Gereja dan Gerakan Pemberantasan Korupsi

Upaya pemerintah dan bangsa dalam melawan serta memerangi korupsi telah menapaki sebuah perjalanan sejarah yang amat panjang. Hasil yang signifikan dari upaya itu belum begitu tampak. Dr TB Silalahi dalam sebuah seminar menyatakan dengan amat prihatin, korupsi tidak lagi hanya terpusat dan terjadi di tingkat pusat, tetapi seiring dengan otonomi daerah, korupsi juga telah merambah dan merata ke daerah-daerah.

Pada waktu menjabat Menpan, TB Silalahi juga yang menyatakan, korupsi hanya bisa dihapus di surga (Republika, 9 Juli 1997). Pernyataan-pernyataan ini memang cukup memberi gambaran bahwa masalah korupsi bukanlah masalah yang sederhana.

Korupsi berkaitan dengan moral, sistem, ekonomi, politik, hukum; sebab itu korupsi tak bisa dilawan hanya dari satu sudut saja. Korupsi mesti dihadapi secara bersama dengan seluruh potensi dan kekuatan yang dimiliki bangsa kita. Korupsi harus dilawan melalui penyadaran tentang hakikat manusia sebagai ciptaan Allah yang paling mulia, dengan menolak ambivalensi keberagamaan, dengan penegakan hukum, dengan memperlakukan seseorang (calon) koruptor sebagai manusia tanpa atribut-atribut apapun.

Bahaya Kesenjangan

Korupsi bagai kanker ganas yang telah menyerang berbagai bagian tubuh negeri ini, dan telah menempatkan Indonesia sebagai negara yang religius, kehilangan percaya diri karena menduduki urutan yang tinggi dalam prestasi korupsi.

Bangsa kita telah melaksanakan pembangunan nasional selama tiga dasawarsa yang menekankan cita-cita agar sebuah masyarakat modern yang adil, makmur dan lestari berdasarkan Pancasila terwujud. Cita-cita itu belum terwujud, karena pembangunan nasional telah diselewengkan menjadi upaya mempertahankan dan melestarikan kekuasaan yang penuh dengan KKN

Bahaya-bahaya itu sesungguhnya telah diprediksi dalam beberapa dokumen gereja di waktu yang lalu, yaitu adanya jurang yang lebar antara yang kaya dan yang miskin, adanya ketidakadilan kurangnya partisipasi rakyat. Juga kesenjangan wewenang antara pusat dan wilayah, sentra industri dengan wilayah pedesaan, serta langkanya kesempatan kerja.

Bangsa Indonesia melakukan koreksi dengan mencanangkan reformasi, yang di dalamnya di mana sebuah masyarakat berkeadaban (civil society) berdasarkan Pancasila diwujudkan, yang di dalamnya pemberantasan KKN menjadi salah satu agenda.

Dalam kurun waktu 2004-2009, masalah penegakan hukum yang berkeadilan, penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia, pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme, di samping persoalan akut kemiskinan, tetap merupakan masalah utama dalam upaya bangsa menuju masyarakat berkeadaban.

Sub-tema Sidang Raya XIV PGI berbunyi, Bersama-sama Dengan Seluruh Elemen Bangsa Mewujudkan Masyarakat Sipil Yang Kuat Dan Demokratis Untuk Menegakkan Kebenaran, Hukum Yang Berkeadilan, Serta Memelihara Perdamaian, menegaskan, PGI dengan gereja-gereja lain akan memberikan perhatian terhadap masalah-masalah tersebut dalam rentang waktu 2004-2009. Bersama-sama berarti tugas itu tidak dapat dilaksanakan oleh gereja sendiri.

Gereja mendekati permasalahan korupsi dari titik tolak kebobrokan moral manusia yang tidak mampu mewujudkan hakikat dirinya sebagai gambar/citra Allah. Dalam pemahaman Kristen, manusia diciptakan Allah menurut gambar/citra-Nya. Manusia diciptakan sebagai laki-laki dan perempuan dengan martabat yang sama dan dikaruniai tugas mandat untuk beranak cucu dan memenuhi bumi serta untuk menguasai, mengusahakan dan memelihara seluruh ciptaan Allah.

Untuk dapat melaksanakan tugas dan mandat itu, Allah memperlengkapi manusia dengan akal budi dan hikmat serta memahkotainya dengan kemuliaan, hormat dan kuasa. Manusia diciptakan dalam kesatuan tubuh, jiwa dan roh, sehingga ia dipanggil untuk memelihara secara utuh jasmani dan rohani dalam rangka pemenuhan tanggung jawab-nya kepada Allah.

Manusia diciptakan dalam kebebasan, dan dalam kebebasannya itu ia bertanggung jawab kepada Allah. Ia juga diciptakan sebagai makhluk yang hidup dalam persekutuan dan wajib mengatur kehidupan bersamanya dalam keluarga dan masyarakat, yang dapat membawa kebaikan bagi semua orang.

Dengan demikian, manusia mempunyai martabat kemanusiaan, yaitu hak-hak dan kewajiban asasi yang tidak boleh diambil oleh siapa pun dan oleh kuasa apa pun. Ketika manusia yang adalah gambar Allah tidak lagi mampu mengaktualisasikan hakikat dirinya seperti itu, maka terjadilah ketidakadilan, suap, sogok dan bentuk-bentuk korupsi lainnya.

Keberagamaan manusia masih sebatas keberagamaan yang simbolik, yang lebih berdimensi formal/seremonial dan belum membuah dalam sikap/perilaku etis. Maka terjadilah ambivalensi dalam kehidupan seorang beragama yaitu ketika ia kelihatan amat taat beragama pada satu sisi dan pada sisi lain ia tetap sebagai seorang yang melawan hukum dan memberlakukan ketidakadilan dalam kehidupannya.

Sikap Gereja

Menarik untuk dicatat, Sidang Lengkap DGI tanggal 3-14 Mei 1964, di Jakarta, memberi peringatan yang keras tentang bahaya korupsi yang telah merambah dalam kehidupan masyarakat. Sidang tersebut memutuskan hal-hal sebagai berikut:

Kesatu, agar gereja-gereja dalam kotbah-kotbahnya dan pengajarannya memberi nasihat dan peringatan kepada para anggota gereja mengenai cobaan-cobaan yang besar dalam masyarakat sekarang ini.

Kedua, agar umat Kristen Indonesia memelihara cara hidup yang sederhana.

Ketiga, menyerukan kepada pemerintah, seluruh masyarakat dan badan-badan berwenang agar mempergiat perlawanan dan peperangan melawan korupsi dan dimana perlu memberikan hukuman yang sewajarnya atas perbuatan mereka yang telah terbukti telah menjalankan korupsi

Sidang tersebut juga menyatakan bahwa dengan mengingat pengalaman bangsa kita dengan korupsi di tahun-tahun yang lalu telah memperkuat keyakinan bahwa manusia adalah makhluk yang telah jatuh kedalam dosa, sehingga sumber terakhir dari korupsi itu terdapat didalam hati manusia sendiri, dan tidak ada orang yang kebal terhadap cobaan korupsi.

Tidak ada sistem politik, sosial, ekonomi yang dapat membuat orang kebal terhadap cobaan korupsi. Sebab itu Sidang menganjurkan agar dilaksanakan pendidikan ke arah kewargaan yang bertanggung jawab; dan menciptakan keadaan politik, sosial, ekonomi, dimana cobaan untuk mempraktikkan korupsi diperkecil dengan adanya kemungkinan hidup secara sederhana dengan jujur.

Tidak adanya pengawasan yang terus menerus yang menjadi bagian-bagian yang esensial dari sistem politik, sosial ekonomi, sehingga setiap orang yakin bahwa tidak ada perbuatan korupsi yang tidak akan diganjar dengan hukuman yang setimpal.

Selain keputusan-keputusan dalam berbagai pertemuan/ persidangan gerejawi yang memberikan mandat bagi PGI/gereja untuk melawan korupsi, beberapa teks Alkitab memberikan dasar yang amat kuat agar warga gereja mewujudkan kehidupan yang bermoral, berkeadilan, tidak mengejar laba dan mempraktikkan keteladanan.

Ketentuan perundangan, keputusan persidangan gerejawi, rambu-rambu yang bersumber dari teks Alkitab sebenarnya sudah cukup untuk memberikan dasar bagi upaya untuk melawan korupsi yang telah cenderung menjadi virus yang menggerogoti kehidupan masyarakat.

Sejalan dengan itu, budaya hidup jujur, sederhana, tidak tamak, disiplin, menghargai waktu, taat kepada peraturan mesti lebih dikedepankan. Dunia pendidikan mesti memberi perhatian lebih pada upaya pembangunan sebuah kehidupan yang berkeadilan, demokratis yang didalamnya aspek keteladanan menjadi unsur yang penting.

Ketika jual beli gelar dan plagiarisme terjadi, penggelembungan proyek-proyek dalam dunia pendidikan dibiarkan, maka roh korupsi te-lah juga merasuki dunia pendidikan.

Dalam menyinergikan potensi bersama untuk melawan korupsi, beberapa hal dapat dikemukakan.

Pertama, pengembangan spiritualitas baru. PGI/Gereja-gereja perlu mendorong warganya untuk mengembangkan sebuah spiritualitas baru, yang di dalamnya keberagamaan tidak dipahami sebagai sesuatu yang hanya bersifat status dan simbolik, yang direpresentasi pada upacara-upacara keagamaan, tetapi lebih dari itu menjadi sebuah kaidah kehidupan yang benar-benar dijadikan nilai dasar/pemandu dalam kehidupan konkret di tengah realitas dunia.

Tatkala dalam Kitab Suci dilarang menerima suap, memberlakukan ketidakadilan, memperkosa hak asasi manusia, maka para penganut agama mestinya taat dan konsisten. Itulah makna spiritualitas baru. Spiritualitas baru menolak ambivalensi kehidupan beragama dan menolak dikotomi waktu ibadah dengan waktu bekerja. Klaim masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang religius mestinya harus dibuktikan melalui makin menurunnya gairah berkorupsi di negeri ini.

Kedua, percanangan gerakan melawan korupsi.

Gereja-gereja dan umat Kristen Indonesia harus secara aktif melakukan gerakan untuk melawan korupsi dalam segala bentuk. Melalui kotbah, pembinaan warga, gerakan itu perlu disosialisa-sikan. Menyadari bahwa salah satu kekayaan Indonesia adalah kemajemukan agama, maka kerja sama lintas agama dalam melawan/memerangi korupsi harus makin dimantapkan.

Gerakan Pembaruam Moral Nasional dengan tokoh-tokoh dari lembaga-lembaga NU, Muhammadiyah, PGI, KWI di masa depan perlu lebih keras memberi peringatan tentang bahaya korupsi yang secara substantif mencederai/melecehkan keluhuran agama. Seruan moral dari tokoh-tokoh tersebut dapat ditindaklanjuti dengan program aksi yang konkret, tepat dan terarah.

Dalam kerja sama lintas agama, selain aspek-aspek praktis dapat dijajagi suatu dialog (teologis) di seputar pandangan agama-agama tentang manusia sehingga melalui dialog tersebut dirumuskan pemikiran-pemikiran yang dapat disumbangkan dalam rangka menangkal, merasuknya virus korupsi dalam diri manusia.

Ketiga, kerja sama sinergis tokoh-tokoh kunci. Tokoh-tokoh budaya, pendidikan dan agama didorong untuk duduk bersama merumuskan strategi yang paling tepat dalam melawan korupsi. Harus diakui dengan jujur bahwa pemikiran para tokoh ini tidak akan banyak berarti jika tidak didukung oleh kemauan politik pemerintah dalam memberantas korupsi, secara konsisten dan bersungguh-sungguh.(Weinata Sairin, adalah seorang teolog, pengamat masalah sosial keagamaan)

Tulisan ini diambil dari Suara Pembaruan, 18 Maret 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan