahan berat badan sesuai dengan pertambahan umur menurut suatu standar Organisasi Kesehatan Dunia, dia bergizi baik. Kalau sedikit di bawah standar disebut bergizi kurang yang bersifat kronis Apabila jauh di bawah standar dikatakan bergizi buruk. Jadi, istilah gizi buruk adalah salah satu bentuk kekurangan gizi tingkat berat atau akut.

Anak yang bergizi kurang, berarti kekurangan gizi pada tingkat ringan atau sedang, belum menunjukkan gejala sakit. Dia seperti anak-anak lain, masih bermain dan sebagainya, tetapi jika diamati dengan saksama badannya mulai kurus.

Dari sekitar 5 juta anak balita (27,5 persen) yang kekurangan gizi, lebih kurang 3,6 juta anak (19,2 persen) dalam tingkat gizi kurang, dan 1,5 juta anak gizi buruk (8,3 persen) (Depkes, 2004 mengutip BPS 2003).

Meskipun jumlahnya relatif lebih sedikit, kasus gizi buruk lebih cepat menarik perhatian media masa karena dapat dipotret dan kelihatan nyata penderitaan anak: sakit, kurus, bengkak (busung), dan lemah. Mereka mudah dikenal dan dihitung karena dibawa ke rumah sakit. Keluarga dan masyarakat tidak dapat berbuat banyak bagi anak yang gizi buruk.

Berbeda dengan anak yang gizi kurang, meskipun jumlahnya lebih banyak, mereka kurang mendapat perhatian karena tidak mudah diketahui umum. Padahal, kelompok anak ini adalah kandidat gizi buruk apabila tidak dilakukan upaya pencegahan. Banyak cara yang dapat dilakukan oleh orangtua dan masyarakat untuk menjaga agar anak yang sehat dan bergizi kurang terhindar dari gizi buruk.

Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan memantau pertambahan berat badan anak (terutama baduta) dengan kartu menuju sehat (KMS) di posyandu, dengan syarat bahwa posyandunya masih melakukan fungsi utamanya, yakni melakukan pemantauan berat badan anak dengan baik dan benar. Menurut penelitian, banyak posyandu yang tidak lagi melakukan fungsi tersebut dengan baik dan benar.

Saya punya keyakinan bahwa terus maraknya kasus gizi buruk di desa-desa salah satu sebab utamanya adalah tidak berfungsinya posyandu dengan baik dan benar.

Kemiskinan
Benar yang dikemukakan dalam tajuk Kompas (27/5) bahwa terjadinya busung lapar atau gizi buruk adalah suatu proses, tidak tiba-tiba. Karena itu, apabila pemerintah dan masyarakat mau mengerti dan mau bertindak, terjadinya busung lapar dan gizi buruk dapat dicegah, yakni dengan mengetahui sebab langsung dan tidak langsung gizi buruk. Kedua memantau (surveillance), dan lakukan tindakan pencegahan.

Penyebab langsung yang dialami oleh anak ada dua.
Pertama, bayi dan anak balita tidak mendapat makanan yang bergizi seimbang, dalam hal ini air susu ibu, dan kalau sudah lebih dari enam bulan anak tidak mendapat Makanan Pendamping (baca: bukan pengganti) ASI (MPASI) yang baik. MPASI yang baik tidak hanya cukup mengandung energi dan protein, tetapi juga mengandung zat besi, vitamin A, asam folat, vitamin B, vitamin, dan mineral lainnya. Hanya keluarga mampu dan berpendidikan yang mampu menyediakan MPASI yang baik ini, baik memasak sendiri atau membeli. Karena itu, umumnya anak-anak mereka tumbuh kembang dengan baik, sedangkan anak balita dari keluarga tidak mampu harus puas dengan makanan seadanya yang tidak memenuhi kebutuhan gizi anak balita.

Kedua, pola pengasuhan anak. Suatu studi positive deviance mempelajari mengapa dari sekian banyak bayi dan anak balita di suatu desa miskin hanya sebagian kecil yang gizi buruk, padahal orangtua mereka semuanya petani miskin. Dari studi ini diketahui pola pengasuhan anak berpengaruh terhadap timbulnya gizi buruk. Anak yang diasuh ibunya sendiri dengan kasih sayang, apalagi ibunya berpendidikan dan mengerti soal pentingnya ASI, posyandu, kebersihan, meskipun sama-sama miskin, ternyata anaknya lebih sehat.

Unsur pendidikan wanita berpengaruh pada kualitas pengasuhan anak. Sebaliknya sebagian anak yang gizi buruk ternyata diasuh oleh nenek atau tetangga bukan kerabat yang juga miskin dan tidak berpendidikan. Banyaknya wanita yang meninggalkan desa mencari kerja di kota, bahkan menjadi TKI, kemungkinan juga dapat menjadi penyebab gizi buruk.

Ketiga, pelayanan kesehatan, terutama imunisasi, penanganan diare dengan oralit, tindakan cepat pada anak balita yang tidak naik berat badan, pendidikan dan penyuluhan kesehatan dan gizi, dukungan pelayanan di posyandu, penyediaan air bersih, kebersihan lingkungan, dan sebagainya. Pelayanan kesehatan yang lemah dan tidak memuaskan masyarakat terkait dengan kedua penyebab di atas.

Saya khawatir mewabahnya berbagai penyakit menular akhir-akhir ini, seperti demam berdarah, diare, polio, dan malaria, secara hampir bersamaan waktu di mana-mana menggambarkan melemahnya pelayanan kesehatan di daerah-daerah. Munculnya kasus gizi buruk logikanya juga terkait dengan hal tersebut. Hasil jajak pendapat Kompas, Memotret Dampak Polio, menggambarkan makin meningkatnya persentase responden yang tidak puas terhadap pelayanan kesehatan dalam 2-3 tahun terakhir (2003-2005) (Kompas, 14/5, halaman 44).

Kemiskinan dan gizi buruk
Kemiskinan merupakan penyebab pokok atau akar masalah gizi buruk. Data dari Indonesia dan di negara lain menunjukkan adanya hubungan antara kurang gizi dan kemiskinan. Proporsi anak yang gizi kurang dan gizi buruk berbanding terbalik dengan pendapatan. Makin kecil pendapatan penduduk, makin tinggi persentase anak yang kekurangan gizi; makin tinggi pendapatan, makin kecil persentasenya.

Hubungannya bersifat timbal balik. Kurang gizi berpotensi sebagai penyebab kemiskinan melalui rendahnya pendidikan dan produktivitas. Sebaliknya, kemiskinan menyebabkan anak tidak mendapat makanan bergizi yang cukup sehingga kurang gizi dan seterusnya.

Kemiskinan merupakan penghambat keluarga untuk memperoleh akses terhadap ketiga faktor penyebab di atas. Kemiskinan tidak memungkinkan anak balita mendapat MPASI yang baik dan benar.

Kemiskinan dan pendidikan rendah membuat anak tidak memperoleh pengasuhan yang baik sehingga anak tidak memperoleh ASI, misalnya. Kemiskinan juga menghambat anak memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai.

Apakah dengan demikian untuk mencegah gizi buruk harus menunggu berhasilnya pembangunan ekonomi sampai masalah kemiskinan dituntaskan? Masalahnya berapa lama kita harus menunggu perbaikan ekonomi, dan membiarkan anak-anak mati akibat gizi buruk .

Kita tahu pembangunan ekonomi rakyat dan menanggulangi kemiskinan memakan waktu lama. Pada masa Orde Baru diperlukan waktu lebih dari 20 tahun untuk mengurangi penduduk miskin dari 40 persen (1976) menjadi 11 persen (1996).

Data empiris dari dunia menunjukkan bahwa program perbaikan gizi dapat dilakukan tanpa harus menunggu rakyat menjadi makmur, tetapi menjadi bagian yang eksplisit dari program pembangunan untuk memakmurkan rakyat (Soekirman, Pidato Pengukuhan Guru Besar IPB, 1991).

Hal ini sudah dilakukan pemerintah sejak Orde Baru dalam berbagai program Repelita. Sejak krisis ekonomi tahun 1998 dilakukan program JPS dan penanggulangan kemiskinan. Pertanyaannya, mengapa masih juga muncul gizi buruk. Tentunya ada penyebab tidak langsung lain yang lebih pokok.

Dalam wawancara saya dengan wartawan Kompas tahun 2002 yang oleh Kompas diberi judul Status Gizi dan Masyarakat yang Demokratis, antara lain saya katakan ... selama masyarakat belum demokratis dan transparan, selama masih ada KKN, masalah kekurangan gizi tidak akan dapat diatasi (dengan tuntas) (Kompas, 17/6/2002, halaman 12).

Penyakit KKN mengurangi efektivitas pelaksanaan program sehingga program dan proyek yang ditujukan untuk memperbaiki berbagai faktor penyebab (ketahanan pangan, pengasuhan anak, dan pelayanan kesehatan) tidak tampak dampaknya.

Pernyataan saya tahun 2002 rasanya masih relevan. Selama penyakit KKN belum dapat dituntaskan, kemiskinan dan gizi buruk sepertinya akan masih menghantui anak balita di beberapa wilayah di negeri kita.(Soekirman Guru Besar Ilmu Gizi Institut Pertanian Bogor)

Tulisan ini diambil dari Kompas, 9 Juni 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan