Gerakan "Bunuh" KPK

Penggiat antikorupsi, Saldi Isra, menduga adanya gerakan untuk ”membunuh” Komisi Pemberantasan Korupsi bersama-sama. Hal ini dilakukan karena banyak pemangku kepentingan yang tak terlalu nyaman dengan keberadaan komisi yang gencar melawan korupsi itu.

Salah satu kejadian yang dinilai sebagai tahapan membunuh KPK adalah mencuatnya kasus penyadapan telepon seluler Rani dan Nasrudin Zulkarnaen, Direktur Putra Rajawali Banjaran. Nasrudin terbunuh pada 14 Maret lalu. Ketua KPK (nonaktif) Antasari Azhar terseret kasus tersebut.

Polisi telah meminta keterangan Wakil Ketua KPK Chandra M Hamzah terkait dengan penyadapan itu.

Saldi menilai Polri terlalu mendramatisasi persoalan tersebut. Seharusnya, polisi dapat menjelaskan dengan cara yang lebih halus terkait dengan pemeriksaan Chandra.

Menurut dia, KPK mempunyai prosedur standar operasional ketat terkait penyadapan. KPK tak akan menyadap jika tak memiliki constrain yang jelas.

”Lagi pula, kerja penyadapan sudah menghasilkan prestasi, seperti tertangkapnya Hengky Samuel Daud, yang menjadi buron KPK sejak tiga tahun lalu,” ujar Saldi, Rabu (24/6).

Perintah Antasari
Secara terpisah, Juniver Girsang, seorang penasihat hukum Antasari, menyatakan, kliennya meminta untuk mendeteksi telepon yang mengancam istrinya. Antasari tidak pernah memerintahkan penyadapan.

”Deteksi itu beda dengan merekam. Pak Antasari juga tahu bedanya. Pak Antasari hanya mau deteksi telepon itu, apakah ada kaitannya dengan perkara,” kata Juniver, Rabu di Jakarta.

Juniver mengakui, deteksi nomor telepon itu menggunakan alat milik KPK. ”Tidak ada rekaman,” katanya. Namun, ia tak menyatakan bahwa Wakil Ketua KPK salah menerjemahkan permintaan Antasari.

Nomor telepon yang dikatakan meneror dan mengancam istri Antasari, Ida Laksmiwati, itu, menurut Juniver, tidak diketahui siapa pemiliknya sampai terakhir kali dideteksi.

Namun, Chandra menegaskan, dia berada di dekat Antasari saat Ketua KPK (nonaktif) itu memerintahkan penyadapan nomor telepon seluler kepada penyelidik. Karena itu, perintah penyadapan terkait teror lewat layanan pesan singkat (SMS) dan telepon pada istri Antasari langsung diberikan Antasari kepada penyelidik.

”Pak Antasari langsung memberikan nomor telepon itu kepada penyelidik, bukan kepada saya,” kata Chandra di Jakarta, Rabu. Penyadapan itu, sesuai kode etik, semestinya berlangsung satu bulan. (ana/vin/idr/mdn)

Sumber: Kompas, 25 Juni 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan