Gerakan Tidak Memilih Politisi Busuk

Teten Masduki ? Koordinator ICW

Ada yang pro dan kontra terhadap gagasan gerakan tidak pilih politikus busuk, yang kini tengah hidup berproses di sana-sini. Yang paling kontra tentu saja adalah mereka yang merasa terancam dengan gerakan ini. Umumnya menguatirkan gerakan ini mengarah pada upaya menjatuhkan kelompok politik, partai atau kandidat tertentu dalam kompetisi Pemilu April 2004. Kekuatiran ini sah-sah saja, kalau gerakan ini kemudian tidak dilandasi oleh standar etika dan komitmen kebangsaan yang tinggi

Namun, suka tidak suka, munculnya gerakan ini harus diakui karena dipicu oleh perasaan kekecewaan kolektif di masyarakat yang telah mengendap sampai ubun-ubun terhadap kinerja legislatif dan eksekuti hasil Pemilu 1999 lalu. Kendati Pemilu 1999 berlangsung secara demokratis, dengan tingkat golput yang rendah yakni cuma sekitar sembilan persen, tetapi nyatanya kurang bermakna bagi perbaikan kehidupan masyarakat. Yang muncul adalah sosok koruptor-koruptor baru, sehingga agenda reformasi untuk keluar dari krisis multidimensi yang diwariskan rezim lama tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Di sisi lain, sebagian besar masyarakat belum melihat harapan adanya perbaikan dalam Pemilu 2004 nanti. Semangat berpartai sebagain besar masih diwarnai oleh paradigma, cara-cara dan pemain-pemain lama. Meskipun di atas kertas sistem Pemilu 2004 dengan sistem pemilihan langsung untuk presiden dan wakilnya, DPD, dan pemilu legislatif dengan sistem proporsional daftar calon terbuka, jauh lebih baik dari sisi keterwakilan partisispasi masyarakat. Yakni lebih berorientasi terhadap kanditat daripada partai, dan memberkian tempat penting kepada pemilih dalam pemenangan Pemilu.

Dua Misi Utama
Kalau mau melihat secara jernih sebenarnya ada dua misi utama dari gerakan ini. Pertama, gerakan ini dalam jangka panjang akan meningkatkan tekanan kepada parpol untuk tidak asal comot dalam menominasikan kandidat. Yang sejauh ini umumnya proses seleksi calon senantiasa dikaitkan dengan kepentingan mencari dana politik dan orang-orang yang loyal terhadap pimpinan partai, sehingga acap mengabaikan proses demokrasi, mutu dan standar integritas moral. Dengan kata lain, gerakan ini mendorong demokratisasi internal dan transparansi di dalam pemilu partai guna menghindari terjadinya korupsi pemilu dalam bentuk candidacy buying, yang dapat mendistorsi partai menjadi kendaraan segelintir orang berduit atau elite saja, bukan kelembagaan demokrasi yang penting guna menyalurkan partisipasi masyarakat (popular participations) dalam pengabilan kebijakan politik..
Kedua, membangun kesadaran kritis pemilih atau konstituen partai untuk keluar dari pilihan-pilihan yang bersifat irasional-komunal, tapi berdasarakan ukuran-ukuran masukakal seperti riwayat perilaku, kinerja, afiliasi kepentingan dan sebagainya. Selama ini pemilih dan konstituen senantiasa menjadi ?korban? mobilisasi parpol sehingga tidak kritis lagi terhadap kinerja parpol.

Mengubah kebiasan pemilih tradisional yang senantiasa pilihannya mengacu kepada apa yang dipilih oleh tokoh komunalnya sekarang ini begitu penting karena ada kecenderungan terjadinya pembelian tokoh masyarakat (influential figure buying) oleh kontestan pemilu. Sebab dalam sistem pemilu langsung, pembelian suara langsung (vote buying) dalam wilayah pemilihan dan jumlah pemilih yang banyak, seperti di Tanah Air, selain mahal juga tidak mudah menjamin loyalitas pemilih yang dibeli.

Pendek kata, gerakan ini sangat relevan dalam sistem pemilu yang beorientasi pada kandidat. Meskipun di dalam pemilihan anggota DPR/DPRD dengan sistem proporsional daftar calon terbuka, partai masih cukup dominan dalam penetapan calon terpilih. Karena aturan Pemilu tidak membolehkan pemilih mencoblos hanya nama caleg, seperti lazimnya belaku dalam sistem proporsional terbuka. Aturan inilah yang mengurangi prinsip pemilihan langsung dalam sistem proporsional daftar calon terbuka. Diperkirakan oleh banyak kalangan, hasil pemilu DPR/DPRD akan lebih diominasi calon pilihan parpol daripada pilihan rakyat. Sebab banyak calon, kendati cukup populer di masayarakat, akan sulit menembus persyaratan bilangan pembagi pemilih (BPP), yakni total perolehan suara sah satu daerah pemilihan dibagi jumlah kursi yang diperebutkan di daerah itu.

Dibandingkan dengan golput gerakan ini juga jauh lebih mendidik. Sedikitnya tidak sekedar membangun sikap apriori pemilih terhadap partai atau pemilu, suatu pilar demokrasi yang penting. Harus diyakini barangkali tidak ada partai yang sempurna, tetapi juga tidak semua orang di dalam partai itu busuk. Bukankah para ahli bilang seusai perang ideologi besar surut, warna politik partai bukan lagi satu-satunya faktor penentu dalam pemenangan pemilu.

Daftar Hitam
Pembuatan daftar hitam (balcklisting) adalah salah satu dayatarik dari gerakan ini, terutama dari aspek pemberitaan media. Dan bagi pemilih yang umumnya memiliki jarak sosial dengan kandidat, juga memudahkan pilihan. Daftar hitam digunakan semacam kartu kuning dalam proses penyusunan caleg atau capres dan cawapres oleh partai sebelum ditetapkan sebagai daftar calon tetap (DCT). Daftar hitam untuk keperluan itu sekarang tidak terlalu relevan lagi karena partai-partai sudah mengajukan calon ke KPU. Yang sekarang perlu adalah daftar hitam untuk pemilih, yang cukup ditelusuri dari nomor jadi saja. Sebab gerakan ini bukan bertujuan membunuh karakter untuk urusan yang tidak terkait dengan pemilu atau pengangkatan pejabat publik.

Hanya daftar hitam juga banyak kelemahannya. Selain memerlukan akurasi dan validitas data guna menghindari masalah hukum yang jelimet, juga memerlukan penyebaran sampel kandidat yang cukup tuduhan-tuduhan penunggangan kepentingan lainnya. Masalahnya di sini bukan perkara enteng mendapatkan data formal, seperti putusan pengadilan, laporan polisi, pajak, bank atau laporan kekayaan untuk mememenuhi prayarat aman dalam pembuatan daftar hitam. Berapa gelintir pelanggaran HAM atau koruptor di negeri ini yang diadili, meskipun Indonesia berada pada jajaran negara terkorup di dunia. Sumber berita koran, testimoni pelapor atau hasil investigasi sekuat apapun buktinya di pengadilan masih belum cukup aman karena semua orang tahu putusan pengadilan bisa dibeli, sehingga misi utama gerakan ini bisa-bisa terhambat dan sibuk mengatasi masalah hukum yang jelimet.

Guna menjaga kekuatan gerakan ini, katagori politikus busuk yang dianjurkan tidak dipilih memang harus didasarkan pada alasan-alasan yang sangat ketat. Perlu ada kriteria operasinal dari aspek-aspek yang dijadikan penilaian, seperti yang sekarang tengah berkembang meliputi koruptor, pelanggar HAM, perusak lingkungan, melakukan kekerasan terhadap perempuan dan pemakai dan pebisnis narkoba. Walau kriteria busuk bisa terus berkembang sesuai dengan tingkat standar moral yang dikehendaki pemilih.

Tetapi daftar hitam hanyalah salah satu instrumen, bukan tujuan utamanya. Tujuan gerakan ini intinya adalah melahirkan informed voters, yang hal itu memerlukan stretegi komprehensif, multi media kampanye dan jaringan yang sangat luas, serta terbangunnya koalisi pemilih. Di Korea Selatan, CAGE (Civil Action for 2000 General Election) yang mucul menjelang Pemilu April 2000 itu, dideklarasikandan dan melibatkan sekitar 1000 LSM. People?s Solidaruty for Participatory Democracy (PSPD), sebuah LSM sangat berpengaruh yang kelahirannya dibidani para guru besar dari berbagai disiplinl ilmu dan kalangan profesional, adalah yang memayungi koalisi ini. Gerakan ini mendapat dukungan luar biasa di masyarakat.

Pada survey pendahuluan yang mereka lakukan tercatat 78,9 % rakyat mendukung. Tidak kurang Presiden Kim Dae-jung ikut mendukung. Tercatat tidak kurang 500 pengacara ikut membekingi CAGE. Pers juga setiap hari memberitakan secara detai aktivitas CAGE. Guru-guru besar memberikan kuliah ?Kelas Demokrasi? di kampus-kampus. Dan pawai masa di sejumlah kota. Terkumpul sumbangan masyarakat seberar US$ 210 ribu. Dari sumbangan inilah kemudian mereka bisa membayar gugatan di pengadilan, karena ada kesalahan memasukan politisi bersih ke dalam daftar politisi terkutuk. Meskipun gerakan ini baru, hasilnya cukup lumayan, hampir 70 persen dari daftar hitam tidak terpilih.

Gerakan ini barangkali tidak berhenti selama Pemilu saja, tetapi bisa berlanjut dalam pembentukan kabinet, pemilihan Kepala Daerah atau pengangkatan pejabat publik. Tidak cukup menjegal politikus busuk saja , gerakan ini juga harus bisa memaksa para calon membuat kontrak politik dengan koalisi pemilih agar peluang menyimpang menjadi relatif sempit. Dalam jangka panjang gerakan ini harus juga diarahkan untuk mendorong terciptanya sistem pertanggujawaban publik dari mereka yang menduduki jabatan politik atau publik, yang secara hukum pemilih bisa me-recall wakil-wakil rakyat dan pejabat publik yang menghianati rakyat, seperti halnya diatur dalam Konstitusi Thailand yang baru (1997). Dengan cara begitu barangkali tali mandat rakyat yang putus bisa disambungkan kembali

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan