GEBRAKAN PERTAMA PLT PIMPINAN KPK YANG MENGECEWAKAN

Pelimpahan perkara Korupsi Komjen Budi Gunawan ke Kejaksaan

GEBRAKAN PERTAMA PLT PIMPINAN KPK YANG MENGECEWAKAN  

Sudah jatuh tertimpa tangga. Peribahasa itu tepat ditujukan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setelah lembaga ini menangani perkara korupsi suap dan gratifikasi terhadap Komjen Budi Gunawan (BG), calon kuat Kapolri. Setelah kalah di proses praperadilan, dua orang pimpinan KPK dikiriminalisasi dan menjadi tersangka serta dinonaktifkan. Terakhir perkara korupsi BG tidak lagi ditangani oleh KPK melainkan dilimpahkan ke Kejaksaan atau Kejaksaan.  Ibarat sepakbola, KPK sudah kebobolan 4 gol tanpa balas.  

Proses pelimpahan perkara korupsi BG ke Kejaksaan secara resmi diumumkan pada hari Senin 2 Maret 2015 oleh HM Prasetyo (Jaksa Agung), Taufiquerahman Ruki (Ketua Plt Pimpinan KPK) dan Badrodin Haiti (Wakapolri). Pengumuman ini sekaligus membenarkan adanya rumor atau wacana pelimpahan perkara BG ini ke Kejaksaan tidak lama setelah Presiden menunjuk Ruki sebagai Plt Pimpinan KPK.

Fenomena CICAK vs Buaya jilid ke 2 yang memanas pada akhirnya tidak menguntungkan bagi KPK yang hanya mengandalkan regulasi dan dukungan rakyat. Upaya Kriminalisasi yang dilakukan oleh pihak Polri terhadap pimpinan KPK, pegawai maupun penyidik KPK terus terjadi tanpa bisa dihentikan bahkan oleh seorang Presiden sekalipun. Banyak pihak menilai pelimpahan perkara BG ini merupakan bentuk kompromi untuk mengurangi ketegangan hubungan antara KPK dengan Polri yang memanas belakangan ini.  

Pelimpahan perkara korupsi BG ke Kejaksaan merupakan gebrakan pertama kerja Plt Pimpinan KPK pasca dilantik oleh Presiden. Gebrakan pertama yang sangat mengecewakan dan memberikan pesan buruk kepada publik bahwa KPK sudah melemah. Hal ini juga akan menjadi preseden buruk bagi upaya pemberantasan korupsi. Kami khawatir bahwa akan muncul lagi gebrakan-gebrakan serupa yang akan membuat KPK akan semakin terus dilemahkan.

Mengapa kami kecewa? Pertama, KPK terlalu cepat menyerah karena belum melakukan segala upaya hukum untuk melawan putusan prapereadilan yang dijatuhkan oleh Hakim Sarpin. Saat ini proses hukum yang diajukan oleh KPK adalah kasasi dan prosesnya juga masih berjalan. Jikapun kasasi ditolak, KPK masih dapat mengajukan upaya peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Kami sendiri mulai mempertanyakan misi Plt Pimpinan KPK apakah ingin menyelematkan KPK ataukah menyelamatkan kasus korupsi yang sedang ditangani oleh KPK?  Jangan sampai keputusan ini hanya ulah segelintir oknum Plt Pimpinan KPK yang mengkhianati perjuangan KPK dalam upaya pemberantasan korupsi.

Kedua, pelimpahan kasus korupsi BG ke Kejaksaan atau Kepolisian sangat diragukan objektivitasnya dan besar kemungkinan akan dihentikan sebelum dilimpahkan ke Pengadilan. Proses pelimpahan ini riskan disalahgunakan untuk kepentingan penghentian penyidikan atau penuntutan terhadap Komjen Budi Gunawan. Berbeda dengan KPK, hanya Kepolisian dan Kejaksaan yang dapat menghentikan proses penyidikan terhadap suatu perkara korupsi.

Sulit bagi Kepolisian untuk menangani secara objektif penanganan kasus korupsi yang melibatkan jenderal polisi karena alasan konflik kepentingan dan membela semangat korps (espirit de corps). Dugaan kepemilikan rekening yang tidak wajar terhadap 17 jenderal polisi, ketika ditangani oleh internal kepolsian justru dianggap wajar. Dugaan korupsi Alkom dan Jarkom di Mabes Polri yang merugikan keuangan negara hingga ratusan miliar juga tidak jelas juntrungannya.

Pihak Kejaksaan juga seringkali begitu mudah menghentikan suatu kasus korupsi (SP3) yang ditangani tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Apalagi saat ini Jaksa Agung, HM Prasetyo merupakan politisi dari Partai Nasdem.  Sebagaimana diketahui Nasdem adalah salah satu pendukung Komjen Budi Gunawan sebagai Calon Kapolri.   

Ketiga, pertemuan tiga pimpinan penegak hukum KPK hanya membahas pelimpahan BG, namun tetap berupaya menghentikan proses kriminalisasi terhadap pimpinan KPK seperti Abraham Samad dan Bambang Widjojanto. Ada proses yang tidak seimbang dari pelimpahan perkara BG kepada Kejaksaan maupun Kepolisian. Pelimpahan BG dimaksudkan untuk menghentikan perkara, sedangkan proses kriminalisasi terhadap BW dan AS masih terus berjalan.

Koalisi memiliki keyakinan kuat bahwa proses hukum terhadap keduanya adalah upaya balas dendam daripada penegakan hukum (malicious investigation = Penyidikan dengan itikad buruk, dengan niat jahat). Kesan adanya malicious investigation sangat kuat terjadi dalam kasus yang menimpa BW. Tim Pembela Hukum, Laporan Komnas HAM dan Ombudsman menemukan sejumlah penyimpangan dalam proses hukum terhadap BW. Polri sendiri mengabaikan tantangan soal Gelar Perkara Khusus untuk BW yang diajukan oleh Tim Pembela Hukum KPK.

Keempat, dampak dari sikap menyerah atau kompromi yang dilakukan oleh KPK hanya akan merugikan KPK sendiri.  Kepercayaan publik terhadap KPK pastinya akan menurun.  Penilaian publik bahwa KPK adalah lembaga yang selama ini disegani dalam upaya pemberantasan korupsi akan berubah menjadi “lembaga yang segan dalam upaya pemberantasan korupsi” khususnya yang dilakukan oleh oknum petinggi penegak hukum. KPK yang lemah adalah dambaan semua koruptor.

Kelima, berpotensi ditiru  pelaku korups lainnya. Tersangka korupsi lain yang kasusnya ditangani oleh KPK akan meminta pelakukan yang sama seperti yang diterima oleh BG. Efek Putusan Hakim Sarpin yang mengalahkan KPK, saat ini sudah mulai ditiru oleh sejumlah tersangka korupsi seperti Suryadharma Ali, Sutan Batugana maupun Fuad Amin. Bukan tidak mungkin akan muncul para tersangka lain yang mengajukan praperadilan melawan KPK. Setelah dimenangkan hakim praperadilan, mereka juga akan berlomba meminta agar kasusnya dilimpahkan ke Kejaksaan atau Kepolisian.

Sudah menjadi rahasia umum, koruptor lebih senang ditangani oleh Kejaksaan atau Kepolisian daripada ditangani oleh KPK. Di Kejaksaan atau Kepolisian, koruptor seringkali mendapatkan perlakukan istimewa. Meskipun berstatus tersangka ataupun kasusnya dilimpahkan ke penuntutan pelakunya seringkali tidak ditahan, jarang dilakukan penggeledahan, penyitaan ataupun pencekalan. Pelaku juga punya peluang besar agar proses hukumnya dihentikan ditahap penyidikan atau penuntutan. Pelaku korupsi yang ditangani oleh Kejaksaan dan Kepolisian juga punya peluang dibebaskan oleh Hakim di Pengadilan. Bandingkan dengan KPK, hingga saat ini tidak ada satupun pelaku korupsi yang ditangani oleh KPK dibebaskan oleh hakim Pengadilan.   

Kita kecewa dengan pengibaran “bendera putih” oleh KPK dalam penanganan kasus korupsi yang melibatkan BG. Kami mendesak seluruh pimpinan KPK termasuk Plt Pimpinan KPK untyk membatalkan pelimpahan perkara BG.


Jakarta, 2 Maret 2015


Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan