Gebrakan SBY masih Kalah dari Koruptor

Gebrakan pemberantasan korupsi yang dilakukan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono masih kalah dibandingkan dengan kecanggihan para koruptor. Saat ini masih banyak kasus korupsi yang belum tertangani, seperti Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) serta putusan bebas terhadap sejumlah terdakwa korupsi.

Demikian wacana yang berkembang dalam diskusi publik bertajuk SBY vs Koruptor, Siapa Menang? yang diadakan oleh Himpunan Masyarakat untuk Kemanusiaan dan Keadilan (Humanika) di Jakarta, kemarin.

Kasus korupsi hingga saat ini sulit dihapuskan. Masih banyak koruptor kakap yang belum tersentuh, kata Fuad Bawazier, anggota Komisi XI DPR RI yang hadir sebagai pembicara.

Dia mencontohkan uang ratusan triliun rupiah yang dikucurkan sewaktu krisis moneter (dana BLBI), seolah-olah mengendap tanpa kejelasan siapa yang paling bertanggung jawab. Begitu pula dengan vonis bebas terhadap seorang terdakwa diduga korupsi ratusan miliar rupiah uang rakyat baru-baru ini, ujar Fuad.

Menurut Fuad, bebasnya para pelaku korupsi itu juga menjadi bukti kecanggihan para konglomerat pengemplang uang rakyat menghindari jerat hukum.

Sementara itu, Direktur Institut for Development of Economic & Finance (Indef) Imam Sugema mengatakan diperlukan shock theraphy untuk mengurangi korupsi di Indonesia. Kita bisa mengambil contoh di China, pada tahun 1980-an kasus korupsi amat marak. Namun, setelah pemerintah yang berkuasa mengambil tindakan tegas berupa hukuman mati bagi para koruptor, lambat laun kasusnya menurun drastis, ujar Imam.

Untuk itu, Imam menyarankan agar wacana hukuman mati bagi pelaku korupsi kembali diperkuat agar menimbulkan efek jera bagi pelakunya. Di Indonesia, pelaku korupsi yang angkanya besar masih bebas, sedangkan yang nilainya kecil seperti korupsi di berbagai DPRD, malah terjerat hukum, kata Imam.

Imam menilai korupsi yang mencuat di KPU saat ini terbilang kecil dibanding korupsi yang dilakukan dalam kasus BLBI. Setiap tahunnya saja, pemerintah harus membayar sekitar Rp50 triliun untuk bunga obligasi para konglomerat yang utangnya diserahkan kepada pemerintah, kata Imam.

Menurut Imam, saat ini juga tengah muncul berbagai korupsi dengan modus operandi yang amat halus sehingga seolah-olah terkesan bukan merupakan tindak pidana korupsi. Dia mencontohkan penjualan saham atau privatisasi sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Sedangkan Ketua Umum Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Yuli Widiastono menilai Presiden Susilo masih ragu-ragu dalam membasmi korupsi. Wacana hukuman mati mungkin memang perlu dipertegas kembali untuk memberi efek jera, kata Yuli. (CR-50/P-3)

Sumber: Media Indonesia, 24 Juni 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan