Gerakan Antikorupsi atau Delegitimasi Partai?

Cukup menarik jika kita cermati hasil survei Institut Transparansi Indonesia yang diumumkan beberapa waktu lalu. Yaitu, di samping lembaga kejaksaan dan kepolisian, partai politik termasuk lembaga yang menduduki posisi tinggi dalam melakukan korupsi. Yang perlu kita catat lebih jauh, di balik sorotannya secara khusus terhadap lembaga kepartaian, adakah indikasi kuat gerakan itu mengarah ke upaya sistematis untuk mendelegitimasikan partai?

Pertanyaan itu layak kita lontarkan sejalan dengan realitas gerakan DPRD di berbagai daerah terkesan 'diobok-obok'. Siapa pun yang punya komitmen tinggi terhadap antikorupsi harus 'angkat topi' atas penindakan hukum terhadap para anggota dan atau pimpinan DPRD bahkan DPR yang melakukan korupsi. Namun, ada persoalan mendasar yang membuat siapa pun mempertanyakan secara jernih: benarkah di antara mereka (dengan sengaja) melakukan tindakan korupsi yang sungguh tidak disukai para konstituennya?

Pertanyaan seperti itu berangkat dari data objektif perkembangan demokratisasi yang telah memelosok ke berbagai lapisan publik dan daerah. Spirit desentralisasi yang didasari UU Pemerintahan Daerah telah menggerakkan sebagian pengelola daerah (sebagai pemerintah daerah ataupun Dewan legislatif) tergerak secara maksimal untuk 'mengisi' kebutuhan objektif daerahnya. Ada kecenderungan, pemahaman dan implementasi terhadap spirit otonomi daerah memang berlebihan, karena terlihat kesan kuat: apa pun dapat dilakukan atas dasar kemauannya sendiri. Yang perlu kita catat, di balik kondisi yang terkesan ada nuansa kemauan sendiri terdapat spirit yang agresif untuk segera mewujudkan apa yang senantiasa dinanti masyarakat daerahnya. Dalam hal ini, tidaklah berlebihan jika kita kaitkan bahwa fenomena agresivitas itu tak lepas dari kondisi objektif booming demokrasi di tengah kita.

Spirit pengisian maksimal itu (dalam perkembangannya) justru digugat oleh sebagian masyarakat dengan dalih penyalahgunaan wewenang, bahkan indikasi korupsi di balik jabatannya. Dalam hal ini kita tetap perlu hormat terhadap kontrol publik. Namun, persoalannya terdapat kondisi yang tidak jelas: siapa yang berwenang mengatur anggaran daerahnya. Adakah Pemda dan DPRD tidak berhak menyusun anggaran untuk kepentingan daerahnya? Sementara, UU Pemerintahan Daerah, menegaskan, kepala daerah (bersama-sama DPRD) berhak menyusun anggaran berdasar rencana pembangunannya. Ketika kedua lembaga ini menyusun anggaran dalam kuantitas berlebihan (sementara, kondisinya untuk mempercepat realisasi kebutuhan objektif masyarakat daerahnya) apakah hal itu harus diterjemahkan sebagai tindakan eksploitatif, bahkan memperkaya diri dan akhirnya harus digiring ke persoalan hukum?

Dengan jernih dan tanpa pretensi, cara pandang dan kontrol publik itu diwarnai ketidakjelasan. Dan menjadi persoalan tersendiri di mata hukum manakala sikap hukum yang dikembangkan adalah tanggung jawab renteng; tugas yang bersifat kolektif (banyak individu dari pemda dan DPRD yang terlibat dalam proses perumusan anggaran dan lainnya) harus dipanggul oleh sejumlah diri yang dinilai terlibat dalam wajah eksploitasi sempit yang dikenal dengan korupsi dan kolusi.

Sistem hukum positif kita (jika harus mengakomodasi cara pandang itu) perlu direkonstruksi. Namun, yang berlaku sekarang adalah tidak dikenal sistem tanggung jawab renteng itu, juga tanggung jawab kolektif harus dipanggul oleh beberapa diri, sehingga siapa pun yang memaksakan untuk memberlakukan jeratan tanggung jawab renteng dan kolektivitas kerja harus ditanggung secara individual dapat dinilai menodai prinsip hukum itu sendiri, bahkan mencederai perjuangan untuk supremasi hukum. Dan jika kita lihat lebih mikro lagi, upaya menggiring pejabat publik dari pemda ataupun DPRD ke jeratan hukum, kita bisa mencatat bahwa tindakannya merupakan pemaksaan terhadap kepala daerah dan DPRD untuk tidak boleh menggunakan hak dan fungsinya.

***

Paradoksalitas antara dasar penjeratan versus prinsip hukum itu sendiri menggerakkan pertanyaan, apakah gerakannya murni hukum, atau kekecewaan yang bernuansa politik? Jika memang murni hukum, maka yang harus dilihat adalah tindakan pribadi dan hal ini menjadi lemah ketika diperhadapkan produk kebijakan termasuk menyusun anggaran yang jelas-jelas kolektif. Dalam forum itu, memang terdapat sejumlah individu yang punya otoritas. Namun, kolektivitas itu yang tentu demikian beragam cara pandang bahkan kepentingannya membuat otoritas individual tidak bisa

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan